Share

Layani Aku

Apa aku salah menerima tawaran diantar pulang kakak sepupu suami sendiri? Gerimis mendadak turun. Aku yang awalnya menolak akhirnya mau masuk mobilnya. "Tidak usah sungkan dari pada kehujanan." 

Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Mas Satya kemudian menjalankan mobil kembali. Mendadak suasana kaku kurasakan karna memang kami tidak akrab dan baru beberapa kali bertemu. Mas Satya memiliki garis wajah yang mirip dengan suamiku dengan postur tubuh yang juga sama. 

"Saya melihat kamu turun dari mobil Arfan dan dia langsung pergi." 

Jadi, dia tadi ada di belakang mobil Mas Arfan?

"Arfan pasti menurunkanmu karna perempuan itu." Mataku melebar menatap sosoknya. Mengapa dia tau? Lelaki itu balas menatapku lalu fokus mengemudi lagi. 

"Saya tau hubungan dia dan perempuan itu. Dengan Saskia."

Apa? Dia mengetahuinya?

"Termasuk pernikahan siri mereka dan Mas Arfan yang punya anak?" cecarku. 

Dia mengangguk. "Ya." 

"Apa keluarga yang lain tahu?"

"Sepertinya tidak." 

Aku menghela napas kecewa, kenapa dia tidak memberi tahuku soal ini? Apa sengaja? Apa berkonspirasi dengannya? 

"Kenapa Mas Satya tidak memberi tahu saya sebelum terjadi pernikahan, Mas?" Bulir air jatuh di pipi, berkejaran tanpa bisa ditahan. Terlalu sesak rasanya. Kupikir tidak ada orang lain tahu tentang hubungan suamiku dengan perempuan itu. Kupikir hanya aku sendirian yang mengetahui rahasianya. 

"Saya sudah memperingatkan Arfan. Tapi dia tidak mendengarkan dan malah melarang saya untuk tidak ikut campur."

"Harusnya Mas katakan pada saya langsung." Tentu aku tidak mau menikah dengannya jika tahu lebih dulu. Akan membatalkan perjodohan itu. Meski menyakitkan aku akan menolak. 

"Maaf, Nabila." 

Aku melengos pada jendela menghirup udara banyak menyingkirkan sesak itu. Dan berusaha menekan tangis. Hal seharusnya tidak kuperlihatkan pada orang lain. Sejak bersama Mas Arfan aku menahannya. 

Mas Satya memberikan selembar tisu. Sejenak aku terdiam melihat tatapan iba di matanya, sebelum akhirnya mengambil tisu tersebut. Mengusapkan di pipiku. 

Dia membawaku sampai depan rumah. Aku turun dari mobilnya. "Terimakasih, Mas." Tulus kuucapkan. Kalau tidak ada Mas Satya, mungkin aku masih di trotoar. Berjalan tak tentu arah karna sangat terpukul dengan perlakuan Mas Arfan.  

"Sama-sama," balasnya ramah. Lelaki itu pun berlalu. 

Aku berbalik memasuki rumah. Hampa dan sepi begitu terasa saat di dalam. Sudah biasa aku rasakan sejak kepindahan ke sini. Lebih tepatnya sejak Mas Arfan mengakui segala kepura-puraannya. Lelaki itu bagai batu, tidak banyak bicara dan hanya sibuk sendiri. 

Orang tuanya menghadiahkan rumah besar ini sebagai kado pernikahan. Mama Mas Arfan bahkan sudah mempersiapkan asisten rumah tangga. Ingat, dia membawanya ke sini memperkenalkannya padaku. 

"Ini Bi Sumi, sengaja Mama persiapkan untuk membantu." 

"Tidak usah pake pembantu segala, Ma. Toh, hanya kami berdua." Mas Arfan menolak kedatangan perempuan paruh baya itu. Tanpa menanyakan lebih dulu padaku. 

"Loh, jangan gitu. Biar Nabila ada teman dan tidak kecapean mengurus rumah sendirian." 

"Tidak perlu, Ma. Aku sudah cukup menemaninya. Mungkin nanti setelah ada anak baru kami membutuhkan. Bukan begitu, Sayang?" Aku sedikit gelagapan Mas Arfan menatap lembut dengan sapaan mesra seraya menggamit tanganku. Dia sengaja menghindari orang ketiga dan sikap baiknya hanya sandiwara. Tapi meski begitu aku tetap grogi dibuatnya. Terlebih di hadapan mamanya, memanas wajahku dan tersipu.

"Pula, kami ingin belajar berumah tangga mandiri." Dia meyakinkan mamanya lagi. 

"Benar, Bila? Kamu tidak apa-apa hanya berdua dengan Arfan?" 

"Iya, Ma. Tidak apa-apa." Pada akhirnya aku mengiyakan. Bukan semata-mata karna Mas Arfan, tapi aku sendiri pun akan tidak nyaman diketahui kami tidur masing-masing dan tidak akrab, tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. 

"Kamu memang istri yang baik." Mama menyentuh pipiku dengan tatapan haru, kemudian melirik Mas Arfan tegas. "Arfan, kamu harus menjaga Nabila dengan baik dan jangan sakiti dia." 

