“Siapa perempuan itu?” Belva menyipitkan mata saat mobil berhenti di depan rumah, memandangi wanita cantik yang berdiri anggun di depan pintu dengan senyuman yang merekah.
Di sebelahnya Ravin hanya tersenyum memandangi wanita di depan pintu rumah. Membuat pertanyaan dalam benak Belva semakin besar.
“Dia Alana, istriku.”
Deg!
Belva nyaris tak percaya mendengarnya. Berharap itu hanya gurauan saja. Lidahnya tiba-tiba kelu.
“Istrimu? bagaimana bisa? bukankah istri pertamamu adalah aku?” Belva bertanya lagi. Namun, respon Ravin hanya terdiam.
Pekarangan rumah sederhana bernuansa modern di pinggiran pulau Bali menyambut kedatangan Belva dan Ravin dengan kehangatan mentari sore. Dalam hati, Belva mengira wanita itu adalah seorang pelayan, tetapi terlalu cantik dan modis jika dikatakan seorang pelayan. Dan, setelah mendengar pernyataan dari suaminya, jantung Belva serasa berhenti berdetak.
“Kamu sedang bercanda ya, Rav?” Belva masih tak percaya.
“Tidak. Ini adalah kenyataan!” balas Ravin.
Belva menelan ludah. Jantungnya berdegup dengan cepat. Ia masih sangat tercengang.
Mobil berhenti. Wanita cantik yang bernama Alana itu langsung bergegas menghampiri mobil bersama dengan seorang wanita paruh baya.
“Itu Bi Yola. Pelayan di rumahku. Kalau ada apa-apa, kamu bisa tanya sama dia. Segala keperluanmu juga sudah disiapkan olehnya.” Ravin berujar singkat. Kemudian langsung membuka pintu mobil dan beranjak keluar.
Belva hanya terdiam, memperhatikan tingkah suaminya yang sangat dingin. Namun, mata Belva kembali melebar dan hampir saja ia jatuh pingsan saat melihat Ravin mendekap dan mengecup puncak kepala Alana.
“Berani sekali dia, bermesraan dengan wanita lain di hadapanku!” Belva menatap tajam. Ia tak menyangka dengan itu semua. Deru napasnya naik turun dengan berat saat Ravin malah bergegas masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan lagi dirinya.
Bukannya mengajak dan memperkenalkan, Ravin malah bersikap sebaliknya.
“Ya Tuhan ... ujian apa lagi ini?” resah Belva yang matanya mulai berembun. Dadanya berdesir nyeri.
“Apa-apaan ini! Bisa-bisanya Ravin menipu aku!” keluhnya lagi. Ia tak henti menggerutu kesal. Hampir saja Belva berniat untuk kabur dari tempat itu.
Rasanya ia ingin sekali pergi dari drama kehidupan yang selalu di luar dugaan.
“Permisi, Nyonya.” Suara ketukan di kaca mobil membuat Belva tersadar dari lamunan.
Cepat-cepat Belva menyeka air mata dan menoleh pada wanita paruh baya yang bernama Yola.
“Aku harus kuat. Aku gak boleh lemah, lagipula bukan hanya Ravin yang membenci pernikahan ini, tapi aku juga!” Belva menarik napas panjang seolah mengumpulkan banyak kekuatan. Mengingatkan dirinya tentang perjanjian bahwa tidak ingin ada cinta lagi di antara mereka.
“Hai, Bi.” Belva tersenyum menyapa hangat.
Bi Yola tersenyum dan mengangguk. “Mari saya bantu bawakan pakaian dan barang-barangnya. Nyonya.”
“Loh, memangnya gak ada pelayan laki-laki?” tanya Belva.
“Tidak ada, Nyonya. Di rumah ini, hanya saya ART-nya. Paling kalau ada pun, hanya tukang kebun saja, itu pun datang hanya 1 minggu sekali,” ujar Bi Yola.
Belva mengangguk. Kemudian mengedarkan pandangan ke segala arah. Menilai suasana dri rumah itu. Cukup nyaman jika hanya ditempati untuk keluarga kecil.
“Mari saya bantu, Nyonya.” Bi Yola langsung berjalan menuju bagasi mobil. Namun, dengan cepat Belva menahan lengannya.
“Nggak usah, Bi. Barang-barang aku banyak banget. Gimana kalau sekarang Bibi temanin aku keliling rumah. Aku kan orang baru, jadi butuh banyak adaptasi kayaknya,” ujar Belva, membuat Bi Yola mengernyit keheranan.
“Loh, tapi Tuan Ravin meminta saya untuk membawa dan merapikan barang-barang Nyonya Belva.”
