Share

4. MISI ARMAN

“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”

“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”

“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.

“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”

“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”

“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.

“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.

“Itu uang lima juta untuk kebutuhanmu dan tiara.”

“Tapi ...”

“Terimalah dan gunakan untuk menyenangkan Tiara. Aku pergi dulu!”

Aku bergeming dan membiarkan mantan suamiku pergi begitu saja. Dada ini rasanya bagai di remas-remas. Rasa sakit masih membekas. Luka itu belum mengering. Dan tiba-tiba dia ingin memintaku untuk rujuk dan juga memberikan uang. Aku benar-benar bingung menyikapinya.

***

POV ARMAN

Aku berdiri di balkon dengan menatap langit yang bertabur bintang. Aku sendiri dan sangat kesepian. Betapa bodohnya aku yang lebih memilih Mayang dari pada permata seperti Khanza. Aku sangat menyesal.

Memegangi tengkuk yang terasa berat serta memutar kepala untuk mengendurkan syaraf yang tegang.

Kalau saja ada Khanza di sini, dia pasti akan segera membuatkan teh jahe hangat dan memijitku.Ya tuhan, aku sangat merindukan Khanza! Aaach aku bisa gila kalau terus memikirkannya!

Aku memukul-mukul kepala untuk melupakan sejenak bayangan tentang mantan istriku. Namun semua sia-sia. Semakin ingin melupakan, semakin bayangan Khanza menari-nari di kepala. Seolah memory otakku hanya terisi dirinya.

“Aku tidak boleh menyerah! Akan aku lakukan segala cara untuk mendapatkanmu kembali, Khanza!!” aku berteriak untuk melepaskan rasa sesak dalam dada.

Tiba-tiba aku teringat dengan putriku.

“Tiara pasti bisa meluluhkan hati Khanza. Aku tahu kalau Khanza pasti akan memenuhi segala keinginan putri kami.”

Menjentikkan jari dan tersenyum. Aku yakin pasti akan mendapatkan Khanza kembali.

“Lebih baik sekarang tidur supaya besok pagi bisa mengantar Khanza ke sekolah sebelum berangkat ke pabrik roti milikku!”

Aku segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Kemudian menuju ranjang untuk beristirahat. Semangat hidupku kembali bangkit. Ya, hanya Khanza dan Tiara yang menjadi penyemangat hidupku. Percuma rumah sebesar ini tapi hatiku sempit.

***

Aku menunggu di halaman sampai Tiara keluar dari rumah. Saat putri kecilku mulai tampak batang hidungnya, aku turun dari mobil dan mendatanginya. Dia pasti sangat terkejut dengan kedatanganku.

“Hallo, Sayang,” sapaku kepada putriku sembari melebarkan tangan.

“Papah!” benar saja, Tiara langsung berlari dan memelukku.

Saat aku melirik ke arah Khanza, dia terlihat sangat tidak suka. Wajahnya terlihat garang dan masam.

“Mas! Apa-apa an ini!” Khanza berusaha melepaskan pelukanku pada Tiara.

“Kenapa? Aku hanya ingin mengantar Tiara ke sekolah? Apa tidak boleh?” tanyaku kepada Khanza.

”Jangan berusaha menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kau mau! Ingat, aku takkan pernah mau menerimamu kembali. Jadi jangan pernah menggangu kehidupanku dan juga Tiara!” khanza menarik lengan Tiara dengan paksa dan membawanya menuju sepeda motor.

“Lepasin, Mah!” Tiara berusaha melepaskan tangannya dari Khanza.

“Tiara! Jangan nakal! Ayo, kita berangkat sekarang!”

“Gak mau! Tiara pengin dianter sama Papah pake mobil. Tiara lama gak naik mobil, Mah!” putriku merajuk kepada mamahnya.

Ya Tuhan, kenapa Khanza bisa sekeras ini. Bagaimana kalau Tiara mogok sekolah. Aku harus melakukan sesuatu.

“Khanza! tolong biarkan aku mengantarnya. Dan kau ... juga boleh ikut bersama kami!” aku berusaha memberikan sebuah penawaran. Semoga saja Khanza menerimanya.

