Share

5. TIARA MENGHILANG

“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.

“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.

“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.

“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.

Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.

“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.

“Tiara! Tiara!”

Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.

“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”

Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.

“Tiara! Kamu kemana sih, Nak!”

Aku hanya bisa menyesal. Kalau saja tadi kami tidak bertengkar, mungkin saja Tiara tidak lepas dari tanganku.

“Bapaknya Tiara!” terdengar suara seorang wanita yang memanggilku. Sepertinya aku belum pernah mendengar sebelumnya.

Saat aku memutar badan untuk melihat siapa orangnya, aku sangat terkejut saat melihat Tiara sedang bersembunyi di balik seorang wanita yang memakai jilbab. Sepertinya dia seorang guru di sini.

“Tiara! Alhamdulillah, kau sudah ketemu!” aku sangat bahagia melihat putriku sudah ditemukan. Namun aku kecewa saat melihat Tiara seperti ketakutan dan bersembunyi di balik punggung wanita tersebut. Sepertinya dia meminta perlindungan darinya.

“Sayang. Ini Papah, Nak! Ayo! Mendekatlah!” aku melebarkan tangan dan siap memeluknya. Tapi tetap saja Tiara bergeming dan makin erat memegang pakaian sang guru.

“Maaf, pak! Sepertinya anak ini ketakutan melihat Anda. Tadi dia berlari menuju ruang guru dan bercerita kalau dia takut melihat papah dan mamahnya bertengkar. Sepertinya kita harus berbicara tentang hal ini. Tentunya bersama Mamahnya juga!”

“Baiklah, Bu!” aku menganggukkan kepala. Lalu segera menghubungi Khanza dan menyuruhnya untuk menyusul ke ruang guru.

Aku segera mengikuti langkah Tiara dan gurunya menuju ruang guru.

“Mana Tiara!” begitu datang, Khanza langsung bertanya kepadaku.

“Duduk dulu, Bu! Tiara ada di tempat yang aman! Mari kita bicarakan masalah ini! silakan duduk!”

Khanza menatap ke arahku dengan tak bersahabat. Kemudian, menarik kursi dan duduk menjauh dariku. Sepertinya dia sangat membenciku. Bisa gagal rencanaku untuk mendapatkannya kembali. Aku tak menyangka kejadiannya akan seperti ini.

“Perkenalkan, nama saya Irma. Saya wali kelasnya Tiara. Begini, Pak, Bu. Tadi Tiara berlari dan masuk ke ruang guru sembari menangis. Dia lalu bercerita tentang pertengkaran Mamah dan Papahnya. Dia sangat ketakutan. Apa itu benar?”

“Itu semua karena laki-laki ini! dia yang salah, Bu!” Khanza langsung menunjuk wajahku dengan tidak sopan. Aku bergeming, mencoba memainkan peran untuk menjadi pria yang baik.

“Sabar, Bu. Kami paham apa yang terjadi. Tapi saya mohon, jangan bertengkar di depan Tiara. Dia masih anak-anak yang hanya ingin hidup dalam keluarga yang hangat. Kalau hal ini terus terjadi, bisa memperngaruhi perkembangan dia. Kasihan kalau kondisinya tidak stabil karena keegoisan Mamah dan Papahnya!”

“Lalu apa yang harus kami lakukan, Bu?” Aku mencoba berpura-pura bertanya, seolah menjadi seorang ayah yang arif dan bijaksana.

“Jangan bertengkar di depan Tiara, karena hal itu akan mempengaruhi perkembangannya. Apa yang dia lihat itu sangat membekas dalam hatinya. Bapak dan Ibu harus bersikap baik setidaknya di hadapan Tiara, supaya dia merasa mempunyai keluarga yang utuh!”

Aku mengangguk tanda setuju dengan ucapannya. Dan hal ini bisa aku jadikan alasan untuk membuat Khanza mau menerimaku. Ya. Ini adalah kesempatan yang sangat baik.

