Share

4. Dinodai atau Menodai?

Baru hari pertama sudah party.  Akhirnya Sagara membuktikan sendiri motto hidup khas anak- anak muda hedon ibukota. Belajar, bekerja lalu pelariannya berpesta pora. Oh astaga! Mereka baru saja diterima magang, namun jalan yang dipilih untuk menjalin keakraban adalah justru dengan open table? Budaya dari mana ini?

Sagara mengiyakan ajakan sesama rekan magangnya untuk makan malam bersama. Katanya mereka hanya akan makan malam di salah satu resto dekat kantor sebagai bentuk ucapan selamat karena telah diterima magang dan sekaligus mengakrabkan diri. Jadilah sepuluh orang muda mudi itu beriringan masuk menikmati makan malam dengan menyenangkan. 

Namun Sagara tidak pernah tahu bahwa akan ada acara lanjutan setelahnya.  Dia tidak pernah tahu bahwa acara makan malam yang tadinya diisi riuh tawa kini berubah jadi gemerlap malam berisik ditemani belasan botol alkohol berjejer rapi diatas meja.

Entah sudah berapa botol yang tandas tak bersisa. Sagara hanya bisa mengamati dan berusaha bersosialisasi tanpa harus dicemari oleh cairan laknat tersebut. 

Sagara bukan peminum handal. Dia harus mengakui bahwa toleransi alkoholnya cukup rendah. Maka dari itu ia berusaha kuat untuk tidak mencicip sedikitpun minuman dengan kadar alkohol tinggi itu. Berkali- kali Sagara menolak saat rekannya menawarkan minum padanya. Jujur ia tidak bisa begitu keras pada mereka, namun Sagara juga tidak mau mempertaruhkan dirinya sebagai resiko apabila nantinya ia menenggak cairan tersebut.

Melirik jam  pemberian sang mama yang bertengger di tangan kirinya, Sagara tahu ia tidak bisa berlama- lama disini. Meskipun tadi ia sudah mengirim pesan dan mendapatkan izin dari Natalia, Sagara tidak boleh sampai menyeleweng. Apalagi setelah menyadari bahwa teman- temannya sudah mulai gila sekarang.

Sagara mendekati Mario yang duduk diseberangnya. 

"Yo, gue balik aja, ya!" Pamit Sagara dengan sedikit berteriak di telinga Mario.

Mario merangkul bahunya dan justru menggeleng pelan, "masih sore, Gar! Mau kemana sih lo buru- buru? Banci aja belum mangkal!" Balasan yang sama sekali tak dapat Sagara pahami letak korelasinya. Mario mode sadar cukup cerewet dan banyak bicara. Tapi Mario mode mabuk lebih parah lagi, omongannya sudah semakin melantur.

"Gue kan numpang tinggal sama keluarga jauh. Gak enak kalo pulangnya kemaleman apalagi karena minum- minum," elak Sagara.

Mario membulatkan bibirnya lalu sedetik kemudian mengangguk paham. Namun bukannya melepaskan Sagara, lelaki itu justru memanggil Claudia—rekan magang sekaligus penggagas utama pesta malam ini. Entah kenapa Sagara  justru punya firasat buruk soal ini. 

"Beb! Ini nih si Sagara mau balik duluan! Gimana?" 

Claudia melirik  Sagara. Gadis itu menggeleng pelan, "emang mau kemana sih, Gar? Besok kan kita mulai masuknya di project siang. Lo gak perlu dateng pagi- pagi buta," cecar Claudia.

Memang benar. Sagara jelas tidak bisa beralasan bahwa mereka harus tidur lebih awal supaya bisa bangun pagi dan bekerja dengan baik besok. Tapi apapun itu, Sagara tahu dia harus segera keluar darisini. Maka dia gunakan lagi alasan jujurnya seperti apa yang dia sampaikan pada Mario.

Claudia merengut sebal namun sepertinya gadis itu tak berniat untuk kekeh mencegah Sagara.  Gadis itu melirik gelas bagian Sagara yang masih penuh tak tersentuh.

"Oke! Lo boleh balik duluan, tapi setidaknya lo harus habisin ini dulu!"

Sagara hampir melotot usai Claudia menyodorkan segelas minuman yang entah apapun namanya tapi jelas beralkohol. Beberapa rekan dibelakangnya juga turut menyoraki Sagara agar segera menandaskan bagiannya.

"The bill's on me! Lo nggak menghargai gue sebagai rekan seperjuangan lo kalau nggak minum bagian yang memang semua rata harus minum. Lo nggak kasian sama gue? Susah- susah gue traktir tapi malah nggak dihargai?"