"Iya, Ma." Mas Arfan merangkul bahuku dan mengulas senyum.

Pintar dia mengelabui orang termasuk mamanya sendiri. Tante Reni percaya begitu saja padanya. 

Aku meringis, kaki terantuk sofa karna berjalan sambil melamun. Semua sikap manis Mas Arfan palsu. Tidak bisa amanah dengan ucapan mamanya sendiri. Tante Reni tidak tahu dia sudah menyakitiku sejak malam pertama pernikahan. Dan berlanjut sampai sekarang. 

*** 

Langit menggelap menjelang magrib. Mobil Mas Arfan belum ada di halaman. Lelaki itu belum pulang dan mungkin tidak akan pulang sibuk bersama Saskia. Setiap teringatnya, hatiku terasa diremat. Sebagai istri sah kehadiranku tidak berarti. 

Gorden jendela kamar ini lalu kututup. Beranjak pergi tidak ingin larut dalam kepahitan tersebut. 

Mengambil air wudhu sesudah dikumandangkan Azan dan menunaikan salat tiga rokaat. Menggulir tasbih berzdikir dan berdoa setelahnya, kemudian dilanjutkan membaca Alqur'an. Mencari ketenangan dan sebagai penawar hati yang kalut. 

Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam ayat suci, sampai kemudian terdengar pintu kamar diketuk dan dibuka. 

"Mas Arfan?" Aku menyudahi membaca dan beranjak bangun melihatnya mendekat. Mushaf kudekap erat di dada. Aku pikir dia tidak akan pulang tapi kini sudah di hadapan. 

Setelah perseteruan siang tadi bersama Saskia dan bersamanya di mobil sampai-sampai aku diturunkan di tengah jalan. Aku enggan menatapnya. Hanya menunduk dalam. Masih sangat kecewa. 

"Aku minta maaf sudah meninggalkanmu." Pelan dia katakan. 

Aku mendongak. Wajahnya lemas dengan mata sayu. Tampak kuyu. Berbeda sekali dengan siang tadi. Kenapa dia? Apa ribut besar dengan perempuan itu? 

"Maafkan aku, Nabila," ucapnya lagi sambil mencoba menyentuh wajahku kini. Tapi aku refleks menghindar. Melangkah mundur. 

"Aku masih punya wudhu, Mas." 

"Simpan mushaf itu." Aku tidak mendengarkan mematung diam sampai dia merebutnya dariku menunda begitu saja di nakas. 

"Mas!" Sembarangan dia menyentuh benda suci itu. Mas Arfan menatapku dengan raut berubah kesal. 

"Salahmu tidak langsung menyimpannya." Lelaki itu mendekatiku lagi. 

"Buka mukenanya." 

"Mau apa, Mas?" Seketika perasaanku tak enak juga was-was. 

"Buka." 

"Aku mau nunggu waktu isya." 

"Buka." Dia mendekat lagi membuka paksa kain itu. Hingga lepas dari kepala. Menjatuhkan begitu saja di bawah. "Mas, kamu apa-apaan!" Dia tidak mendengarkan merengkuh tubuhku, membelai rambut panjang yang terurai. Kemudian membawaku ke tempat tidur. 

Mas Arfan mengeluarkan sesuatu dari kantong. Meletakkan begitu saja di seprai. Pil KB? Dia membelinya lagi?

"Minum." 

Aku menggeleng dan hendak keluar. Tapi Mas Arfan menahan bahuku mendudukkan lagi di kasur. 

"Jangan pergi. Layani aku." Sudah kuduga dia menginginkan itu. Lupakah istri siri-nya yang mengamuk di apotek? Saskia tidak menginginkan Mas Arfan menyentuhku. Tapi laki-laki ini sekarang tidak peduli lagi. 

Merunduk mengecup keningku dan mencoba membu-ka kancing baju. Dia lupa aku belum meminum pil itu, tapi kini malah mendesak tak sabar. Hatiku berdebar juga berontak. Bukan malam pertama seperti ini yang kuinginkan. Tergesa, tengah didera kecewa dan tanpa cinta. Sama sekali tidak siap dan bukan waktu yang tepat. 

"Tidak mau, Mas." Tangan itu kusingkirkan, memasukkan kancing kembali ke lubangnya. Rupanya hal tersebut memantik api amarah Mas Arfan, menarik sekaligus baju hingga kancing-kancing tersebut terlepas. Terlempar ke sembarang arah. Aku tersentak kaget dan jadi takut dia kasar begitu. Pipiku tiba-tiba basah oleh aksinya. Mas Arfan mendekat lagi menciumiku dan merebahkan paksa. "Jangan, Mas!" Aku mendorongnya lekas berdiri. 

"Aku membutuhkanmu, Nabila!" teriaknya frustrasi dan nelangsa. 

"Kenapa tidak pada Saskia saja!" Aku tidak kalah keras karna sebenarnya tidak ingin mengucapkan itu dan tidak rela. Tapi terlontar begitu saja.

"Karna dia tidak bisa melayaniku!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status