Pintu ditutup kencang. Membuatku terlonjak kaget dan termenung setelahnya. Mas Arfan akhirnya meninggalkanku tidak terus memaksa. Ampuni aku sudah menolaknya. Ada rasa sesal, bersalah, tapi juga marah.
Ujung baju kurapatkan dan mendekap diri ditemani sepi, setelah tadi dibuat panas tingkah suami sendiri. Andai tidak ada Saskia, Mas. Kita pasti sudah bahagia. Mereguk rasa surgawi bersama. Perempuan itu sedang datang bulan aku tahu, meski Mas Arfan tidak mengatakannya. Sewaktu di apotek pembantu yang membersamai Saskia menyebutkan belanjaan pemba-lut. Tidak salah lagi. Terlihat dari wajah dan sikap Mas Arfan sendiri yang uring-uringan dan berubah-rubah, menjauh lalu tidak bisa menahan diri mendekatiku lagi. Lelaki itu tersiksa tidak ada tempat menyalurkan hasrat. Harusnya kamu bisa menahan diri. Bukankah itu hal biasa? Apa karna ada aku di sini sekarang, jadi tidak terkendali? Aku beranjak menuju lemari untuk mengganti baju. Pil KB yang diberikan Mas Arfan kubiarkan begitu saja di seprai. Beres ganti baju barulah pil itu disimpan. Terdiam sejenak memperhatkan, aku tidak ingin meminumnya. Kemudian laci ditutup. Kudengar-dengar tidak ada suara mobil. Mas Arfan tidak pergi. Aku lalu keluar setelah cukup lama mengurung diri dalam kamar. Memberanikan diri melihat suamiku. Mas Arfan terlelap di tempat tidur, namun tampak gelisah. Aku mendekat menutupkan selimut ke tubuhnya. Hawatir dia kedinginan. Setelahnya beranjak pergi. .Anehnya sudah jam tujuh pagi lelaki itu belum juga ke luar kamar. Biasanya sudah rapi menghampiri meja makan. Aku terdiam melihat sarapan yang sudah tersedia untuknya juga satu gelas susu. Mas Arfan bisa kesiangan ke kantor kalau jam segini saja belum bangun. Mau tidak mau aku meninggalkan ruangan tersebut demi melihat suamiku itu. Mengetuk pelan pintu kamarnya. "Mas? Aku udah siapin sarapan." Tidak ada sahutan. Aku memanggilnya lagi dan mengetuk sedikit keras. "Udah siang, Mas." Tetap hening. Kuberanikan membuka pintu. Rupanya Mas Arfan masih tidur. Ragu aku mendekat untuk membangunkan. Tetapi yang kudapati dia tengah meringis dan menggigil dengan wajah sedikit pucat. Aku sedikit panik. "Mas, kamu kenapa?" Menyentuh keningnya ternyata panas. "Kamu demam, Mas." Dia hanya mengerang kecil dan tetap terpejam. "Mas, kamu sarapan, ya. Aku ambilkan dulu. Nanti minum obat." Bergegas aku keluar, tapi sebelum itu menyempatkan membenarkan selimutnya dulu. Kembali dengan senampan piring makanan dan segelas air mineral. Juga obat paracetamol dalam toples kecil kuselipkan. Mendekat padanya, menaruh nampan itu di nakas. Menurunkan sedikit selimutnya. "Mas, bangun. Makan dulu." Mas Arfan mengerang dan meringis seperti pusing. Aku membantunya duduk bersandar dengan mengangkat bahunya. Menyendok nasi dengan sayur sup hendak menyuapi. "Ini, Mas." "Aku bisa sendiri. Aku bukan bayi!" Mas Arfan menepis tanganku. Nasi dalam sendok terlempar jatuh ke bawah.Belum reda keterkejutanku Mas Arfan merebut sendok itu dari tanganku dengan wajah ketus. Seketika aku tertunduk dalam. Sudah berlebihan peduli