Share

Bab 3. Menolak malam pertama

“Pria yang mengajakmu kawin lari itu?” tanya Ravin.

Belva mengangguk pelan. Kemudian ia mulai menceritakan kisahnya.

“Aku pernah menikah tepatnya 4 bulan yang lalu. Sama sepertimu, aku kawin lari. Tapi beberapa jam setelah akad nikah, Arav di ringkus polisi karena tuduhan pembobolan bank senilai 100 M. Dia di tahan, demi menikah dan hidup bersamaku dia rela melakukan aksi bodohnya. Kamu pasti dengar beritanya bukan?”

Ravin melebarkan mata. Ternyata kasus terhangat beberapa bulan yang lalu tentang seorang lelaki melakukan pembobolan bank itu adalah Arav, suaminya Belva. Kalau tadi Belva yang nyaris ingin pingsan, lalu sekarang Ravin tampaknya juga seperti itu.

Pasalnya lelaki bernama Arav itu pun dikabarkan bunuh diri di dalam sel tahanan sekitar dua minggu yang lalu. Itu artinya, tepat saat hari di mana Ravin melamar Belva. Mungkin Arav patah hati.

“Saat aku tahu Arav melakukan itu, aku marah besar dan menuntut untuk bercerai. Jadilah, dia tak punya pilihan selain melepaskan ikatan yang baru saja kami mulai.” Belva mengesah lelah.

“Oh Tuhan ... apa ini semua benar?” Ravin menganga tak percaya.

Belva menatap lurus pemandangan. Seolah menerawang ingatan. “Aku dan Arav berpacaran selama 3 tahun, sebelum ayah meninggal, Arav sempat berniat melamarku. Tapi ayah menolak mentah-mentah. Katanya, Arav bukan kriteria yang pantas untuk keluargaku. Saat itu, ayah juga bilang kalau aku akan dijodohkan denganmu. Sebab itu, aku pun bekerja keras untuk mengumpulkan banyak uang.

Tujuanku ingin membuktikan pada keluarga, bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa menikmati harta orang tua. Begitu juga dengan Arav. Dia tidak punya pekerjaan tetap. Mungkin karena persoalan ini dia terpaksa melakukan tindakan kriminal hanya demi mendapatkan banyak uang. Lalu menikahiku.”

Ravin memandang Belva dengan simpati. Merasa iba mendengar kisah pilu dari istri mudanya.

“Kamu pasti merasa berat sekali menjalani semua ini, Belva. Mengetahui bahwa suamimu adalah pelaku kejahatan besar dan akhirnya meninggal di dalam penjara.” Ravin mengusap lembut bahu wanita itu.

Belva menangis pelan. Sekuat apa ia menahan, tetap saja kepedihan atas musibah itu mungkin akan lekat selama-lamanya.

“Ya, Rasanya sangat berat, Ravin. Aku mencintainya, tapi aku juga tidak bisa menyetujui perbuatannya. Arav adalah orang yang baik, dia rela berkorban demi aku. Tapi mungkin, persoalan ekonomi dan penolakan dari keluargaku yang membuatnya melangkah pada jalur yang salah.” Belva menghela napas dalam-dalam.

“Itu pasti berat untuk kamu lupakan, bukan? Aku turut prihatin dengan keadaanmu.” Ravin mengusap lembut punggung Belva. Seolah mentransfer kekuatan.

Belva menggeleng pelan.

“Aku tidak berusaha melupakan kejadian itu. Tapi, aku hanya berusaha untuk lebih ikhlas menerima takdir. Yang sulit terkadang bukan tentang melupakan, tetapi berusaha berdamai dengan keadaan.” Belva tersenyum tipis.

“Maafkan aku, Bel.” Ravin menunduk lemah, seolah berasa bersalah karena persoalan lain. “Karena hadirnya aku dala hidupmu, kamu harus kembali merasakan kesedihan. Tapi percayalah, aku akan berusaha adil untukmu. Meski cintaku masih utuh milik Alana, aku akan tetap belajar untuk menyayangimu.”

Belva menyeka pipi dan tersenyum getir. “Bukan salahmu, dan bukan salahku atas pernikahan ini. Tapi takdir saja yang sepertinya senang bermain-main.”

“Aku tau, sampai kapan pun cintamu akan selalu menjadi milik Alana. Faktanya aku telah menjadi orang ketiga dalam rumah ini. Rav, gak mudah buatku untuk menerima ini!” Belva menatap dalam manik mata suaminya. Perasaannya benar-benar sedang tak karuan saat ini.

