Share

6. MENJALANKAN KEWAJIBAN

POV ARMAN

Sial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.

Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.

Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.

“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.

“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.

“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.

“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”

Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.

“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”

Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan amplop kepadaku. Segera membukanya perlahan. Dan betapa terkejutnya saat melihat nilai yang tertera di sana. Sembilan juta delapan ratus ribu rupiah.

“Besar sekali. Kenapa kau tak pernah meminta kepadaku?” tanyaku kepada Khanza. Namun dia tak menjawab sepatah katapun dan memilih pergi dari hadapanku.

“Sialan. Gue dikacangin nih!” gerutuku dengan kesal.

“Kau temui Tiara dan tunggu di mobil! Aku mau melunasi tagihan dulu!” teriakku kepada Khanza. Tetap saja dia tak peduli dengan teriakanku. Biarlah. Toh dia tidak budek dan pasti mendengar ucapanku.

***

Aku mengantar Tiara ke rumah. Mantan istriku sudah menunggu di teras dengan wajah yang terlihat murung. Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu.

Aku menggandeng Tiara dan mendekat ke arahnya.

“Mamah!” Tiara berlari ke arah Khanza dan memeluknya.

“Hai, Sayang!” Khanza tersenyum dan membalas pelukan putrinya erat. Beberapa saat kemudian, Khanza melonggarkan pelukan. Lalu menatap Tiara dengan penuh cinta.

“Sekarang ganti baju dulu ya sama nenek. Mamah mau bicara sebentar sama Papah!” Khanza mengelus rambut Tiata yang terbungkus jilbab.

“Oke, Mah. Dah papah!” Tiara tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku.

Aku memberikan kiss bye untuk putriku yang terlihat semakin menggemaskan. Penyesalan kembali hadir karena sudah menyia-nyiakan darah dagingku selama ini.

Kini hanya ada aku dan Khanza. Entah apa yang akan dibicarakannya denganku. Wanita cantik itu terdiam. Lebih baik aku saja yang memulai terlebih dahulu.

“Kau mau bicara denganku?” tanyaku dengan telunjuk mengarah ke dadaku.

“Iya!” jawab khanza singkat dan ketus.

“Kalau begitu, aku boleh masuk ke rumah dong!” tanyaku dengan penuh percaya diri. Aku sangat yakin. Khanza pasti mulai luluh dan mau menerimaku kembali. Apa yang aku lakukan tadi pasti membuatnya trenyuh.

Namanya juga perempuan. Kalau sudah masalah duit pasti luluh juga.

“Tidak perlu! Kita bicara di sini saja!” jawab khanza singkat dan sangat membuatku terkejut.

“Loh kenapa?!” jawaban wanita di hadapanku seketika menghancurkan mood baikku.

“Aku tidak suka berbasa-basi denganmu. Apalagi menawari kopi. Aku hanya mau bilang, terima kasih karena kau sudah melunasi biaya sekolah Tiara!”

“Oh kalau itu sih .... “

“Walau itu memang kewajibanmu! Dan aku bejanji akan segera menggantinya!”

“Tidak perlu Khanza. Tiara’kan tanggung jawabku. Kau tak perlu menggantinya!”

“Karena aku sangat tahu sifatmu, Mas. Kau pasti punya tujuan tertentu. Dan aku tak mau kau memintaku untuk membalas budi dengan cara lain!”

“Khanza, kau terlalu berburuk sangka kepadaku!” jawabku dengan santai. Rupanya dia pandai membaca isi kepalaku.

“Cukup, Mas! Sekarang tolong pergilah!” Khanza membalikkan badan dan pergi meninggalkanku.

Kali ini aku tak boleh kehilangan kesempatan lagi. Aku harus berusaha hingga titik terakhir.

“Tunggu, Khanza! Aku masih terus menunggu jawabanmu! Dan pikirkan kembali demi kebaikan Tiara!” aku berteriak supaya Khanza mendengar ucapanku.

Dan benar saja saat hendak membuka pintu, dia membalikkan badan dan menatap ke arahku. Hal itu tentu saja membuat harapanku kembali bangkit. Aku yakin dia takkan mengecewakanku.

“Jawabanku tetap sama! Aku tidak mau apapun alasannya!”

Brakk. Khanza membanting pintu dengan keras hingga membuatku terjengkit. Jawaban yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku pikir dia sudah mulai luluh. Namun kenyatannya, apa yang kulakukan tetap saja tak bisa membuatnya luluh.

“Hach!” aku menendang rerumputan. Aku harus mencari cara lain untuk kembali mendapatkan Khnaza.

“Akan kupastikan kau akan kembali menjadi milikku dan bertekuk lutut di hadapanku!” teriakku seperti orang gila. Aku bahkan tak peduli dengan orang yang berlalu lalang melihat ke arahku. Biar saja mereka menganggap aku tidak waras. Aku tak peduli.

Mendengkus kesal dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Dada rasanya seperti di timpa benda yang sangat berat. Sangat sesak.

“Aku paling tidak suka dengan penolakan apapun alasannya. Aku takkan menyerah! Suatu saat nanti kau harus menjadi milikku, Khanza! Haach!!” memukul kemudi dengan keras. Semua keadaan ini membuatku muak.

***

POV KHANZA

Hari minggu ini aku sangat santai. Sejenak ingin memanjakan bunga yang berada di halaman dengan menyiram dan merawatnya. Tumben banget hari ini Mas Arman tidak mengajak Tiara bermain. Biasanya setiap minggu dia pasti menjemput Tiara. Mudah-mudahan saja dia sudah bosan dengan segala kepura-puraannya.

Tin. Tin.

Aku dikejutkan oleh suara klakson mobil. Tatapan mataku berpindah ke arah mobil yang baru saja memasuki halaman.

Aku mendengkus kesal saat melihat mobil siapa yang datang. Baru saja aku bisa bernapas lega karena dia tidak datang, tapi kenapa dalam hitungan detik batang hidungnya harus muncul lagi di hadapanku.

“Huch, dasar menyebalkan!” aku memukul tanah yang tidak bersalah dan menjadi pelampiasan amarahku.

“Assalamu’alaikum, Khanza!” 

Hampir saja aku menyemprotnya. Namun ketika aku mendengar dia mengucapkan salam, membuatku mengurungkan niat. Tumben sekali dia mengucapkan salam. Padahal biasanya dia say hello atau apalah.

Dengan sedikit menahan kekesalan, aku bangkit dan menatap tajam ke arah pria yang sangat kubenci.

“Mau apa kamu? Tiara lagi keluar rumah bersama neneknya!”

“Sabar sedikit ngapa. Tapi kamu kalau marah tambah cantik, lo!”

Huek, aku merasa mual dengan gombalan pria menjijikkan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status