Share

Bab 6

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

POV Agus

Rini melotot, dia menghempaskan tanganku. Marah.

"Kamu itu ke mana saja, Mas? Ngelayap terus. Sampai-sampai aku jadi tontonan warga karena diamuk mantan istrimu," omelnya.

"Y-ya aku ngga tahu kalau akan ada kejadian seperti ini. Tadi aku cuma ngopi di warung Mak Nah."

"Ngga tahu, ngga tahu. Kamu itu memang ngga pernah tahu apa-apa, Mas. Yang kamu tahu cuma enak-enakan doang. Ngerokok, ngopi, molor. Itu terus kerjaannya." Rini nerocos tanpa henti. Aku yang kena sasaran.

"Itu 'kan salah kamu, Sayang. Karena kemarin …."

"Apa kamu bilang? Salah aku. Salahnya di mana, coba bilang? Aku cuma memperingatkan bocah itu biar ngga selalu panggil bapak setiap lihat kamu. Sebel dengernya." Rini memotong ucapanku.

Zizah 'kan memang anakku. Wajar saja dia memanggilku dengan sebutan Bapak, ucapku dalam hati. Aku memang tidak pernah berani protes ataupun membantah Rini. Bisa-bisa ditendang dari rumahnya.

Memilih Rini dan meninggalkan Siti sudah dengan pemikiran matang. Rini cantik, s*ksi, yang pasti banyak duit. Dia juga salah satu warga RT 01 yang disegani karena memiliki banyak materi. Siapapun pasti pengen hidup enak. Pun denganku.

Siti memang manis dan lebih muda. Dia juga rajin bekerja. Tapi penghasilannya cuma cukup buat makan sehari-hari. Itupun dengan lauk seadanya. Setiap minta duit untuk beli rokok, pasti diceramahin. Apalagi sama simboknya itu. Lama-lama aku 'kan bosan dan tidak tahan hidup seperti itu.

Bukannya tidak bertanggung jawab sebagai suami. Tapi memang belum ada pekerjaan yang cocok denganku. Makanya sampai sekarang masih nganggur.

"Mas, pokoknya kita mesti balas Siti. Enak saja, berani-beraninya dia mempermalukan aku seperti tadi."

—--------------

"Apa? Jangan g*l* kamu, Sayang. Aku ngga mau ah. Terlalu beresiko," tolakku ketika Rini menyuruhku mencelak*i Siti. Rini bilang sebagai balasan atas apa yang sudah Siti lakukan padanya.

"Ya sudah, siap-siap saja semua bajumu aku buang keluar, Mas."

Aku hanya bisa menelan ludah mendengar ancamannya tersebut.

"Jangan begitu, Sayang. Aku punya masukan, bagaimana kalau kamu balas jambak dia saja." Berusaha membujuk Rini agar lupa dengan niat ekstrimnya tersebut.

"Berarti kamu menolak, ya, Mas. Oke." Rini berjalan ke kamar. Dia mengeluarkan semua pakaianku dari dalam lemari.

"Iya, iya. Aku akan melakukan apa yang kamu suruh. Tapi kalau sampai ketahuan, kamu harus berani bertanggung jawab, ya."

"B*d*h. Ya, jangan sampai ketahuan lah. Cepetan sana, kamu ikutin Siti. Dia 'kan jualan cilok keliling. Cari situasi aman di tempat yang sepi. Langsung, deh, beraksi."

Gampang banget Rini nyuruh aku melakukan hal kr*m*nal. Dia sendiri tidak mau nanggung resiko. Tapi mau tidak mau harus aku lakukan. Daripada diusir.

"Terus aku mesti ngikutin dia dari pagi begini? Dia 'kan kerja di perumahan dulu, baru jualan cilok."

"Mmm … hafal banget, ya. Mentang-mentang mantan istrinya."

Ngomong sama Rini memang selalu salah.

Tidak ingin berdebat terus. Aku pun memilih langsung pergi. Sebenarnya mataku ngantuk berat, butuh kopi, perut juga masih kosong.

-

Untung saja ada warteg dekat perumahan tempat Siti bekerja, jadi aku bisa menunggu dia di sini.

Setengah hari berlalu, akhirnya Siti pun terlihat keluar mendorong gerobak dari tugu perumahan.

Siti bersama Zizah, terus bagaimana mencelak*i dia? Tidak mungkin Zizah ikut aku celak*i. Mana masih bingung mau aku apain si Siti. Hah … ada-ada saja idenya Rini. Bikin susah.