Belva tersenyum lebar dan berkata, “Ngapain repot-repot kalau di rumah ada laki-laki. Barang-barang aku banyak dan berat-berat, Bi. Jadi, biar Ravin aja yang bawain ke kamar. Kasian kalau harus Bibi yang beresin sendirian.”
“Tapi ....”
“Ada apa ini? kok malah pada ngobrol? udah hampir magrib nih. Bi, bawakan barang-barangnya cepat.” Ravin tiba-tiba keluar dan menghampiri mereka. Lalu memerintah.
“Kenapa nggak kamu aja yang bawain?” kata Belva spontan. Membuat Ravin menatapnya.
“Kamu kan laki-laki, harusnya bisa bantuin juga, dong!” sambung Belva. Ravin hanya mendengus sembari menggeleng pelan.
Tanpa basa-basi, pria itu langsung bergegas membuka bagasi mobil dan membawakan barang-barang. Dengan cepat Ravin meraih dua buah koper besar milik Belva, sementara Bi Yola hanya membawakan dua tote bag berukuran sedang yang isinya adalah makanan.
“Hati-hati, berat!” ucap Belva yang langsung mengekor dibelakang Bi Yola. Tingkahnya sudah seperti majikan padahal baru beberapa menit ia di rumah itu.
Ravin pun mempercepat langkah sembari menyeret koper-koper itu. Ia sepertinya tak ingin banyak berdebat dengan Belva, mengingat ada suatu hal juga yang telah ia sembunyikan rapat-rapat dari wanita itu. Membuatnya harus lebih bersabar menghadapi sikap istri barunya.
“Loh, kok kamu yang bawa, Mas?” tanya Alana. Ia pun langsung menghampiri suaminya dan hendak membantu.
“Eh, jangan! Kopernya besar dan berat. Kamu kan lagi hamil, takut kenapa-napa kalau angkat yang berat-berat gini.” Ravin langsung merebut kembali koper dari tangan Alana. Kemudian mengusap-usap perut wanita itu.
“Kamu juga pasti capek banget, Mas. Perjalanan dari Jogja ke Bali kan jauh banget! mau aku buatkan teh atau kopi?” kata Alana. Senyumannya begitu manis dan sangat menggoda. Selalu saja berhasil membuat semangat Ravin kembali berkobar.
Ravin melepas genggaman tangannya dari koper, lalu melingkarkan tangan di pinggang Alana. Mereka saat ini dalam posisi yang begitu intim. Sesaat ada kecupan mesra yang mereka lakukan. Seolah melepas rindu yang sudah bergejolak.
“Hmm, aku mau yang manis-manis.” Ravin menatap penuh nafsu pada Alana.
Alana hanya tertawa kecil kemudian berkata, “Malam ini kamu akan mendapatkan yang manis-manis itu. Ada madu murni yang kamu bawa ke rumah ini!”
Ravin terkekeh begitu juga dengan Alana. Mereka seolah sudah berdamai dengan keadaan.
“Tapi aku lebih rindu pada permaisuriku!” rengek Ravin. Jika dengan Alana ia selalu saja hangat dan manja. Berbeda saat tadi ia bersama dengan Belva.
“Tapi selama 1 minggu ke depan. Waktumu hanyalah untuk istri muda. Jadilah suami yang baik!” kata Alana. Kemudian sebuah kecupan hangat dan mesra kembali mereka lakukan.
Dari atas tangga. Belva mengepalkan tangan dan berdeham kencang. Membuat aktivitas panas itu langsung terhenti.
Dalam hati, Belva hanya bisa mengumpat kesal. Pasangan norak! tidak tahu malu!
Namun, ia pun kembali tersadar kalau katanya wanita itu adalah istri Ravin, artinya itu adalah istri pertama dan rumah ini adalah milik mereka berdua.
Jadi, sah-sah saja mereka mau berbuat apa pun. Tetapi setidaknya harus tau tempat dan sikon.
“Sorry. Aku mau mengambil koperku!” kata Belva yang langsung menuruni cepat-cepat anak tangga.
“Oh, gak apa-apa. Biar aku saja yang mengantarnya. Kamu istirahat saja.” Ravin kemudian kembali meraih koper-koper itu dan menoleh sejenak pada Alana, seolah meminta izin untuk beranjak.
“Kopermu berat banget sih, kamu bawa baju apa batu?” keluh Ravin saat sudah berada dihadapan Belva.
Istri muda hanya menyeringai kecil dan berkata, “Bawa beban hidup!”
Ravin mengangkat alis dan mendengus pelan. “Kamu dari dulu itu senang menimpal ya, Bel. Ingat, aku ini suamimu!”
“Terus kalau kamu suami, aku harus bersikap bagaimana, Rav? Eh, tunggu dulu. Suami macam apa yang tega berbohong pada keluarga dan istrinya?”