padanya. Nyatanya dia tidak menginginkan itu. Aku malu sendiri juga pilu dia menolakku. Harusnya aku sadar diri, hanya istri yang terpaksa dinikahi dan tidak dicintai. "Pergi!" Dia bahkan mengusirku. "Baik, Mas. Obatnya jangan lupa diminum." Mas Arfan tidak menimpali, menunduk dan memakan pelan. Aku beranjak turun dari sisinya, memungut ceceran nasi di lantai mengumpulkan dalam telapak tangan, setelahnya keluar. ***Selesai menjemur pakaian dan sudah membersihkan rumah. Aku menghampiri Mas Arfan lagi. Meski sikapnya ketus, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Bagaimana kalau sakitnya tidak reda? Bagaimana kalau tambah parah? Tidak ingin lelaki itu kenapa-napa. Obat ternyata belum bereaksi, Mas Arfan masih panas dengan wajah memerah kini. Memejam gelisah dan meringis seperti tadi. "Ya ampun, Mas. Masih panas." Tanganku yang menyentuh keningnya kujauhkan lagi. Untuk membantu meredakan aku mengompresnya. Handuk kecil putih kuperas dari wadah lalu ditempelkan di keningnya. Mas Arfan seketika diam. Aku memandanginya iba, membenarkan selimutnya. Kali ini dia tidak mengusirku. Terus tidur tanpa peduli kehadiranku.Ponsel di tanganku berdering. Papa mertua menelepon. Aku segera menerimanya. "Ya, Pa?""Nabila, benar Arfan sakit?" "Iya, Pa. Demam.""Sudah minum obat?""Sudah tadi.""Bagaimana sekarang?""Masih panas, sepertinya obatnya belum bereaksi. Nabila bantu mengompres Mas Arfan." Ponsel kuselipkan antara bahu dan pipi untuk bisa memeras kain yang baru kuambil dari kening Mas Arfan. Lalu ditempelkan lagi pelan. "Syukurlah, kamu jangan tinggalkan dia. Kalau sakitnya berlanjut beri tahu Papa, nanti Papa bawa dokter untuk memeriksanya.""Iya, Pa." Pandanganku tertuju pada Mas Arfan sambil memegangi ponsel kembali. "Yasudah. Papa kembali kerja dulu.""Baik, Pa." Ponsel kutunda di seprai setelah sambungan terputus. Aku tidak tahu apa Mas Arfan menyimak percakapan barusan atau tidak? Aku tidak peduli itu, selain pada kesehatannya. Aku sudah memberi tahu Om Kurniawan kalau Mas Arfan sakit. Lelaki itu masih terlihat lelap. Semoga kamu cepat sembuh, Mas, dan bisa beraktivitas seperti biasanya. Papa bahkan menghawatirkanmu karna tidak masuk kantornya. Selama Mas Arfan tidak baik-baik saja aku tidak bisa menjauhinya. Sering melihat keadaannya juga memberi makan. Sampai malam lelaki itu tidak ke luar kamar, hanya berbaring. Aku tetap menemani duduk di dekatnya. Memperhatikan ia. Besok jika masih begitu keadaannya harus ditangani dokter. ***Entah sudah berapa lama aku ketiduran, saat bangun Mas Arfan sudah tidak ada di sisiku. Tempat tidur kosong hanya ada selimut. Aku lekas berdiri. Menyapukan pandang ke sekeliling. "Mas?" mencarinya dalam kamar mandi pun tidak ada. Pintu ruangan kecil itu tertutup lagi. Tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa di luar. Aku bergegas ke pintu dan meninggalkan kamar Mas Arfan. Aku mematung. Rupanya dia ada di ruang tengah sedang duduk memangku anak kecil dan ditemani Saskia! Sejak kapan dia datang? Mereka tengah mengobrol mesra, Mas Arfan terlihat baik-baik saja. Saskia