Sagara bisa saja berdalih bahwa sejak awal pun dia tidak meminta Claudia untuk membeli atau bahkan membayar semua malam ini. Namun mendebat gadis itu sepertinya hanya akan membuat tiket pulangnya semakin menjauh. Maka mau tak mau,  pada akhirnya Sagara menenggak habis cairan dalam  gelas kecil tersebut.

Baiklah, hanya satu gelas kecil harusnya tidak masalah.

Meraih gelasnya kasar dan habis dalam satu kali tenggak, Sagara bahkan menunjukkan bahwa tak ada setetespun yang tersisa dari gelasnya. Setelah aneka sorakan riuh ramai itu, pada akhirnya lelaki dua puluh tiga tahun itu bisa keluar dari ruangan itu.

Sagara buru- buru memesan ojek online agar bisa segera sampai rumah tepat waktu. Seingatnya, perjalanan dari kantor menuju rumah akan memakan waktu tiga puluh menit apabila tidak diserang kemacetan. 

Meski hanya satu gelas kecil, Sagara benci mengakui bahwa sepertinya efek alkohol telah bekerja padanya, dia mulai merasakan pening sekarang. Rasa tak nyaman di tubuhnya menjalar cukup cepat. Sagara bahkan harus memicing untuk  memastikan bahwa plat kendaraan yang mendekat kearahnya sudah sesuai dengan nomor yang tertera di aplikasi hijaunya.

"Sesuai aplikasi ya, pak!"

Begitu masuk ke dalam mobil, Sagara menutup matanya pelan. Berupaya mengusir pening dan reaksi aneh dalam tubuhnya. Sedikit merutuk di sela kesadarannya—mencemooh diri sendiri akibat rendahnya toleransi alkohol yang dia miliki. Saat ini, satu- satunya hal yang bisa dia lakukan adalah memejamkan matanya yang semakin berat dengan harapan pening itu bisa segera sirna.

Kelanjutan dunianya tak Sagara ingat sama sekali. Kegelapan itu menelan kesadarannya tanpa ampun. Tak ada kemilau bunga mimpi ataupun pergerakan yang dia ingat. Mahasiswa semester akhir itu merasa hanya tidur lelap sebentar sebelum akhirnya menemukan bahwa fisiknya tiba- tiba sudah terbaring nyaman di ranjang, bukan lagi kursi penumpang. 

Lelaki itu berkedip pelan tiga kali berusaha menajamkan penglihatannya. Sistem pada tubuhnya perlahan mulai bekerja dan membuatnya menyadari keganjilan yang mendera. Cahaya, aroma, dan lingkungan ini sedikit asing baginya. Bagaimana dia bisa sampai disini?

Pikirannya semrawut, perlu waktu sepuluh detik baginya untuk kembali menyadari bahwa ini bahkan bukanlah kamarnya. 

Belum usai menelan overthinking, Sagara melotot saat menemukan presensi wanita yang keluar dari kamar mandi dengan mengenakan sesuatu yang bahkan sama sekali tak dapat Sagara kategorikan sebagai seperangkat pakaian layak.

Wajah itu mulai jelas dalam penglihatannya, netra Sagara membulat. Astaga! Sedang apa Bu Natalia disini?!  Apakah wanita itu menemukannya dalam kondisi mabuk semalam?

"Sudah bangun?"

Natalia menatapnya datar. Wanita itu berjalan mendekat lalu duduk di tepi ranjang—mengunci pandang pada Sagara yang nampak jelas raut paniknya.

Sagara mundur ketika wanita usia tiga puluhan itu mencondongkan tubuh kearahnya. Semerbak wangi floral memenuhi penciuman Sagara. Lelaki itu mati- matian berusaha menjaga pandangan agar tidak berpikiran tidak senonoh. Namun pandangan datar Natalia yang menghunus seolah mempunyai kekuatan yang lebih dari cukup untuk mengintimidasinya. Ditambah lagi, Sagara jadi merinding karena jemari lentik nan dingin itu tanpa gentar menyentuh dada telanjangnya. 

Apalagi ini? Sagara bahkan baru sadar bahwa kini dalam kondisi bertelanjang dada?

Lidahnya kelu, Sagara kacau balau namun tak bisa berkutik sekarang. 

Senyum tipis terbit di sudut bibir pemilik nama Xaviera itu. Apalagi ketika jemari dinginnya merambat naik untuk menyentuh dagu Sagara.

"Saya nggak mau mendengar alasan klise. Kamu nggak bisa pura- pura melupakan apa yang sudah terjadi semalam!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status