Share

Bab 2. Istri Muda Vs Istri Tua

Ravin mengesah lelah. Sepertinya suasana mulai menegang. Ia hanya bisa menarik napas dalam. Mencoba tenang.

“Belva, akan aku jelaskan semuanya. Tapi tolong jangan buat keributan!” Ravin segera bergegas menuju kamar istri mudanya.

Alana tersenyum. Kemudian matanya menilik ke arah Belva yang begitu sinis padanya. Namun, Alana tetap tersenyum, kemudian berbalik badan kembali ke kamarnya.

“Tunggu!” panggil Belva, membuat langkah Alana terhenti.

Belva memperhatikan lekat-lekat wanita dihadapannya. Dari ujung kaki hingga kepala. Alana memang bukan dari kalangan keluarga ningrat atau keturunan bangsawan. Tetapi dari segi paras, Alana memang terbilang sangat cantik dan menawan. Rambutnya hitam dan ikal, ada lesung pipi ketika ia tersenyum, bulu mata yang lentik, matanya bulat dan cerah. Persis seperti dewi yunani.

Pantas Ravin tergila-gila.

Belva pun sebetulnya tak kalah cantik dengan Alana. Memiliki paras khas asli Indonesia yang manis dan mempesona. Ia pun wanita yang cerdas dan multitalenta.

“Aku sepertinya tidak asing sama kamu?” kata Belva. Mengingat-ingat.

“Ahh, kalau tidak salah, kamu pernah ikut audisi modeling bride di event Jakarta dua tahun lalu, ‘kan?” Belva mulai teringat. Ia pun mengikuti audisi. Namun di acara itu, Belva bukan sebagai talent model, melainkan sebagai salah satu sponsor terbesar serta perancang busana pengantin termewah saat acara tersebut.

Kebetulan juga saat acara itu, Alana menjadi salah satu model pengantin dan meraih juara favorit pertama. Tentu saja nama dan wajahnya pasti lebih dikenal banyak orang setelah ajang tersebut.

“I-iya betul. Kok, kamu tau acara itu?” tanya Alana terheran.

Sementara Belva melangkah dan tatapannya begitu sulit untuk diartikan.

“Kebetulan gaun yang kamu menangkan saat audisi adalah rancanganku.” Belva tersenyum bangga.

Alana melebarkan mata tak percaya. Ia tertegun.

“Oh ya, woah! aku aja sampe gak tau siapa perancangnya, lebih tepatnya mungkin aku lupa!  ternyata kamu toh. Hebatnya ...” Alana memuji. Kemudian matanya menilik ke arah ruang tengah yang dindingnya terpampang sebuah pigura foto pernikahannya dengan Ravin.

Belva pun melihat pigura itu. Sesaat ia sempat termangu, kemudian ada senyuman terukir diwajah. Ternyata salah satu gaun rancangannya pun dipilih oleh Alana saat pernikahannya dengan Ravin.

“Gaun itu juga aku pesan di bridal boutique yang sama dengan gaun saat aku memenangkan audisi.” Alana tersenyum hangat. “Ternyata pemiliknya adalah kamu.”

“Nggak nyangka kita ketemu di sini!” ujar Belva dengan ekspresi datar.

“Iya, aku juga gak nyangka. Apalagi ... perancang busana pengantin termewah itu sekarang menjadi maduku.” Alana tersenyum manis. Kata-katanya terkesan menyindir, tetapi baginya itu hanyalah ungkapan yang sangat lugas. Tidak berniat menyinggung.

Namun, Belva yang merasa tersinggung langsung melengos dan berkata, “Aku juga ga nyangka. Finalis bride model di acara bergengsi malah jadi istri simpanan!”

“Padahal, lelaki kaya dan tampan banyak yang ngantri buat dapatin kamu, ‘kan?” sambung Belva. Tatapannya begitu sinis.

Alana termangu. Ia tersadar bahwa ucapannya telah menyinggung.

“Maaf. Aku permisi. Selamat beristirahat.” Alana langsung beranjak meninggalkan Belva yang tampak kesal. Tidak mau berdebat lebih jauh. Dan itu yang dipesan oleh Ravin padanya.

Belva menatap terus sampai Alana hilang di balik pintu kamar utama. Rasanya jika mengikuti amarah, ia ingin sekali mengacak-acak seisi rumah itu. Bukan hanya kecewa setelah mengetahui ia menjadi madu, tetapi kecewa juga dengan takdir hidupnya.

“Nyonya? kamarnya di atas.” Bi Yola menepuk pelan bahu Belva. Membuat wanita itu mengerjap dan menghela napas.

“Oh, iya, Bi.”

Bi Yola langsung mengarahkan Belva untuk menaiki lantai dua dan menunjukkan sebuah kamar. Belva memasuki kamar yang terbilang cukup luas dengan kasur berukuran sedang. Suasananya cukup nyaman dengan pemandangan yang langsung menyuguhkan bibir pantai.

Belva membuka jendela kaca, menikmati hembusan angin. Sementara Bi Yola sudah beranjak dan kembali pada pekerjaannya.

Sejenak Belva merenungi perjalanan hidupnya yang sangat menyedihkan. Terlahir dari keluarga terpandang, memiliki segalanya, tetapi soal percintaan ia selalu saja gagal.

Tak lama kemudian Ravin pun memasuki kamar itu. Dengan cepat, ia pun langsung menutup dan mengunci pintu kamar.

Awalnya Belva mengira ia sengaja dikurung didalam kamar. Namun, saat berbalik badan rupanya sang suami masih ada di tempat yang sama.

