"Hoam … Pagi ini indah sekali!? Anak siapa ini? Astaga ... Orang bodoh bagian mana yang meletakkan bayi sekecil ini di depan rumah orang lain?" Joan terkejut lalu berjongkok menatap bayi kecil itu, ia lalu kembali berdiri berjalan menuju gerbang rumahnya yang ternyata tak terkunci sembari melongo ke kanan kiri di jalan yang sepi itu. Rumah Joan memang terletak di depan jalan, jika siang cukup ramai kendaraan yang berlalu lalang.
Joan pun mengambil bayi itu dari sebuah kardus tipis yang hanya di lapisi selimut, tangan dan wajah bayi kecil memerah karena kedinginan."Orang tua mana yang berani membuangmu bayi kecil? Kau sangat imut ...," Joan terus memandang bayi itu, ia gemas sendiri melihat pipi chubby milik bayi berkulit putih itu.Tangannya gatal ingin menoel-noel, namun ia tak berani karena takut bayi itu akan menangis. Tahu sendirikan kalau bayi menangis sangat susah untuk diam, tidak mungkin tangan kekar Joan membungkamnya, Bayi itu bisa mati kehabisan nafas.ia memindahkan bayi itu ke atas sofa secara perlahan-lahan, lalu beralih mengambil handphonenya. Joan ingin menelpon Kiana, sahabat karibnya dari kecil. Bisa di bilang persahabatan mereka sangat awet karena tak ada yang terbawa perasaan, hanya rasa sayang sebagai seorang sahabat. katanya."Kiana! Coba tebak, apa yang baru saja kudapatkan di pagi yang cerah ini!" Joan berbisik di telepon karena takut suaranya membangunkan bayi itu."Joan! Suka sekali kamu gangguin aku, ini masih pagi! Lagi pula ini hari Minggu, aku masih tidur jam segini. gara-gara kamu aku harus bangun dari tidur ku yang nyenyak!" suara serak Kiana terdengar dari telepon, gadis itu baru saja terbangun sepertinya Dengan cara yang tidak baik-baik saja."Dengar dulu! Baru saja ada sebuah kardus tepat di depan pintu rumahku!" Joan dengan setiap penekanan pada kalimatnya, Ia begitu serius berbicara pada Kiana."Paketmu? Lalu untuk apa kau menelponku Joan Hendra Setiawan?" Kini Kiana sudah berteriak keras di akhir kalimatnya dengan nada ketus."Shutt …, dengar dulu! Aku serius, ada sesuatu yang harus kau tahu," Joan semakin memelankan suaranya, lelaki tampan itu dengan perlahan duduk di sofa sembari memegangi tubuh bayi itu agar tidak terjatuh."Cepat jelaskan! Apa yang harus ku tahu di pagi yang cerah ini, hah?" Kiana semakin kesal. bagaimana tidak, kau sedang tertidur nyenyak. Lalu sahabat mu tiba-tiba menelpon terus menerus membuatmu harus terbangun dan mengangkat telepon itu, menyebalkan bukan?"Aku baru saja menemukan kardus berisi bayi!" Joan masih dengan suaranya yang sangat pelan. Tangannya terasa keram karena terus menahan tubuh bayi itu."Bayi kucing? Kau ingin merawatnya? Rawatlah, jangan katakan kau menelponku untuk meminta persetujuan?" Kiana baru saja ingin menutup telepon, tapi kalimat yang dilontarkan Joan malah membuatnya mengurungkan niat itu."Bukan bayi kucing, tapi bayi MA-NU-SI-A!!" Joan dengan suara lantangnya.Kiana bingung apa sahabatnya itu mengatakan hal yang benar atau hanya bercanda saja. Mereka sudah bersahabat lama, lelaki tampan itu selalu membuat lelucon keterlaluan yang sering kali membuat Kiana kesal."Kau bercanda, kan? Mana mungkin ada orang yang membuang bayi lewat kardus di depan pintu rumahmu! Aku sama sekali