“Aku mengerti, Bel. Sebab itu, izinkan aku membantumu menghapus luka itu. Walaupun ... aku sendiri telah menjadi luka untukmu.” Ravin meraih jemari lentik Belva. Menggenggamnya penuh kasih sayang.

Ada desiran aneh yang menjalar ke seluruh tubuh Belva saat merasakan kembali sentuhan dari Ravin. Tidak bisa dipungkiri, rasa dari cinta pertama memang selalu memiliki tempat berbeda dalam jiwanya. Meskipun ia telah berkomitmen pada dirinya sendiri agar tak melibatkan perasaan dalam pernikahan ini.

Belva langsung berhambur ke dalam dekapan Ravin. Melupakan sejenak kenyataan bahwa dirinya hanya seorang madu di rumah itu. Melupakan bahwa ada benih yang sudah di tanam Ravin dalam rahim wanita lain. Apa salahnya? Belva juga adalah istri sah-nya.

Dalam benak, langsung berkelabatan gambaran saat mereka masih berusia 15 tahun. Saling jatuh cinta. Dulu pernikahan adalah tujuan akhir keduanya. Membayangkan mahligai cinta setelah menikah sungguh seperti surga dunia.

Akan tetapi seketika juga langsung teringat saat tadi Ravin begitu hangat pada Alana, mengecup kening, bibir dan tatapan penuh cinta pada istri pertamanya itu, membuat Belva perlahan melonggarkan dekapannya. Apalagi saat respon Ravin hanya mendekap sewajarnya saja.

“Maaf.” Hanya itu yang terucap. Belva berbalik badan.

“Jangan sungkan, Belva. Kamu istriku. Kamu berhak atas diriku, begitu juga sebaliknya.” Ravin melangkah mendekat. Sampai posisinya hanya beberapa inci saja dari punggung Belva. Ia menghirup aroma harum dari rambut sang istri. Membelainya dengan perlahan.

Saat hembusan napas itu menyeruak di telinga, Belva hanya bergidik. Desiran penuh gairah itu tiba-tiba seperti meruntuhkan tameng hatinya. Ia pun menginginkan kisah cinta itu, tetapi keadaannya sudah berbeda saat ini.

“Tidak, Ravin. Aku gak bisa sekarang!” Belva menarik napas dalam. Ia menolak.

Ravin hanya terdiam menatap wajah wanita dihadapannya. Wanita yang dulu menjadi teman kecil bahkan menjadi kisah pertama dari percintaannya.

Sebagai seorang lelaki, Ravin tentu masih sangat normal berada di dalam kamar berdua dengan seorang wanita apalagi itu adalah istrinya sah-nya sendiri. Belva cukup menarik, tak ada batasan lagi yang menghalangi keduanya untuk bersatu di peraduan.

“Rav, kamu paham apa yang aku maksud bukan?” Belva kembali berujar. Sementara Ravin masih bergeming dan berpikir.

Ia tersadar, mungkin saja terlalu egois jika menginginkan hal itu saat ini. Mengingat ia pun baru mengatakan seperti apa statusnya dengan wanita lain saat ini pada Belva.

“Lantas, apa yang kamu inginkan saat ini, Belva?” tanya Ravin.

Hening beberapa saat. Belva sebetulnya masih sangat kecewa dengan sikap Ravin.

“Sebagai pria beristri dua, harusnya kamu bisa memisahkan aku dari istri pertamamu, bukan? harusnya kamu bisa memberikanku tempat yang lain!” ujar Belva tegas. Ia sudah bisa mengendalikan dirinya.

Ravin membuang napas pelan. Mengerti dengan maksud Belva.

“Sebenarnya, aku sudah menyiapkan tempat untukmu, tapi tidak sekarang. Beberapa waktu ke depan, kamu harus tinggal di rumah ini bersama kami!” seru Ravin.

Belva terdiam. “Kalau begitu, biarkan aku beristirahat.”

“Malam ini dan selama 1 minggu ke depan, ini menjadi kamar kita. Jadwalku bersamamu. Jangan khawatir, Alana sudah mengizinkan kita.” Ravin kembali mendekat.

Sementara Belva mundur perlahan.

“Jangan, Rav. Jujur saja aku ... belum siap. I’m sorry! biarlah aku berdosa malam ini.” Belva menunduk lemah. Buliran bening kembali memudarkan pandangan.

Ia menolak keinginan sang suami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status