Share

TERTAWAN GODAAN CINTA
TERTAWAN GODAAN CINTA
Penulis: Nida Aulia

Bab 1. Memboyong istri muda

“Siapa perempuan itu?” Belva menyipitkan mata saat mobil berhenti di depan rumah, memandangi wanita cantik yang berdiri anggun di depan pintu dengan senyuman yang merekah.

Di sebelahnya Ravin hanya tersenyum memandangi wanita di depan pintu rumah. Membuat pertanyaan dalam benak Belva semakin besar.

“Dia Alana, istriku.”

Deg!

Belva nyaris tak percaya mendengarnya. Berharap itu hanya gurauan saja. Lidahnya tiba-tiba kelu.

“Istrimu? bagaimana bisa? bukankah istri pertamamu adalah aku?” Belva bertanya lagi. Namun, respon Ravin hanya terdiam.

Pekarangan rumah sederhana bernuansa modern di pinggiran pulau Bali menyambut kedatangan Belva dan Ravin dengan kehangatan mentari sore. Dalam hati, Belva mengira wanita itu adalah seorang pelayan, tetapi terlalu cantik dan modis jika dikatakan seorang pelayan. Dan, setelah mendengar pernyataan dari suaminya, jantung Belva serasa berhenti berdetak.

“Kamu sedang bercanda ya, Rav?” Belva masih tak percaya.

“Tidak. Ini adalah kenyataan!” balas Ravin.

Belva menelan ludah. Jantungnya berdegup dengan cepat. Ia masih sangat tercengang.

Mobil berhenti. Wanita cantik yang bernama Alana itu langsung bergegas menghampiri mobil bersama dengan seorang wanita paruh baya.

“Itu Bi Yola. Pelayan di rumahku. Kalau ada apa-apa, kamu bisa tanya sama dia. Segala keperluanmu juga sudah disiapkan olehnya.” Ravin berujar singkat. Kemudian langsung membuka pintu mobil dan beranjak keluar.

Belva hanya terdiam, memperhatikan tingkah suaminya yang sangat dingin. Namun, mata Belva kembali melebar dan hampir saja ia jatuh pingsan saat melihat Ravin mendekap dan mengecup puncak kepala Alana.

“Berani sekali dia, bermesraan dengan wanita lain di hadapanku!” Belva menatap tajam. Ia tak menyangka dengan itu semua. Deru napasnya naik turun dengan berat saat Ravin malah bergegas masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan lagi dirinya.

Bukannya mengajak dan memperkenalkan, Ravin malah bersikap sebaliknya.

“Ya Tuhan ... ujian apa lagi ini?” resah Belva yang matanya mulai berembun. Dadanya berdesir nyeri.

“Apa-apaan ini! Bisa-bisanya Ravin menipu aku!” keluhnya lagi. Ia tak henti menggerutu kesal. Hampir saja Belva berniat untuk kabur dari tempat itu.

Rasanya ia ingin sekali pergi dari drama kehidupan yang selalu di luar dugaan.

“Permisi, Nyonya.” Suara ketukan di kaca mobil membuat Belva tersadar dari lamunan.

Cepat-cepat Belva menyeka air mata dan menoleh pada wanita paruh baya yang bernama Yola.

“Aku harus kuat. Aku gak boleh lemah, lagipula bukan hanya Ravin yang membenci pernikahan ini, tapi aku juga!” Belva menarik napas panjang seolah mengumpulkan banyak kekuatan. Mengingatkan dirinya tentang perjanjian bahwa tidak ingin ada cinta lagi di antara mereka.

“Hai, Bi.” Belva tersenyum menyapa hangat.

Bi Yola tersenyum dan mengangguk. “Mari saya bantu bawakan pakaian dan barang-barangnya. Nyonya.”

“Loh, memangnya gak ada pelayan laki-laki?” tanya Belva.

“Tidak ada, Nyonya. Di rumah ini, hanya saya ART-nya. Paling kalau ada pun, hanya tukang kebun saja, itu pun datang hanya 1 minggu sekali,” ujar Bi Yola.

Belva mengangguk. Kemudian mengedarkan pandangan ke segala arah. Menilai suasana dri rumah itu. Cukup nyaman jika hanya ditempati untuk keluarga kecil.

“Mari saya bantu, Nyonya.” Bi Yola langsung berjalan menuju bagasi mobil. Namun, dengan cepat Belva menahan lengannya.

“Nggak usah, Bi. Barang-barang aku banyak banget. Gimana kalau sekarang Bibi temanin aku keliling rumah. Aku kan orang baru, jadi butuh banyak adaptasi kayaknya,” ujar Belva, membuat Bi Yola mengernyit keheranan.

“Loh, tapi Tuan Ravin meminta saya untuk membawa dan merapikan barang-barang Nyonya Belva.”

