Share

Bab 7

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

"Mbok, ada apa? Kenapa Simbok menangis?" tanyaku khawatir ketika melihat simbok duduk di tepi tempat tidur dengan air mata bercucuran. Entah apa yang terjadi karena aku dan Zizah baru saja pulang. "Apa ada yang sakit, Mbok? Siti antar ke dokter, ya," tanyaku lagi.

Simbok menggelengkan kepala. 

"Sit, tadi Rini …." Beliau menghentikan ucapan.

Rini? Bikin ulah apa lagi dia? Kenapa Simbok sampai menangis?

"Rini kenapa, Mbok?"

"Tadi dia ke sini bersama beberapa warga RT 01. Dia menunjukkan foto pada Simbok."

"Foto? Foto apa, Mbok?"

"F-foto kamu bersama seorang bapak. Rini bilang sama Simbok, kalau kamu sudah mencoreng warga RT 01. Si-Simbok percaya sama kamu, Sit. Tidak mungkin kamu melakukan perbuatan seperti yang dikatakan Rini."

"Memangnya Siti melakukan perbuatan apa?" 

"Katanya kamu menj*al d*ri." Tangis simbok semakin tergugu. 

"Rini bilang seperti itu, Mbok? Simbok percaya 'kan sama Siti? Siti tidak mungkin melakukan hal tersebut."

Simbok mengangguk berulang kali. 

"Zizah, kamu sama Mbah dulu, ya. Emak mau keluar sebentar."

"Kamu mau ke mana, Sit? Jangan. Jangan ke sana." Sepertinya simbok tahu kalau aku mau menemui Rini lagi. 

"Tidak bisa, Mbok. Siti harus tetap ke sana. Rini sudah berkali-kali menyakiti Siti. Simbok jangan takut. Kita mesti lawan orang-orang yang dzolim pada keluarga kita." 

Aku segera pergi menuju rumah Rini. Sepertinya pelajaran yang aku kasih kemarin belum membuatnya jera. Justru semakin ngelunjak. 

Belum sampai di rumahnya, aku sudah berpapasan di jalan. Dia sedang bersama beberapa ibu-ibu. 

"Kebetulan kamu di sini, Rin."

"Eh … perempuan p*nggil*n. Dapat uang berapa dari Bapak itu? Lima juta? Ups … terlalu kemahalan. Paling dua ratus ribu, ya, sekali main." 

Aku tak mampu menahan emosi setelah mendengar ucapan Rini. Seketika tangan ini melayangkan sebuah tamparan berulang kali. 

"Ibu-ibu. Berarti benar 'kan yang saya katakan. Nyatanya dia sangat marah." 

"Siti, perempuan tidak tahu malu. Sudah ketahuan busuknya, masih saja sok-sok'an tidak terima. Mending kita ker*y*k rame-rame saja dia. Bikin malu RT 01," sambung seseibu yang termakan fitnah Rini.

Saat ibu-ibu tersebut hendak menger*y*kku, terdengar teriakan histeris yang membuat mereka tidak jadi maju. 

"Jangan pernah sakiti Siti. Dia anak baik. Tidak mungkin anak Simbok berbuat seperti yang kalian tuduhkan. Simbok berani jamin." 

Simbok yang masih terlihat pucat sembari menggandeng Zizah, jalan tergopoh-gopoh mendekatiku. 

"Mbok, kenapa ke sini? Simbok pulang, ya. Siti bisa menyelesaikan masalah ini sendiri." Aku berusaha bersikap tenang dihadapan beliau. Meski hati ini begitu sakit.

"Simbok tidak akan membiarkan kamu disakiti oleh mereka, Sit. Warga yang tidak punya hati. Selama ini Simbok selalu menyuruhmu untuk sabar. Tapi kali ini Simbok sendiri yang ingkar, Sit. Simbok tidak rela mereka memfitnah kamu."

"Emakk …." Zizah memelukku, dia mendongakkan wajah. Menatapku. 

"Zizah, anak Emak. Ajak Mbah pulang, ya. Emak sedang ada latihan drama dengan ibu-ibu. Buat acara tahun baru nanti." 

"Emak, Emak ngga apa-apa?" tanya'nya dengan raut wajah ketakutan. 

"Emak tidak apa-apa, Zizah." Aku berjongkok, menatap dan mengelus rambutnya. 

"Mbok, Siti mohon. Simbok pulang saja. Ya, Mbok." Berusaha membujuk Simbok. 

Akhirnya beliau pun mau pulang, meski terlihat jelas langkah kaki beliau berat. Berkali-kali menoleh ke arahku. Pun dengan Zizah. 

"Kalian masih mau menger*y*k saya? Silahkan! Tapi saya tidak akan tinggal diam. Apa yang dikatakan Rini jelas sebuah fitnah amat keji."