duduk rapat dengannya, menyentuh pipi lelaki itu dan mengecupnya. Mas Arfan tersenyum sambil mengusap-usap kepala anak kecil di pangkuannya. Dadaku seketika bergemuruh. Beraninya membawa perempuan itu kemari. Tanpa membicarakan lebih dulu padaku. "Sayang, aku udah keramas tadi sore. Kamu bisa pake aku." Saskia mengatakan manja. Mas Arfan tersenyum lebar mendengarnya."Aku sampai demam, nungguin kamu beres." Jari tangan keduanya bertautan dan saling berpandangan mesra. Tepat ketika mereka hendak menyatukan bibir aku mendekat cepat."Mas!" Mereka sontak menjaga jarak. "Nabila?" "Kamu sengaja membawa dia ke sini, Mas?" tunjukku pada perempuan itu. Saskia menatapku tak suka. "Aku pikir kamu masih sakit, Mas. Ternyata kamu malah sedang bermesraan dengan dia." "Tidak salah. Dia istriku." "Aku tidak melarang kamu bersama dia, mau melakukan apapun terserah. Tapi aku tidak ingin melihatnya di sini. Jangan ada di rumah ini!""Heh, kamu pikir siapa?!" Saskia bangun membalasku sengit. "Jangan mengatur Mas Arfan. Ingat, kamu hanya istri sementara. Kehadiranmu juga sementara di sini. Harus tau diri! Rumah ini akan menjadi milikku nantinya. Aku yang akan menempatinya bersama Mas Arfan." "Tidak!" Saskia tersenyum sinis."Kamu hanya seonggok sampah bagi Mas Arfan, tidak lebih. Bisa dibuang kapan saja." Tidak tahan mendengar ucapannya aku menghampiri perempuan itu mendo-rong bahunya. "Pergi kamu dari sini!" Dia terhempas pada sofa dan terkejut. "Nabila! Apa-apaan kamu!" Mas Arfan membentakku tak suka. Anak kecil ditaruhnya dan dia membangunkan Saskia."Aku tidak suka dia ada di sini, Mas.""Suka tidak suka dia akan tetap di sini dan akan sering ke sini." "Jaga sedikit saja perasaanku, Mas. Jangan bawa dia ke sini!" "Ini rumahku, terserah aku mau membawa siapapun. Saskia istriku dan sudah lama bersamaku. Aku berhak membawanya ke sini." "Mas Arfan!""Diam. Jangan berbuat seperti itu lagi terhadap Saskia. Atau kamu keluar dari rumah ini sekarang juga!" Aku terkejut dan membelalak. Dia mengusirku?!"Baik, aku pergi sekarang juga!""Baik. Aku pergi sekarang juga!" Kutinggalkan Mas Arfan melangkah cepat dan berlari kecil menaiki tangga. Tidak peduli dia yang tertegun setelah mendengar jawaban tegasku. Di kamar mengeluarkan koper dan membuka lemari. Aku sudah ingin pergi sejak dia jujur malam itu. Baju-baju kumasukkan asal dengan hati perih dan rasa tak menentu. Mas Arfan keterlaluan. Menyuruhku pergi demi perempuan itu. Tetes air mata jatuh di pipi teringat Bapak. Maafkan, Nabila, Pak. Jika sekarang kembali ke rumah Bapak. Semoga tidak mengganggu kesehatan Bapak. Kuseka kasar tangisku dengan telapak tangan. Koper ditutup dan menurunkannya dari tempat tidur. Mas Arfan terdiam melihatku saat menuruni tangga. Sedangkan Saskia tersenyum senang sambil merangkul lengannya manja. Aku menunduk tidak mau melihat keduanya. "Saya pamit, Mas. Nanti Mas Arfan nyusul untuk menjatuhkan talak di hadapan orang tua saya." Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya aku keluar. Melangkah dengan berat hati dan perasaan yang hancur.