tak percaya dengan omong kosongmu itu," Kiana masih belum percaya kata-kata Joan di pagi itu."Kalau begitu datanglah, dia sangat imut dan lucu. Aku menunggumu, kita akan beri dia nama," tepat sebelum Joan menutup telepon terdengar tangisan bayi, membuat Kiana terlonjak dari tempat tidurnya Karena terkejut bukan main."Jadi beneran ada bayi!? Halo, Joan! Anak ini, apa dia tidak tau itu anak orang!?" Belum sempat Kiana berbicara, telepon Joan sudah benar-benar ia matikan. sepertinya lelaki tampan itu sedang panik karena bayi itu terbangun.Joan Hendra Setiawan, lelaki kelahiran 2001 yang kini sedang menempuh pendidikan kuliah di fakultas Brawijaya dengan jurusan hukum dan sudah di semester 7, semester yang lagi sibuk-sibuknya untuk mempersiapkan skripsi dan melakukan KKN.Sehari-hari ia memang tinggal sendirian di rumah yang cukup besar itu, kedua orang tuanya berada di luar kota untuk mengurus perusahaan dan hanya pulang di hari-hari tertentu seperti saat lebaran atau libur di akhir tahun.Joan memilih tinggal di rumah peninggalan neneknya itu karena di rumah orang tuanya ia hanya di temani oleh bibi dan supir yang sering kali mengaturnya karena suruhan dari ayahnya. Ia ingin hidup bebas dengan aturannya sendiri, melakukan segala hal tanpa perizinan dari siapapun.Sementara itu, Joan kini kelabakan karena bayi itu menangis sangat keras. Ia bingung harus berbuat apa, di kardus itu hanya terdapat secarik kertas dan sebuah gelang polos berwarna hitam. mana bisa lelaki dengan keseharian bersama alkohol merawat seorang bayi?"Shut … dedek bayi diam dulu, kita tunggu kakak Kiana datang ya … astaga! Kiana kenapa belum datang juga," Joan masih berusaha menenangkan bayi itu. namun hasilnya nihil, entah apa yang harus ia lakukan di rumah yang sepi itu.Selang beberapa menit Sebuah ide pun muncul di otak Joan, ia kembali meletakkan bayi itu di sofa lalu melepas kaos putih polosnya, Memperlihatkan otot sixpacknya dengan beberapa tatto kecil di tubuhnya.Perlahan Joan kembali mengangkat tubuh mungil bayi itu lalu menyandarkan kepalanya tepat di dada kanan dan anehnya bayi itu perlahan-lahan diam, Tangan kecilnya memeluk dada bidang milik Joan."Diam? Bayi kecil, apa kau suka tubuh hangat ku? Apa sekarang aku adalah seorang ayah? Ayah …," Joan salting sendiri mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya, bagaimana bisa seorang mahasiswa semester 7 tiba-tiba menjadi seorang ayah muda.Suara motor matic terdengar berhenti di halaman rumah, Joan segera keluar masih menggendong bayi kecil itu tanpa menggunakan baju.Kiana segera menghampiri Joan, melihat bayi kecil yang di gendong oleh tangan kekar sahabatnya itu. "Joan!? Kau benar-benar tak bercanda tentang bayi ini? Siapalah orang tua yang membuangnya? Kasihan sekali kamu dek, padahal kamu tidak minta untuk dilahirkan ke dunia ini," Kiana dengan suara serak dan mata berkaca-kaca menatap dalam bayi kecil yang tak berdosa itu, Jiwa keibuannya tiba-tiba muncul begitu saja."Kau menangis? Ada apa denganmu, Kiana? Kenapa tiba-tiba menangis, ayo masuk. Jangan seperti ini,"Joan segera menuntun Kiana untuk masuk ke dalam rumah, ia takut ada orang yang salah paham melihat mereka.Didalam Kiana sedikit menyapu air matanya dengan lengan