Share

Perawan Jual Mahal

"Berapa?" Satu kata dengan nada meliuk bertanya itu meluncur dari mulut Brian sebelum dia memantik korek api untuk menyalakan sebatang rokok yang terselip di antara bibir tebal merah tuanya.

Kebimbangan itu nampak nyata dari wajah ayu yang sepertinya ada sedikit keturunan ras Kaukasoid, iris mata Suzy berwarna cokelat keemasan tertimpa sinar lampu. Tanpa diduga oleh Brian kepala wanita penari kabaret itu justru menggeleng-geleng.

Asap rokok dihembuskan kasar oleh Brian. 'Sialan! Kenapa dia membuatnya menjadi sulit begini? Gue kagak punya banyak waktu berburu wanita untuk dijadikan istri sementara. Huh!' batin Brian kesal dengan alis berkerut dan tatapan tajam seperti elang pemburu melihat mangsanya.

"Jangan takut terlalu mahal, katakan saja berapa yang kau minta, Miss Suzy Malika. Apa itu nama aslimu atau nama panggung saja?" ujar Brian dengan tenang sekalipun kesabarannya mulai menipis. 

Dengan kekuasaan uang yang dimilikinya, dia bisa saja menculik wanita itu dan memaksanya menuruti kehendaknya. Namun, dia mencoba cara yang lebih alami dan menghindari kekerasan yang tak perlu.

"Iya, benar itu nama asli saya. Tapi, maaf ... saya masih kuliah, Mas. Sepertinya kurang cocok untuk menyandang status istri Anda," tolak Suzy di luar dugaan Brian. 

Pria berusia 37 tahun itu sampai melongo mendengar ucapan Suzy. Dia mencermati wajah di balik make up tebal di hadapannya seraya mencecarnya dengan pertanyaan yang terkesan kepo, "Memangnya umur kamu berapa? Kuliah dimana?"

Richard yang melihat rekannya tak berhasil membujuk Suzy Malika pun tertawa terbahak tak sanggup menahan rasa gelinya. Sedangkan, Eva yang sedari tadi merasa direndahkan oleh Brian yang angkuh pun diam-diam menertawakannya juga. Dalam hati dia memuji Suzy yang teguh mempertahankan harga dirinya. Eva tahu bahwa Suzy masih perawan.

"Saya 22 tahun, Mas. Kuliah jurusan Psikologi di Universitas Trisakti," jawab Suzy apa adanya. Memang dia sudah berkuliah di semester 6 saat ini di sana. Pekerjaan sebagai penari kabaret yang dijalaninya itu didapat dari tawaran teman kampusnya yang satu kelompok ekstrakurikuler teater mahasiswa.

"Ohh My God. Muda banget ternyata—" Brian berucap spontan lalu terdiam memikirkan langkah selanjutnya seraya melirik penuh pertimbangan ke arah Suzy yang meremat-remat kedua telapak tangan di pangkuan. Kegugupan khas gadis belia itu nampak jelas.

"Sugar baby dong, Bri. Asreeekk!" tukas Richard mengompori sahabatnya agar terus memepet sasarannya yang begitu menggoda.

Kemudian Brian pun memeriksa jam tangannya di balik ujung lengan kemejanya. Sudah nyaris tengah malam dan negosiasinya tak kunjung mendapatkan hasil seperti yang diharapkannya. Maka dia pun berkata, "Sudah malam, kuantar pulang ke rumah aja ya, Suzy?"

"Saya tadi berangkat naik sepeda motor, Mas. Terima kasih sudah berbaik hati. Permisi kalau begitu," pamit Suzy usai menolak tawaran Brian sekali lagi. Dia berdiri dari sofa lalu melenggang pergi begitu saja.

"Wow, loe abis ditolak cewek, Bri. Gila bener ... nyali tuh cewek gede!" komentar Richard memuji-muji Suzy seraya berdecak kagum.

Brian memasang tampang tak senang. Dia pantang mundur ketika menghadapi sebuah halangan seperti ini. Ego Brian sebagai seorang pria dominan seolah terlukai. Dia pun beranjak berdiri sambil berpamitan, "Gue cabut duluan, Richie. Have fun ya!" 

Dia pun bergegas melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar night club yang masih padat pengunjung dan semakin meriah seiring waktu yang bergulir menuju tengah malam. Sopirnya menjemput dengan mobil sedan Maybach hitamnya lalu Brian naik ke bangku penumpang.

Sesosok wanita dengan sepeda motor matic keluar dari parkiran khusus karyawan dan Brian mengenalinya. Itu Suzy Malika. Maka dia pun bertitah kepada Pak Seno, "Ikuti sepeda motor yang di depan itu, Pak!" 

"Siap, Mas Brian!" sahut sopirnya lalu mengikuti Suzy yang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan stabil di depan mobil tersebut.