"Apanya yang fitnah, jelas-jelas aku punya buktinya. Nih lihat. Buka mata kamu!"

Rini menunjukkan foto. Difoto tersebut ada aku dan Pak Baskoro. 

Aku tersenyum kecut. "Heh, jadi karena foto ini, lantas kamu seenak jidat memfitnahku yang tidak-tidak, Rin."

"Pasti dia salah satu pria yang b*king kamu 'kan."

"Namanya pelakor, pikirannya selalu kotor. Kasihan sekali kamu, Rin. Punya hati sangat bus*k."

Tidak berapa lama, di tengah-tengah perdebatan kami. Pak RT dan Bu RT datang. Entah siapa yang memberitahu mereka. 

"Assalamu'alaikum," ucap Pak RT.

"Wa'alaikumsalam," jawabku dibarengi ibu-ibu lainnya.

"Ada apa ini? Tadi salah satu warga lapor. Katanya ada keributan. Bisa tolong jelaskan. Kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik."

"Bu RT." Rini menarik tangan Bu RT, lalu berbisik. Kemudian mereka saling menatap satu sama lain. 

"Ibu," bentak Pak RT. 

"Ada apa, sih, Pak?" 

"Tidak perlu bicara bisik-bisik!"

Bu RT melirik sinis suaminya tersebut. 

"Ada yang bisa jelaskan? Siapa dulu yang mau bicara." 

Saat hendak bicara, Rini sudah mendahului. Menyambar seperti petir.

Dia nyerocos tanpa henti. Masih dengan tema yang sama, Menuduhku yang tidak-tidak di depan Pak RT dan Bu RT. 

"Apa Mbak Rini berani mempertanggung jawabkan ucapan barusan?" 

"Berani, dong, Pak RT. Lha wong saya punya bukti kuat."

Rini menunjukkan fotoku bersama Pak Baskoro. 

"Ini 'kan hanya foto biasa. Kenapa Mbak Rini bisa bilang begitu. Apa Mbak Rini punya bukti lain?"

"Pak. Mbak Rini itu justru mau menyelamatkan nama baik RT 01 dari perbuatan memalukan yang dilakukan salah satu warga kita. Kenapa Bapak malah memojokkan Mbak Rini seperti itu."

"Ibu, diam. Di sini Bapak RT-nya. Bapak yang bertanggung jawab dengan warga RT 01."

"Tapi Ibu juga Bu RT."

"Sepertinya Pak RT memang selalu membela Siti, Bu RT." Masalah satu belum selesai, Rini sudah mencari masalah baru. 

Sebenarnya ada dendam apa dia padaku?

"Pak." Bu RT melotot. "Bapak diam saja. Ini masalah ibu-ibu. Mbak Siti. Seharusnya Mbak Siti itu menjaga nama baik RT 01, bukan malah mempermalukan. Bagaimana kalau berita ini sampai terdengar oleh warga RT lainnya. Malu, Mbak. Malu."

Astaga, Bu RT dan Rini memang seperti pinang dibelah dua. Tidak ada bedanya.

"Kenapa Bu RT seolah-olah membernarkan ucapan Rini? Padahal semua itu tidak benar."

"Apanya yang tidak benar, jelas ada buktinya." Bu RT ikut memojokkan.

"Apa saya harus memberi contoh agar Bu RT paham? Begini, Bu. Seandainya ada seorang bapak sedang bicara pada Bu RT, terus difoto, lantas foto tersebut diberitakan kalau Bu RT punya hubungan spesial dengan bapak tersebut. Apa yang akan Ibu lakukan? Diam saja'kah? Membiarkan fitnahan tersebut'kah? Saat ini posisi saya seperti itu. Rini telah memfitnah saya."

"Astaghfirullah, benar itu, Mba Rini?" Pak RT membelaku.

"Bapakkk. Diam!" Di depan kami semua Bu RT membentak Pak RT

"Ya, begitu, Bu. Kalau suami sudah kena pelet janda gat*l." Rini terus-terusan memperkeruh suasana. "Yang pasti ucapan saya itu 100 persen benar. Karena saya punya bukti. Sedangkan Siti, dia hanya bisa mengelak. Betul tidak ibu-ibu?"

Semua ibu-ibu, bahkan Bu RT pun menjawab dengan jawaban yang sama "betul."

"Saya berani angkat kaki dari RT 01 kalau sampai melakukan perbuatan kotor seperti yang dituduhkan Rini. Tapi sebaliknya, kalau saya bisa membuktikan hal tersebut. Kalian harus mencium kaki saya, kecuali Pak RT."

Semua melotot mendengar ucapanku. 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status