“Menurut Ibu, apakah saya dan mamahnya Tiara harus rujuk kembali begitu?” tanyaku kepada wali kelas Tiara seraya melirik  ke arah Khanza untuk melihat responnya.

“Mas!! Jangan menggunakan kesempatann, Ya!”

Benar seperti dugaanku, Khanza langsung menyolot dengan galak. Wajahnya berubah menyeramkan.

“Ya aku’kan hanya bertanya kepada Bu Irma. Siapa tahu beliau juga setuju dengan ucapanku. Ini’kan niatan baik, tak ada salahnya’kan Bu Irma?” aku masih terus mencari celah.

“Itu bukan ranah saya, Pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Hanya Bapak dan ibu yang tahu jawabannya. Saya hanya memberi masukan saja untuk kebaikan Tiara.”

“Baik. Saya mengerti,” jawabku dengan sopan.

“Sial, ini orang gak bisa banget sih di ajak kerja sama,” aku bermonolog dalam hati.

“Semoga Bapak dan Ibu bisa mengerti dan bisa melakukan apa yang terbaik untuk putri Bapak dan Ibu. Silakan temui Tiara di ruang kepala sekolah. Dia ada di sana.”

“Oke, terimakasih, Bu.” Jawabku sembari menjabat tangan bu irma.

“Terimakasih, Bu. Kami permisi dulu,” ucap Khanza sembari menjabat tangan Bu Irma.

“Sama-sama, Bu. Oh ya, Tunggu sebentar.  Saya hampir lupa, Bu,” bu Irma terlihat mengambil amplop dari dalam laci. Kemudian memberikan kepada Khanza.

“Ini apa, Bu?” tanya Khanza.

“Itu tagihan uang Spp Tiara dan juga cicilan uang gedung yang belum terbayarkan. Semoga ibu segera bisa melunasinya.”

“Tagihan?!” aku terkejut dan tidak menyangka kalau biaya sekolah Tiara sampai menunggak.

Sementara itu, Khanza tak menjawab pertanyaanku. Dia bahkan meninggalkanku tanpa permisi. Sial, aku harus segera mengejarnya.

“Khanza! Tunggu!” Dengan terpaksa aku menarik tangannya untuk menghentikannya.

“Jangan menyentuhku!” Khanza murka dan menatapku dengan api kemarahan yang siap membakarku.

“Sorry! Tapi aku mau tanya, kenapa sampai kau telat membayar biaya sekolah Tiara, kenapa!”

“Kau tanya kenapa?! Karena aku belum ada uang untuk membayarnya!” jawab Khanza dengan tegas. Dan baru saja mulutku terbuka untuk menjawab pertanyaannya, dia kembali menyambar seperi bensin saja.

“Apa?! kau mau menyalahkanku? Seharusnya Tiara itu menjadi tanggung jawabmu. Tapi kau tak pernah memberikan nafkah untuk putrimu! Dan kini kau dengan seenaknya menyalahkanku!” Khanza berkacak pinggang di hadapanku. Dia benar-benar marah kepadaku. Bahkan dia beraninya menunjukku. Padahal dulu dia tak pernah berani melakukannya. Kenapa sekarang bisa berubah seperti ini.

“Ya, oke aku akui salah. Tapi kau’kan punya toko material. Masa gak ada duit sih. atau kamu kan bisa menghubungiku? Kau tahu’kan rumahku. Alamat pabrikku juga kau tahu betul kan?”

“Dia itu anakmu! Orangtuaku tak ada kewajibannya untuk itu! Dan kau bilang pabrikmu? Apa kau tidak ingat kita mendirikan pabrik itu bersama? Bahkan resep yang masih kau pakai itu adalah milikku!  Dan sepeserpun kau tak pernah membagi laba dari hasil penjualan kepadaku! Apa kau lupa itu, Arman!! Kau yang salah dan sangat tamak! Bagiku kau sangat menjijikkan!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status