Belva tersenyum lebar dan berkata, “Ngapain repot-repot kalau di rumah ada laki-laki. Barang-barang aku banyak dan berat-berat, Bi. Jadi, biar Ravin aja yang bawain ke kamar. Kasian kalau harus Bibi yang beresin sendirian.”

“Tapi ....”

“Ada apa ini? kok malah pada ngobrol? udah hampir magrib nih. Bi, bawakan barang-barangnya cepat.” Ravin tiba-tiba keluar dan menghampiri mereka. Lalu memerintah.

“Kenapa nggak kamu aja yang bawain?” kata Belva spontan. Membuat Ravin menatapnya.

“Kamu kan laki-laki, harusnya bisa bantuin juga, dong!” sambung Belva. Ravin hanya mendengus sembari menggeleng pelan.

Tanpa basa-basi, pria itu langsung bergegas membuka bagasi mobil dan membawakan barang-barang. Dengan cepat Ravin meraih dua buah koper besar milik Belva, sementara Bi Yola hanya membawakan dua tote bag berukuran sedang yang isinya adalah makanan.

“Hati-hati, berat!” ucap Belva yang langsung mengekor dibelakang Bi Yola. Tingkahnya sudah seperti majikan padahal baru beberapa menit ia di rumah itu.

Ravin pun mempercepat langkah sembari menyeret koper-koper itu. Ia sepertinya tak ingin banyak berdebat dengan Belva, mengingat ada suatu hal juga yang telah ia sembunyikan rapat-rapat dari wanita itu. Membuatnya harus lebih bersabar menghadapi sikap istri barunya.

“Loh, kok kamu yang bawa, Mas?” tanya Alana. Ia pun langsung menghampiri suaminya dan hendak membantu.

“Eh, jangan! Kopernya besar dan berat. Kamu kan lagi hamil, takut kenapa-napa kalau angkat yang berat-berat gini.” Ravin langsung merebut kembali koper dari tangan Alana. Kemudian mengusap-usap perut wanita itu.

“Kamu juga pasti capek banget, Mas. Perjalanan dari Jogja ke Bali kan jauh banget! mau aku buatkan teh atau kopi?” kata Alana. Senyumannya begitu manis dan sangat menggoda. Selalu saja berhasil membuat semangat Ravin kembali berkobar.

Ravin melepas genggaman tangannya dari koper, lalu melingkarkan tangan di pinggang Alana. Mereka saat ini dalam posisi yang begitu intim. Sesaat ada kecupan mesra yang mereka lakukan. Seolah melepas rindu yang sudah bergejolak.

“Hmm, aku mau yang manis-manis.” Ravin menatap penuh nafsu pada Alana.

Alana hanya tertawa kecil kemudian berkata, “Malam ini kamu akan mendapatkan yang manis-manis itu. Ada madu murni yang kamu bawa ke rumah ini!”

Ravin terkekeh begitu juga dengan Alana. Mereka seolah sudah berdamai dengan keadaan.

“Tapi aku lebih rindu pada permaisuriku!” rengek Ravin. Jika dengan Alana ia selalu saja hangat dan manja. Berbeda saat tadi ia bersama dengan Belva.

“Tapi selama 1 minggu ke depan. Waktumu hanyalah untuk istri muda. Jadilah suami yang baik!” kata Alana. Kemudian sebuah kecupan hangat dan mesra kembali mereka lakukan.

Dari atas tangga. Belva mengepalkan tangan dan berdeham kencang. Membuat aktivitas panas itu langsung terhenti.

Dalam hati, Belva hanya bisa mengumpat kesal. Pasangan norak! tidak tahu malu!

Namun, ia pun kembali tersadar kalau katanya wanita itu adalah istri Ravin, artinya itu adalah istri pertama dan rumah ini adalah milik mereka berdua.

Jadi, sah-sah saja mereka mau berbuat apa pun. Tetapi setidaknya harus tau tempat dan sikon.

Sorry. Aku mau mengambil koperku!” kata Belva yang langsung menuruni cepat-cepat anak tangga.

“Oh, gak apa-apa. Biar aku saja yang mengantarnya. Kamu istirahat saja.” Ravin kemudian kembali meraih koper-koper itu dan menoleh sejenak pada Alana, seolah meminta izin untuk beranjak.

“Kopermu berat banget sih, kamu bawa baju apa batu?” keluh Ravin saat sudah berada dihadapan Belva.

Istri muda hanya menyeringai kecil dan berkata, “Bawa beban hidup!”

Ravin mengangkat alis dan mendengus pelan. “Kamu dari dulu itu senang menimpal ya, Bel. Ingat, aku ini suamimu!”

“Terus kalau kamu suami, aku harus bersikap bagaimana, Rav? Eh, tunggu dulu. Suami macam apa yang tega berbohong pada keluarga dan istrinya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status