"Kok?" Mama Papa seketika keheranan. "Di mana sebenarnya kamar kalian?" "Kamarnya di atas!" "Kamarnya di bawah!" Kami menjawab berbarengan lagi tapi masih tidak satu tujuan. Tadi Mas Arfan menyebut kamarnya di bawah sekarang menyebutkan kamarku di atas. Pun sebaliknya, aku menyebutkan kamarnya. Berkebalikan dengan sebelumnya yang menyebut kamar masing-masing. Orang tua Mas Arfan terdiam semakin terheran-heran. Aku dan Mas Arfan kembali saling melirik. "Maksudnya, kami kadang tidur di kamar atas, kadang di kamar bawah, bukan begitu, Sayang?" "Oh, i-iya, Ma, Pa." Aku jadi menjawab gugup karna Mas Arfan kali ini merengkuh pinggangku mesra. "Ooh." Mama Papa lalu tertawa. "Kalian ... ya ampuun."Suamiku pun ikut tersenyum dan menghela napas lega. Kamu masih aman, Mas!***"Jangan deket-deket, Mas." Aku sedikit menjauhkan kepala Mas Arfan karna dekat sekali dengan kepalaku. "Apa sih, kamu?" sahutnya kesal. "Itu udah ada guling, Mas. Jangan lewatin batas guling." Kami terpaksa tidur
"Maaf, Bu. Arfan baru bisa nyusul Nabila ke sini." "Iya, tidak apa-apa. Kamu orang sibuk Ibu ngerti." Rupanya Mas Arfan nekat ke rumah orang tuaku meski tengah malam. Aku mendengar suaranya dari dalam kamar. "Diminum teh-nya, Fan. Mumpung masih anget.""Iya, Bu. Terimakasih." "Sudah makan? Kalau belum Ibu ada sayur dan lauknya. Ibu bisa angetin.""Udah, Bu. Nggak usah." "Nabila ada di kamarnya, tadi katanya kurang enak badan.""Oh, ya, Bu. Arfan memang belum sempat membawa ke dokter. Kalau gitu Arfan temuin Nabila dulu. Silakan Ibu istirahat. Maaf, sudah mengganggu.""Iya, silahkan. Bawa saja tehnya.""Iya, Bu."Aku buru-buru meringkuk. Sudah menyimak obrolan mereka. Pintu kamar dibuka Mas Arfan. Terdengar suara gelas ditaruh. Aku yakin itu teh manisnya. "Bila." Dia menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?" Mau tidak mau aku membuka mata. Melihatnya sudah duduk di sisiku. "Aku nggak tau kamu sakit. Kamu nggak bilang.""Memangnya kalau bilang kamu peduli?" Lelaki itu diam. Aku
"Enggak, Mas." Tangan itu kulepas dari perut. Dia bilang tidak akan menyentuhku tapi dia sendiri yang seenaknya menyentuh. Tidak bisa dipercaya ucapanmu!"Aku mau menginap lagi di sini. Masih ingin menemani Bapak. Sudah lama aku baru ke sini lagi.""Ternyata kamu keras kepala, Nabila." Raut wajah Mas Arfan berubah dingin lagi. Setelah kemauannya tidak kuturuti. "Kamunya mikir, dong, Mas. Jangan cuma bisanya berkata manis di depan orang tuaku saja. Tapi saat anaknya mau menjenguknya hanya diberi waktu sedikit!""Kamu tidak takut dosa menolakku? Aku suamimu yang harus kamu patuhi!""Kamu yang tidak takut dosa, Mas. Membohongi semua orang. Kamu tidak usah keterlaluan mengaturku. Niatmu saja salah menikahiku!" "Aku akan memberimu imbalan setelah itu. Jadi, tidak usah merasa rugi.""Sudah, Mas. Lebih baik kamu pergi. Aku mau menginap sehari lagi di sini.""Terserah. Mau tidak pulang pun. Semaumu saja!" Aku terhenyak dia merespon seperti itu. Lalu berbalik membuka pintu dan keluar melang