Hoodienya yang kepanjangan."Ingin coba menggendong bayinya?" Joan perlahan memindahkan posisi bayi itu ke tangan Kiana. gadis itu tersenyum bahagia sembari menatap wajah imut bayi itu."Kenapa kau tak memakai bajumu? Kau pikir aku ini seorang laki-laki?" Pekik Kiana menatap Joan yang hanya menggunakan celana pendek berwarna hitam dengan ekspresi datar. Apa dia pikir Kiana gadis yang tak normal?"Aku melepaskan baju ku karena bayi itu, sepertinya dia kedinginan. Saat ku letakkan di dadaku, suara tangisannya langsung hilang, luar biasa bukan?" Joan dengan bangganya mengucapkan kalimat itu pada Kiana."Kalau begitu pergi sana, kau pasti belum mandi, kan?" Pekik Kiana sembari mengelus-elus lembut kepala bayi itu."Tepat sekali! Jaga bayi itu untukku, boleh?" Pinta Joan dengan wajah memelas."Jangan lama ya? Aku takut dia menangis lagi, aku tidak tahu terlalu tahu cara menjaga seorang bayi," Kiana dengan nada ketus mengingatkan Joan. Lelaki itu jika sedang mandi sangat lama, entah apa saja yang ia lakukan di ruangan kecil itu."Tak perlu khawatir, kau hanya perlu melepas bajumu untuk memberikannya kehangatan," kata-kata Joan terdengar sangat mesum di telinga Kiana, Gadis itu bergidik ngeri."Joan, jaga kata-kata mu! Sudah, sana pergi!"pekik Kiana dengan suara berbisik, ia tak ingin bayi itu terbangun karena suara teriakannya pada Joan."Hahaha … iya, iya bunda. Ayah mandi dulu ya," ujar Joan lalu mengambil handuk yang ada di dekat sofa beralih mengelus-elus kepala Kiana membuat gadis itu risih."Idih, aku gak akan mau nikah sama cowok kayak kamu," dengan lantang Kiana mengatakan hal itu, tapi Joan santai saja. Ia tau betul Kiana, dari dulu gadis itu tak pernah terpikat dengan ketampanannya.20 menit berlalu, Joan baru saja keluar dari kamar mandi masih memakai jubah mandi dan handuk kecil yang ia pakai untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Lelaki itu lalu menatap Kiana yang sedang melakukan hal konyol untuk membuat bayi itu berhenti menangis. "Apa yang ia lakukan? Melakukan hal konyol adalah ide yang ada dalam pikirannya?" Batin Joan, ia terkekeh pelan melihat tingkah Kiana. Sebenarnya ia sudah lama menyimpan perasaan suka pada gadis itu, hanya saja ia takut mengungkapkannya karena tak mau persahabatan yang sudah lama mereka bina hancur begitu saja. jika Kiana sampai tau Joan menyayanginya lebih dari seorang sahabat, mungkin gadis itu akan menjauh perlahan-lahan. "Wah, kau sudah sangat cocok menjadi seorang ibu,"goda Joan membuat Kiana menatap lelaki tampan itu dengan tatapan sinis. "Semua perempuan memang akan menjadi seorang ibu, Joan,"jelas Kiana dengan nada ketus. "Kau akan merawatnya? Apa kau sanggup merawat bayi ini sendirian? Lihat saja rumah ini, banyak
Cukup lama Kiana menulis kebutuhan Jona di secarik kertas itu. Hingga akhirnya ia menyerahkan kertas itu pada Joan. "Ini semua masih kebutuhan penting, jadi jangan ada yang terlupakan,"tegas Kiana dengan nada ketus, mengambil kembali Jona dari dekapan lelaki bertubuh kekar itu. "Apa seorang bayi memakai benda sebanyak ini, Kiana?" Joan terkejut melihat list barang-barang yang harus ia beli, ada sekitar 11 barang yang harus segera ia dapatkan. List belanja bayi Jona : Popok Shampo & sabun bayi Baby oil Bedak Set Baju bayi Parfum bayi Selimut & handuk Kaos kaki & sarung tangan Botol susu Susu bayi Kasur bayi Joan hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, dimana ia mendapatkan semua barang-barang itu? Hanya satu tempat yang terlintas dalam pikirannya yaitu mall. "Kiana, dimana aku mendapatkan semua benda ini?" Joan lalu berjongkok di depan Kiana, menatap gadis itu keheranan. "Di swalayan besar ada kok, tanya aja sama penjaga tokonya," jelas