“Dengar, ya Mas Arman! Aku tidak sudi ikut bersamamu! Jadi sekarang mundurkan mobilmu karena motorku mau lewat!” ucap Khanza dengan mempertegas ucapannya.

“Oke. Aku tidak mau ribut denganmu!” lebih baik mengalah dan bersabar demi melunakkan hatinya. Kalau aku masih bersikap sama seperti dulu, aku pasti gagal.

Pada saat menuju mobil, tiba-tiba saja, Tiara memanggilku. Dan tanpa kusadari dia sudah memeluk kakiku dari belakang.

“Papah! Tiara mau ikut Papah!” gadis kecilku menangis sesenggukan. Aku tidak tega melihatnya menangis.

Aku melihat ke arah Khanza. Sepertinya wajahnya sudah tak segarang tadi. Mungkin saja dia sama denganku, tak tega melihat satu-satunya buah cinta kami menangis.

“Khanza  aku .... “

“Kau boleh mengantarnya! Tapi tolong pastikan dia selamat dan kau jaga dengan baik!” ucap Khanza dengan bibir bergetar. Kelopak matanya mulai basah. Dia menangis. Tapi entah kenapa. Aku juga tidak mengerti.

“Baiklah. Aku berjanji akan menjaga Tiara dengan baik. Kau jangan lupa kalau dia putriku juga, buah cinta kita!” aku mencoba mengingatkannya kembali tentang siapa Tiara untuk mengingat kembali masa-masa indah kami saat menjadi pengantin baru. Namun Khanza memalingkan wajah seperti tak menyukainya.

“Ah, sudahlah! Yang penting satu langkah sudah berhasil. Semoga ini awal yang baik,” ucapku dalam hati.

***

Kembali aku menjemput Tiara di sekolah. Aku benar-benar memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

“Kita mau ke mana, Pah?” tanya putriku dengan antusias.

‘Terserah kamu Sayang. Mau makan ice cream, atau .... “

“Mas Arman!” aku dikagetkan oleh suara Khanza yang memanggilku. Dan dengan gerakan yang begitu cepat, Khanza menarik lengan putriku hingga terlepas dari genggamanku.

“Aku menjemput Tiara dan akan mengajaknya makan siang dulu. Apa itu salah?”

“Jelas salah. Karena kau tidak meminta ijin kepadaku!” Khanza terlihat sangat marah. Namun aku tetap berusaha untuk bersabar.

“Maaf, Bapak, Ibu. Jangan bertengkar di sini! tidak baik kalau dilihat oleh wali murid yang lain,” ibu guru mendatangi kami saat melihat pertengkaranku dengan Khanza.

“Maaf, Bu. Kami salah sudah menggangu. Permisi!” jawabku sembari menggandeng lengan Tiara dan melangkah menuju mobil.

“Mas! Kau mau membawa Tiara ke mana? Katakan!” ternyata Khnaza masih terus mengikutiku.

“Jangan ribut di sini. Malu. Kita terusin di mobil saja berantemnya,” ucapku setengah berbisik. Malu juga dilihat oleh wali murid lain yang juga sedang menjemput anak mereka.

“Aku tidak sudi untuk satu mobil denganmu! Dan saat ini juga permasalahan ini harus selesai!”

“Baiklah. Lalu apa yang kau inginkan?” tanyaku dengan santai sembari melipat tangan di depan dada.

“Mulai saat ini, jangan pernah mendekati Tiara lagi atau ....”

“Atau apa? kau tidak bisa melarangku karena aku papahnya. Kalau bukan karena aku, kau juga tidak punya tiara!”

“Jangan sombong kamu! Tiara itu ada karena ijin dari Alloh SWT. Kau hanya perantara saja. Mengetti!”

“Halah sok suci banget kamu. Gak usah sok ceramahin aku deh! Ayo, Tia ....” aku sangat terkejut saat mengetahui kalau Tiara tidak ada bersamaku. Seingatku tadi aku masih menggandeng tangannya. Bagaimana mungkin aku sampai tidak sadar kalau putriku melepaskan tanganku.

“Khanza. Apa kau lihat kemana Tiara?!” tanyaku dengan khawatir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status