Ravin mengesah lelah. Sepertinya suasana mulai menegang. Ia hanya bisa menarik napas dalam. Mencoba tenang.“Belva, akan aku jelaskan semuanya. Tapi tolong jangan buat keributan!” Ravin segera bergegas menuju kamar istri mudanya.Alana tersenyum. Kemudian matanya menilik ke arah Belva yang begitu sinis padanya. Namun, Alana tetap tersenyum, kemudian berbalik badan kembali ke kamarnya.“Tunggu!” panggil Belva, membuat langkah Alana terhenti.Belva memperhatikan lekat-lekat wanita dihadapannya. Dari ujung kaki hingga kepala. Alana memang bukan dari kalangan keluarga ningrat atau keturunan bangsawan. Tetapi dari segi paras, Alana memang terbilang sangat cantik dan menawan. Rambutnya hitam dan ikal, ada lesung pipi ketika ia tersenyum, bulu mata yang lentik, matanya bulat dan cerah. Persis seperti dewi yunani.Pantas Ravin tergila-gila.Belva pun sebetulnya tak kalah cantik dengan Alana. Memiliki paras khas asli Indonesia yang manis dan mempesona. Ia pun wanita yang cerdas dan multitalent
“Pria yang mengajakmu kawin lari itu?” tanya Ravin.Belva mengangguk pelan. Kemudian ia mulai menceritakan kisahnya.“Aku pernah menikah tepatnya 4 bulan yang lalu. Sama sepertimu, aku kawin lari. Tapi beberapa jam setelah akad nikah, Arav di ringkus polisi karena tuduhan pembobolan bank senilai 100 M. Dia di tahan, demi menikah dan hidup bersamaku dia rela melakukan aksi bodohnya. Kamu pasti dengar beritanya bukan?”Ravin melebarkan mata. Ternyata kasus terhangat beberapa bulan yang lalu tentang seorang lelaki melakukan pembobolan bank itu adalah Arav, suaminya Belva. Kalau tadi Belva yang nyaris ingin pingsan, lalu sekarang Ravin tampaknya juga seperti itu.Pasalnya lelaki bernama Arav itu pun dikabarkan bunuh diri di dalam sel tahanan sekitar dua minggu yang lalu. Itu artinya, tepat saat hari di mana Ravin melamar Belva. Mungkin Arav patah hati.“Saat aku tahu Arav melakukan itu, aku marah besar dan menuntut untuk bercerai. Jadilah, dia tak punya pilihan selain melepaskan ikatan ya
“Pergilah! Aku mengizinkan kamu bersama dengan istri yang kamu cintai. Mengertilah keadaanku! kita menikah terpaksa dan tanpa cinta. Jadi, beri aku waktu.” Sesaat Belva merasa begitu puas. Ia hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya dari segala problematika ini.Soal berdosa dan lain sebagainya, mungkin ia kesampingkan dulu. Daripada melayani setengah hati, apalagi dalam keadaan yang dibohongi, lebih baik seperti ini dulu saja. Ia meminta untuk sendiri.Dari sorot wajah Ravin pun cukup menjelaskan, bahwa ia hanya sebatas nafsu saja dengan Belva, bukan atas dasar cinta kalau saja tadi mereka langsung terbuai dilautan cinta.***“Jadi cerita saat kamu bilang Belva kawin lari itu memang benar?” tanya Alana.Setelah tadi banyak berbincang dengan Belva, akhirnya Ravin kembali ke kamar istri pertamanya. Mereka sedang di atas kasur, Ravin bersandar di paha Alana, sementara wanita itu mengusap lembut rambut sang suami. Romantis sekali.“Ya. Tapi statusnya tetap masih perawan, karena setela
Belva mendengus dengan kasar. Ia merasa kesal bukan karena cemburu, melainkan masih kecewa dengan sikap Ravin yang pembohong. Dan, menurutnya pria itu juga lumayan munafik. Walaupun dulu Belva sangat memuja Ravin, tetapi baginya itu hanyalah kisah masa lalu sewaktu remaja. Saat ini tipikal prianya bukan lagi seperti Ravin. Apalagi setelah mengetahui banyak kekurangan yang menonjol dari pria itu.“Aku laporin aja sama Om Givari dan Oma Tarra, biar mampus tuh si Ravin!” gerutu Belva, ia membuka kaleng minuman soda lalu meneguknya.“Nyonya ...” Suara Bi Yola membuat Belva nyaris menyemburkan lagi minuman dari mulutnya.Ia menoleh dan menghela napas. “Ya ampun, Bi. Bikin kaget aja!”Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dan merasa tak enak. “Maaf, Nyonya. Kok belum tidur? Apa ada yang bisa saya bantu?”“Oh, nggak ada, Bi. Saya ... cuma lagi gak bisa tidur aja. Maklum kalau ditempat baru memang agak lama adaptasinya.” Belva berujar lugas. “Bibi sendiri ngapain? kok udah larut gini be