Joan memeriksa tiap ruangan yang ada di rumah besar itu, saat ia membuka pintu kamarnya. Kiana ternyata sedang tertidur di samping Jona, masih memeluk bayi itu, Mereka seperti ibu dan anak. "Pantas saja suaraku tak di dengar, rupanya tertidur," ujar Joan dengan nada ketus perlahan mendekati mereka berdua. Cukup lama Joan menatap keduanya dengan intens, lalu beralih ikut berbaring di samping Jona. "Apa ini gambaran ketika kita menikah, Kiana?" Joan lalu membalikkan badannya menatap Kiana yang tertidur seperti putri salju. Tak ingin membuang- buang waktu, Joan lalu mengambil ponselnya beralih memotret mereka berdua bak keluarga cemara. "Kau sedang apa, Joan? Baru pulang?" tanya Kiana tiba-tiba terbangun dari tidurnya, membuat Joan terkejut. "Tanya saja pada rumah ini, untung saja pintu belakang tak terkunci. Apa Jona rewel?" Joan dengan nada ketus, sedikit mengoceh. "maaf semalam aku begadang, Jona anak yang pintar. Dia tidak rewel sama sekali," ujar Kiana sembari mengucek- ngucek
"Matanya kenapa lihat aku kayak gitu? Biasa aja, jangan pakai perasaan natapnya!" Kiana menyadarkan Joan yang melamun. Pandangan lelaki tampan itu tiba-tiba sayu, entah apa yang baru saja terlintas di dalam pikirannya."Ah, ti-tidak aku hanya … berpikir apa Jona akan bahagia di bawah asuhan ku?" Joan membuat Kiana kebingungan, kalimat yang di lontarkan lelaki tampan itu membuat pikirannya buntu sejenak."Maksudmu apa? Jona pasti akan bahagia, dia di rawat oleh lelaki tampan dengan bergelimang harta,"Kiana dengan jawaban simple yang terlintas dalam benaknya."Bagaimana bisa pria dengan masa kecil yang buruk ingin membangun masa kecil yang indah untuk seorang anak perempuan, Kiana …?"suara lelaki tampan itu merendah, matanya berkaca-kaca. dadanya terasa sesak menahan tangis, Ia kini Hanya bisa tertunduk dengan bibir gemetar.Mendengar itu Kiana langsung memeluk Joan, ingin membiarkan lelaki itu menangis dalam dekapannya.Kiana tahu, Joan tidak akan pernah mau menangis di depan seorang w
"Astaga Joan, bisa-bisanya kau berharap Kiana mengucapkan kalimat seperti itu padamu,"batin Joan merasa bodoh telah menghayalkan hal itu, sahabat tetaplah sahabat bagi gadis itu.Kiana segera melajukan motornya, meninggalkan Joan dengan bayi kecil yang ada di dalam dekapan pria bertubuh kekar itu."Ayo Jona, kita masuk. Panas ya?" Joan menggendong jona kembali ke dalam rumah, mendapati rumahnya yang cukup berantakan."Jona, sepertinya bunda Kiana lupa memandikanmu ya? Tidak apa-apa, kamu mandi saat sore saja ya?" Joan menatap wajah mungil Jona dengan gemas, ia beralih mencium kening Jona berulang kali saking gemasnya ia pada tubuh kecil bayi itu."Rumah kita berantakan sekali ya? Papa akan menelfon jasa pembersih, tunggu di kamar sebentar ya," Joan membawa tubuh Jona ke dalam kamarnya, membaringkan tubuh mungil itu ke atas tempat tidur.Baru saja ingin menelfon jasa pembersih, tiba-tiba sebuah panggilan telfon masuk."Ayah? Semoga bukan hal buruk yang akan terjadi,"Joan mengangkat telf