"Dasar mes-um!" Kujauhi pintu setelah mengunci. "Nabila!" Tidak peduli dia mengumpat lagi di luar sana. Tidak peduli besok bertemu dengannya akan bagaimana. Temui saja Saskia! Tuntaskan hasratmu bersamanya. Menyesal pergi ke dapur. Hanya membuat sakit mata.Melangkah gontai menuju tempat tidur. Memikirkannya yang sekarang begitu ingin menyentuhku. Tidak seperti awal-awal menikah bisa menjaga jarak. Duduk termenung di sisi ranjang. Apa istimewanya Saskia, Mas? Sampai-sampai kamu menggilainya. Apa karna dia sangat cantik dan tinggi seperti model? Memiliki tubuh ideal sesuai maumu, begitukah Mas? Atau karna penampilannya yang seksi? Yang memperlihatkan paha, tangan, leher mulusnya dengan memakai dress pendek atau hotpant. Perih diperut terasa lagi. Aku sampai gagal mengambil makanan dan lupa setelah melihat kemesraan mereka. Membuka tas teringat ada makanan, mengeluarkan sebungkus roti dan satu teh kotak. Memakannya dengan pikiran kemana-mana. ***Besoknya pagi-pagi sarapan sudah ter
"Savia anak Mas Arfan!" balas Saskia menjerit kembali. "Kamu menipu Mas Arfan dengan mengatakan anaknya. Padahal Ayah sebenarnya bukanlah Mas Arfan!" tekanku lagi tegas. "Mas, dia fitnah aku!" Perempuan itu meraung duduk di bawah. Menangis seperti anak tantrum. Mas Arfan melotot ke arahku. "Savia anakku." Anak itu direbut paksa olehnya. Memeluk lehernya dan masih menangis. Ruangan menjadi riuh. "Bukan, Mas. Lihat, dia tidak mirip!" "Savia memang tidak mirip denganku. Tapi mirip Saskia, cantik seperti Mamanya." "Meski mirip Mamanya sekali pun. Setidaknya ada sedikit saja mirip Papanya, tapi Savia tidak. Perhatikan, Mas. Saskia hanya memanfaatkanmu!" "Cukup, Nabila. Kamu jangan asal bicara!" "Kamu jangan bod-oh, Mas!""Aku tidak bod-oh dan percaya.""Apa yang membuat kamu percaya, apa yang membuat kamu yakin itu anak kamu? Kamu harus melakukan tes DNA, Mas!" Lelaki itu pergi tidak menjawabku. Diiringi tatapan hawatir Saskia yang masih terisak-isak.Tidak lama Mas Arfan datang l
"Hmmph. Hmmph!" Tubuhku dibawa mundur dan tidak bisa mengeluarkan suara. Sampai di balik bangunan barulah dilepas. Aku melotot menyadari siapa. "Mas Satya?!" ujarku histeris. Antara kaget dan senang ternyata orang yang dikenal. "Ssst!" Mas Satya menaruh jari telunjuk di bibirnya sendiri. "Seharusnya kamu jangan dulu menghubungi Arfan. Kita harus mempunyai bukti dulu." Ponsel yang masih tersambung dengan Arfan dimatikannya dan diserahkan padaku. "Seharusnya kamu rekam dan vidiokan percakapan Saskia. Bukan main telepon orang." "Yasudah kita vidiokan sekarang kalau begitu." "Telat. Saskia sudah pergi. Lihat saja." Aku melangkah cepat ke depan lagi, benar saja mobil dua orang itu sudah tidak ada. "Sejak kapan?""Saskia mendengar saat kamu menelepon Arfan asal kamu tahu. Jadi percuma tindakkanmu itu. Yang ada Arfan tidak percaya dan menganggap kamu mengada-ngada." "Kenapa tidak direkam sama Mas Satya?" "Saya baru datang. Tadinya mau ke rumah Arfan. Kamu berhasil kabur?" Aku mengangg
Ibu dan Bapak memasuki mobil bersiap pulang. Aku membantu menutupkan pintu dengan sedikit tidak rela. "Padahal, Ibu menginap lagi saja di sini," tawarku pada Ibu. "Nanti ke sini lagi. Kami harus pulang." Ibu mengelus pipiku sekilas dari jendela yang terbuka. Bapak duduk bersandar di sampingnya. Tersenyum seolah berkata dia baik-baik saja, agar aku tidak usah hawatir. Tapi aku melihatnya dengan tatapan prihatin. Niatku untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan kuurungkan. Tidak mau membuat keadaannya memburuk. Bagaimana kalau tiba-tiba terkena serangan jantung? Lalu ... ah, aku tak sanggup membayangkan. "Kamu baik-baik sama Arfan," pesan Ibu. "Dia suami yang baik." Kulihat lelaki itu tengah mengobrol dengan supir taksi online yang telah dipesannya. "Antarkan mertua saya dengan baik sampai rumah," ucapnya. "Siap, Pak." Supir itu membalas. Kebetulan dia orang yang sama dengan yang mengantarku ke sini kemarin. Mas Arfan menyerahkan uang ongkos lebih dulu pun de