“Di rumah ini, aku yang memiliki wewenang. Bukan karena aku laki-laki, tapi aku juga seorang suami. Yang perkataannya harus kamu turuti!” Ravin berujar tegas.

Sejenak Belva terdiam. Ia ingat, bahwa pertanyaannya belum juga mendapatkan jawaban.

“Suami pembohong!” umpat Belva. Ekspresinya pun sangat masam.

Ravin menelan ludah. Mungkin ini saatnya untuk ia jujur.

“Belva, beri aku kesempatan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi ... jangan katakan hal ini pada keluarga kita.” Ravin mendekat dengan sorot wajah penuh permohonan. Membuat Belva semakin tak mengerti.

“Katakan, ada apa sebenarnya?” Belva melipat tangan di dada. Tidak ingin berbasa-basi.

Ravin berdiri di sebelah Belva yang sedang menatap pemandangan pantai. Sorot wajah wanita itu terlihat memendam amarah. Ravin sempat ragu untuk berucap, membuat waktu banyak terbuang.

“Kenapa diam? aku masih sabar menunggu penjelasanmu. Karena kalau tidak, kamu masih ingat bukan seperti apa jika aku sudah murka?” tandas Belva.

Ravin menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba mengumpulkan keberanian. Dalam benaknya pun sudah menyusun rangkaian kata untuk di sampaikan.

“Aku dan Alana sudah menikah tiga bulan lalu. Aku ... dan dia saling mencintai. Kami terpaksa menikah diam-diam karna tidak ada restu dari orang tuaku. Alana hidup sendiri. Dia hanya punya aku. Aku pun tidak mungkin membiarkan dia hidup sendirian,” jelas Ravin.

Belva melipat bibir yang bergetar. Ia memang membutuhkan penjelasan, walaupun mendengar setiap untaian kata dari Ravin, sungguh seperti sebuah sayatan dalam hatinya. Sangat menyakitkan.

“Lalu kenapa kamu masih tetap ingin menikahiku? kenapa saat kejadian itu kamu tidak langsung berkata jujur di hadapan semua keluarga?” tanya Belva.

“Tidak mungkin. Ayahku sakit, Oma Tarra juga sedang sakit parah, apa jadinya jika mereka tahu hal ini, Belva?” balas Ravin. Sejenak ia terdiam, jakunnya naik turun dengan berat.

“Ayahku dan mendiang ayahmu sudah lama menginginkan kita bersama. Keluargamu banyak berjasa dalam menolong perusahaan keluargaku. Tidak mungkin aku menyakiti hati mereka. Maafkan aku.” Ravin menunduk dalam. Meski masih banyak yang ingin ia sampaikan. Namun, rasanya masih sangat menyesakkan.

Belva terdiam membuang pandangan. Matanya mulai berair. Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya. Keadaan memang sangat menghimpit Belva dan Ravin. Mereka terpaksa menikah dua hari lalu karena mengikuti permintaan dari keluarganya.

Belva saat itu hanya memiliki seorang nenek. Yaitu Oma Tarra. Ayahnya sudah meninggal dan menitipkan amanah pada Givari—ayah Ravin, untuk menjaga Belva dan menjalankan perjanjian untuk menikahi anak tunggal mereka. Sebagai pewaris perusahaan dan menyambung keturunan ningrat dan bangsawan.

“Tidakkah kamu menyadari, bahwa yang kamu lakukan ini telah menyakiti mereka?” Belva menatap kosong dan jauh. “Ada banyak hati yang kamu lukai, Ravin.”

“Aku tau. Jauh sebelum itu aku sudah tau hal ini akan terjadi. Tapi, tolong maafkan aku, dan jangan pernah katakan kebenaran ini pada keluarga kita. Aku mohon! sebagai gantinya aku akan berikan segalanya untukmu. Apa saja, akan aku kabulkan untukmu, Belva.”

Belva tersenyum getir. Seolah tidak tertarik dengan imbalan apa pun.

“Tanpa hartamu, aku masih bisa hidup bahagia, Ravin. Aku hanya sedang meratapi nasib sialku. Tidak disangka, aku ternyata hanyalah madu di rumah ini. Sementara jauh di sana, keluarga kita sedang merayakan bahwa kita sepasang suami istri yang bahagia. Dan, yang mereka ketahui adalah aku ini istri pertamamu!” Belva berbalik badan dan berjalan menuju cermin.

Ia menatap pantulan dirinya di dalam sana. Menatap kemalangan nasibnya saat ini. Dari pelupuk mata terbayang kembali kisah cintanya dengan seorang pria yang juga sempat menjadi bagian dari hidupnya.

“Andai dia masih hidup, mungkin aku gak akan pernah bertemu dengan kamu lagi, Ravin!” kata Belva dengan nada penuh penyesalan. Sementara Ravin menautkan kedua alis dan mendekat ke arah Belva.

“Ayahmu ... pasti sudah bahagia di sana. Jangan menangis!” Ravin meraih kedua sisi lengan Belva, berusaha menenangkan. Ia berpikir wanita itu bersedih karena merindukan ayahnya.

Akan tetapi, tampaknya bukan itu yang membuat Belva menangis.

“Air mata ini bukan untuk ayahku!” kata Belva. Ia mengangkat wajah menatap Ravin yang semakin termangu.

“Apa maksudmu?” tanya Ravin terheran.

“Dia adalah Arav. Suamiku.” Belva berujar serius.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status