Ia lalu menarik nafas dalam-dalam beralih menatap mata Kiana dengan serius, membuat gadis itu tambah penasaran."Iya, waktu kamu umur 10 tahun papa sempat lari dengan selingkuhannya ke Singapura,"jelas Dania membuat Kiana semakin mendekatkan diri pada wanita paruh baya itu."Lalu? Bagaimana dengan kita?"tanya Kiana menatap Dania dengan serius juga."Mama sempat pulang kerumah orang tua mama, tapi kakek kamu itu kekeh tidak mau mama pulang tanpa bawa hak mama dan hak kamu," Dania lalu mengambil segelas air, meneguknya perlahan-lahan."Hak? Hak apa?" Tanya Kiana, ia masih belum mengerti semuanya."Ya harta, kakek tidak mau mama cerai sama papa dengan ninggalin papa tetap bahagia tanpa rasa bersalah,"Dania kini duduk termenung untuk sejenak."Jadi mama nuntut?"tanya Kiana."Iya, mama nuntut agar saham perusahaan sebagian besar jatuh ke tangan kamu sebagai pewaris tunggal kelak. Mama gak mau papa nikah lagi terus punya anak dan anak pelakor itu yang akan warisin saham perusahaan," Dania me
"Arggh, pikiran bodoh apa ini? Tidak mungkin aku menyukai lelaki gila seperti joan! Tidak Kiana, jangan pikirkan itu lagi! Jangan! Bisa gila aku,"batin Kiana sembari memukul-mukul tepi kasurnya, bayangan kegilaan Joan mulai berenang dalam pikirannya."Kiana? Apa sudah selesai?" Suara Dania terdengar dari luar, sepertinya wanita paruh baya itu berjalan menuju kamar Kiana."Iya, ma. Sebentar lagi," Kiana segera menuju ruang gantinya, ia memilih memakai baju dan celana panjang yang longgar agar tidak ribet saat mengasuh Jona."Tumben sekali kamu memakai baju longgar, biasanya memakai croptop dan rok pendek ala Korea," celetuk Dania yang sudah berada di depan pintu, memandang Kiana dari bawah sampai atas."Memangnya kenapa, ma? Dari pada bajunya tidak terpakai, jadi Kiana pakai saja. sayang papa sudah beli jauh-jauh ke Australia,"tepis Kiana sembari mengambil beberapa pakaiannya untuk ia bawa ke rumah Joan."Kalau kamu menginap, mama sama siapa? Sendirian?"Dania memandang Kiana. Dengan wa
"Aku, kan?"tanya Kiana penuh percaya diri."Salah sayang, ayo coba tebak lagi,"goda Joan dengan senyum smirknya."Bunda mu?"tanya Kiana sekali lagi."Ibu mu, aku berharap Jona tumbuh seperti ibumu yang kuat dan penuh perhatian,"ujar Joan membuat Kiana mengerutkan keningnya, mengapa harus seperti Dania?"Mama? Tapi bunda kamu juga baik hati, mereka berdua sama. Dua wanita yang hebat,"celetuk Kiana."Tapi ibumu lebih hebat,"tegas Joan membuat Kiana lagi-lagi mengerutkan keningnya menatap wajah datar lelaki tampan itu."Joan … apa sekarang kau membenci bunda mu?"ujar Kiana sembari mengulurkan tangan kirinya pada joan agar diberi sabun mandi.Joan hanya diam, raut wajahnya berubah datar. Memberikan benda yang di minta Kiana dengan perlahan, tak berani menatap gadis itu."Joan, tatap aku Sekarang. aku tahu, pasti berat. kan? Aku juga seperti itu pada papa,"ucapan Kiana membuat Joan mendongak."Kau membenci ATM berjalan milikmu? Hebat sekali,"celetuk Joan dengan tawa di akhir kalimatnya."K