Dalam hatinya Brian mulai terobsesi untuk mendapatkan kesepakatannya dengan Suzy Malika. 'Jangan-jangan dia masih virgin tuh! Hmm ... makin menarik saja rasanya,' batin Brian geregetan ingin mendapatkan wanita itu.

Setelah perjalanan hampir satu jam, Suzy membelok di sebuah gang sempit. Mobil milik Brian tentu saja tidak bisa menguntitnya lagi. Maka Pak Seno pun berkata, "Maaf, Mas Brian. Sudah mentok ini. Bisanya sampai sini aja!"

"Mentoknya nggak enak banget, Pak Seno!" gurau Brian dengan setengah dongkol. 

"Lha gangnya sempit kayak punya perawan, Mas Brian," timpal Pak Seno pula mesum.

Sembari berdecak kesal, Brian pun memutuskan untuk mengakhiri pengejarannya. "Sudah, kita balik ke rumah sekarang, Pak Seno!" ujarnya.

Maka sedan Maybach hitam itu mencari putaran balik arah ke jalan sebaliknya. Tempat tinggal Suzy itu berada di kawasan menengah ke bawah yang tentunya bak bumi dan langit bila dibandingkan dengan komplek perumahan Brian.

Sesampainya di rumah dan bersiap untuk tidur, Brian justru tak hentinya memikirkan Suzy Malika. Dia membaringkan dirinya di atas ranjang dengan mata yang sulit menutup. Dia begitu gelisah dan hanya bisa membolak-balik tubuhnya hingga dini hari tiba.

Brian pun terbangun lalu duduk di tepi ranjangnya. Dia pun meraih ponselnya dan menekan nomor ponsel asisten pribadinya yang mengurusi tugas khusus darinya selain pekerjaan kantor, Hendrawan. Dia tak peduli saat ini bukan jam wajar untuk memberi tugas untuk karyawannya. Memang pekerjaan Hendrawan berbeda dengan Rudi yang harus stay di kantor induk.

Nada sambung itu terdengar karena memang itu satu pasal wajib dalam perjanjian kontrak kerja asisten pribadinya, tidak boleh mematikan ponsel 24 jam dan siap menjawab panggilan bos. 

Suara mengantuk dan serak terdengar di ujung sambungan telepon. "Halo ... iya, Pak Brian?" sahut Hendrawan sambil mengucek-ngucek matanya menatap jam dinding di kamar tidurnya.

"Halo, Hen. Loe denger baik-baik perintah gue ya! Besok cari data identitas, alamat, semuanya tentang Suzy Malika. Dia mahasiswi jurusan Psikologi, Universitas Trisakti," tutur Brian dengan jelas dan tegas seperti biasanya.

Asisten pribadinya mendadak melek dan hilang rasa kantuknya. Si bos menyuruhnya stalking mahasiswi Psikologi. Dia pun mendadak kepo lalu bertanya, "Datanya mau buat apa nih, Pak?"

"Mau gue jadiin istri. Awas loe ya, jangan coba ngegodain tuh cewek!" ancam Brian mendadak posesif padahal belum jelas nasib hubungannya ke depan.

Jawaban Brian membuat Hendrawan terperangah terkejut. "Ohh ... ehh, ashiiiaap, Pak Bos!" serunya serius.

"Ya udah, sono loe tidur lagi. Gue juga agak ngantuk nih!" ucap Brian lalu segera memutus sambungan teleponnya dengan Hendrawan.

Dia merebahkan badannya kembali ke atas ranjang empuknya. Kelopak matanya terasa berat karena memang tubuhnya kelelahan. Dengan cepat kesadaran pria itu menghilang larut ke alam mimpi. Masih wanita berparas ayu yang sama dengan yang dijumpainya malam tadi yang menjadi penghias bunga tidurnya.

Mimpi Brian begitu panas kali ini, dalam bunga tidurnya ia membayangkan dirinya telah menikahi Suzy Malika dan mereka sedang pergi berbulan madu ke pantai berpasir putih. Mereka berkejar-kejaran di tepi pantai. Kemudian dia menangkap pinggang wanita itu lalu menceburkannya ke dalam air laut. Mereka saling menyentuh dan bertukar ciuman mesra dari satu pagutan bibir ke pagutan lainnya hingga mereka hampir bercinta di tepi pantai.

"Tiiiiiit ... tiiiiit ... tiiiit!" Alarm ponsel Brian berbunyi berisik nyaring membangunkan pemiliknya tepat pukul 06.00 WIB.

"Sialan! Gagal sudah bercinta di alam mimpi pun," rutuk Brian. Dia berdecak kesal sembari mematikan alarm itu. "Si Hendra mesti berhasil mengorek informasi tentang Suzy. Dia harus mau jadi istri bayaran gue!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
kayaknya Brian udah terobsesi nih sama Suzy. sampe kebawa mimpi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status