Kalau ditubr*k dari belakang, kira-kira berbahaya ngga, ya? Atau mending aku seremp*t saja.

Dari jarak aman aku terus mengikuti Siti. Sesekali berhenti agar tidak terlalu dekat sambil melihat situasi.

Jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Tapi … saat aku ingin melakukan aksi, tiba-tiba rasanya takut.

Bagaimana kalau dijalanan ini terpasang CCTV. Belum lagi kalau nanti Siti terluka parah. Aku tidak mau berurusan sama pihak berwajib hanya karena melakukan hal konyol. Akhirnya aku pun mengurungkan niat tersebut.

Masih tetap mengikuti Siti, sambil memikirkan cara lain untuk membalas perbuatannya pada Rini.

Konyol … bisa-bisanya dari pagi nungguin Siti dan sekarang harus ngikutin dia bak detektif. Tapi kuat juga Siti sama Zizah, jalan panas-panasan sejauh ini.

Saat fokus mengamati mereka, tiba-tiba ada sebuah mobil yang menghalangi pandangan. Mobil tersebut membunyikan klakson.

Mau ngapain mobil itu? Masa' iya mau beli cilok. Siti terlihat berhenti dan menepikan gerobaknya.

Aku minggir dan mengamati dari balik pohon besar. Seorang bapak turun dari mobil dan menghampiri Siti. Mereka seperti berbincang, tapi entah apa. Karena aku tidak dengar.

Jangan-jangan. Siti jualan cilok cuma sebagai kedok. Aslinya dia perempuan p*nggilan. Wah harus diabadikan momen ini. Bisa buat bukti.

Aku segera mengambil ponsel dari saku jaket dan memfoto mereka. Setelah mendapat beberapa foto aku pun langsung pergi.

-

Rini sudah berdiri di depan ketika aku pulang.

"Bagaimana, Mas? Kamu berhasil mencelak*i Siti 'kan? Pasti kamu sudah t*br*k kakinya biar luka dan tidak bisa jalan. Setelah itu dia tidak bisa kerja dan tidak punya uang. Hidup dia dan keluarganya menderita. Aku tinggal tertawa deh."

Bayangan Rini terlalu jauh. Dia tidak punya rasa takut sama sekali ingin membuat Siti terluka.

"Di dalam saja ngomongnya. Nanti ada yang dengar bisa-bisa dilaporkan. Kamu mau? Lagian aku mau istirahat sebentar. Capek banget."

"Istirahatnya nanti. Aku mau tahu dulu apa yang sudah kamu lakukan pada janda g*t*l itu."

Mengambil ponsel dan memperlihatkan foto yang kudapat tadi pada Rini.

Rini melihat dengan wajah datar. " Kamu itu ngapain malah ngasih lihat foto ngga penting seperti ini. Terus, Siti kok kelihatan masih baik-baik saja?"

Menghembuskan napas kasar. "Dia memang masih baik-baik saja. Aku tidak melakukan seperti yang kamu inginkan. Terlalu beresiko," jelasku sembari menyandarkan kepala di sofa.

Rini melempar ponsel ke arahku.

"Ternyata kamu pengen hidup gemb*l, ya, Mas. Oke … aku turuti." Rini melempar sebuah tas besar. "Cepetan pergi dari rumah ini." Dia menarik tanganku. Sangat marah.

"Sayang, kamu apa-apaan, sih. Dengar dulu, aku mau jelaskan."

"Mau jelasin apa lagi? Disuruh mencelak*i Siti saja tidak kamu lakukan. Apa kamu masih mencintai dia, makanya tidak mau melakukan hal tersebut."

"Kita bisa membalas Siti tanpa harus melakukan hal kr*m*nal, Sayang. Kamu lihat 'kan foto tadi. Siti sedang bersama seorang bapak."

"Terus penting, gitu, buat aku."

"Penting banget. Karena bapak itu pasti pelanggan Siti. Tidak mungkin seorang bapak turun dari mobil bagus hanya untuk beli cilok. Kan tidak masuk akal."

"Pelanggan? Maksudnya pelang-gan pl*s-pl*s?"

Aku menjawab dengan menaik turunkan alis.

"Si-Siti ju*l diri?"

"Foto tadi bisa untuk mempermalukan Siti di desa ini, Sayang. Terutama di RT 01."

Rini teriak histeris. Dia memelukku sangat erat. Begitu senang.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status