Mendengar seluruh cerita tentang kesaksian Bi Yola dalam perbincangan Ravin dan Alana, membuat Belva tak tahu harus berkomentar apa.“Saya juga tidak menginginkan pernikahan ini, Bi. Itu sebabnya aku sendiri yang meminta Ravin untuk kembali ke tempat istri tuanya.” Belva menghela napas, kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi.“Tapi, soal hubungan Ravin dan Alana yang ditentang keluarga, jujur saja aku baru tau,” sambung Belva. “Memangnya apa yang salah dari Alana? dia kan cantik, model, kalau gak salah anak seorang pengusaha juga! kenapa keluarga Ravin menolak wanita seperti Alana?”“Balik lagi ke tradisi dan standar yang sudah ditetapkan sama keluarga Tuan Ravin, Nyonya. Mereka kan menginginkan keturunan ningrat juga. Jaman sekarang kan banyak orang kaya, pengusaha, tetapi silsilah keluarganya tidak ada yang berdarah biru.” Bi Yola menjelaskan.“Ah, lebay banget ya. Padahal kan nikah ya nikah aja. Ngapain pake liat silsilah segala! Selagi orang itu baik dan sama-sama cinta
Panggilan tidak terjawab. Sesaat setelah melihat nama pemanggil, Ravin termangu dengan benak yang berputar. Menebak-nebak asal siapa pria bernama Tigor itu. Ia menilik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Sepertinya Belva masih membutuhkan waktu untuk berganti pakaian.Namun, saat akan beranjak, ponsel sang istri kembali menyala. Kali ini sebuah pesan masuk dari nama yang sama. Ravin melirik singkat dan sempat membaca sebagian pesan itu.Tigor : Dua jam lagi aku tiba di Bali. Aku akan langsung menuju lokasi.Ravin mengeryit. Sepertinya pria itu telah melakukan janji temu dengan istrinya. Tak lama kemudian, Belva yang baru selesai berganti pakaian langsung keluar dan kembali terkejut saat melihat Ravin masih berada di dalam kamarnya.“Loh, kamu masih di sini?” tanya Belva seraya mengeringkan rambutnya.Ravin tak langsung menjawab. Sejenak ia memperhatikan istrinya yang pagi ini terlihat lebih segar dan cantik. Mengenakan blouse hitam dan celana jeans dengan rambut coklatnya y
Notifikasi pesan berbunyi. Belva yang sedang gusar karena kedatangan Ravin secara tiba-tiba langsung melihat pesan itu. Matanya membulat, pasti Tigor sudah tiba di tempat itu.Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Sampai di ujung sebuah meja dekat jendela kaca besar, ia melihat seorang pria tampan dengan setelan kasualnya sedang mengangkat tangan dan melambai ke arahnya. Itulah Tigor.Beva pun tersenyum dan memberikan kode agar Tigor ke tempatnya. Kemudian, Ravin pun menoleh ke arah Tigor lalu menyipitkan mata dan berekspresi datar.“Kenapa dia duduk di sana?” tanya Ravin.“Gak tau!” balas Belva.“Dia benar managermu atau ....” Ravin menyelidik. Membuat Belva menatapnya dengan sengit.“Atau apa? kamu akan mengira aku selingkuh?” Belva geram. Mengerti arah pikiran suaminya.“Kalau dia memang orang terdekatmu, kenapa harus duduk jauh dari kita? harusnya ya hampiri saja kita di sini!” kata Ravin santai.Belva terdiam dengan ekspresi yang sangat muak. Malas berdebat dengan suaminya. Ke
Belva mengangkat bahu dan menggeleng pelan. “Entahlah, aku seperti terjerat selama-lamanya!”“Apa kamu punya rencana? Maksudku apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” tanya Tigor lagi.Hening beberapa saat, hanya terdengar suara deburan ombak dan angin yang bertiup lembut.“Aku ingin lebih sibuk. Aku tidak ingin banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi, kita harus membuka cabang besar di sini. Aku akan membuat boutique sekaligus membuka kelas desainer. Keduanya harus berbeda tempat. Supaya aku tidak stay di satu tempat saja,” jelas Belva.Tigor mengangguk mengerti. “Itu gampang. Aku akan bantu mengurus segala keperluannya. Bahkan, jika kamu izinkan, aku akan memulainya besok!”“Baguslah.” Belva menghela napas lega dan tersenyum. “Setelah urusan butik selesai, aku mau kita juga mengadakan event besar seperti di Jakarta dua tahun lalu. Kalau perlu lebih besar lagi. Kali ini kita bisa mengundang dan mengajak kerja sama dari rekan di Australia.”“Okay. Ide bagus! kebetulan sekali untuk i