All Chapters of Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!: Chapter 11 - Chapter 20
96 Chapters
Bab 11
"Alhamdulillah semua lancar ya, Nduk," ujar Ibu. "Alhamdulillah, Bu. Lega rasanya." "Bagus 'lah, Nduk. Nggak ada gunanya kamu mempertahankan rumah tangga dengan laki-laki labil seperti Arman itu," timpal Bapak. "Apa? Kamu mengatakan anak saya laki-laki labil?" celetuk Ibu tiba-tiba dari belakang. "Memang anakmu itu labil dan nggak punya pendirian 'kan? Salahnya di mana?" sahut Ibu. "Laki-laki seperti ini nggak bisa dijadikan kepala rumah tangga. Karena segala sesuatu urusan dalam rumah tangga, masih dicampuri sama ibunya. Seharusnya kamu jangan menikah, Arman. Tapi terus saja mene-tek pada ibumu." "Kurang a-jar banget kamu. Kamu pikir kamu siapa? Orang miskin saja sombong!" Lagi-lagi kata-kata itu yang ke luar dari mulutnya. "Itu emas yang kamu pakai, palingan juga imitasi 'kan?" Bu Rahma ini benar-benar keterlaluan. Dia tidak tahu, kalung emas yang melingkar di leher ibuku itu bukan emas biasa, melainkan emas murni. "Sudah, Bu. Jangan dilawan. Anggap saja orang gi-la," tukas Ba
Read more
Bab 12
KITA BELI KESOMBONSepertinya ini alasan kebun teh milik ibunya Bang Arman mengalami kebangkrutan dan toko mereka juga sampai berutang pada kami. Benar kata Mas Abi. Lelaki yang diam saja ketika ditekan istri, ternyata melawan dengan bermain belakang. Kuputuskan untuk menghampiri ayahnya Bang Arman. Gatal rasanya jika tidak mengganggu kemesraan ABG tua itu dengan kekasihnya. Sekalian membayar tagihan ke kasir. Perlahan aku berjalan menghampiri meja yang berada di tengah itu. Sengaja melintasi meja itu untuk memancing apakah Pak Wahyu menyadari ada aku yang mengawasinya. "Sayang, aku mau beli tas nanti sampai di mall ya," ucap gadis yang lebih cocok menjadi anaknya itu bernada manja. "Oke, Sayang. Apa sih yang aku berikan untuk kamu? Asal kamu bahagia dan jangan pernah meninggalkanku ya. Bisa ma-ti aku kalau kamu pergi." Mataku membelalak. Tak kusangka, pria tua bangka itu bucin juga ternyata. Padahal jika di depan istrinya, lagaknya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kuterusk
Read more
Bab 13
"Kamu sendiri 'kan tahu dan melihat sendiri bagaimana perlakuan ibunya Arman padaku. Aku ini bukan suami baginya. Melainkan tak lebih dari jongos saja. Puluhan tahun ibunya terus menekan dan menjadikanku layaknya alas kaki. Aku stres, Nia. Aku stres!" tuturnya. "Kenapa Bapak lebih memilih bertahan? Kenapa nggak ceraikan saja wanita sombong seperti dia?" Lelaki itu mengusap dahinya. "Aku ini sebatang kara, nggak punya keluarga. Kalau cerai dari ibunya Arman, aku jadi gembel lagi dan aku nggak mau itu terjadi!" Ternyata Pak Wahyu ini rela menjatuhkan harga dirinya demi harta. Sungguh tidak menyangka ada sosok pria seperti ini di dunia. Tapi, lelaki bertubuh kurus ini licik juga. Dikurasnya harta istri yang sudah menindasnya selama ini. Panggilan kembali terdengar. Dan aku sudah tidak ada waktu banyak lagi. "Pesawatku akan berangkat, Pak. Urusan ini bukan urusanku. Karena Bapak tahu sendiri 'kan aku dan Bang Arman sudah resmi bercerai." "Apa? Kamu dan Arman sudah bercerai?" "Bapak
Read more
Bab 14
Acara yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Event organizer yang kata Mas Abimanyu sudah menjadi langganan Surya Prabaswara Grup, telah berhasil menyulap ruangan ballroom Hotel berbintang lima itu menjadi sangat mewah dan elegan. Surya diambil dari nama almarhum Eyang Kung Prapto Suryoprawiro dan Prabaswara nama ayah dari Mas Abimanyu. Mereka bersahabat dan mendirikan perusahaan bersama-sama. "Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Bapak. Malam itu Bapak menggunakan batik berwarna golden brown bercorak khas batik Jogja. Sedangkan Ibu menggunakan gaun modern dengan corak batik yang serupa dengan Bapak dan juga aku. Sedikit brokat di bagian depan sebagai pelengkap keindahan gaun keluaran terbaru yang akan launching malam ini. "Sudah, Pak," sahutku pasti. "Kamu cantik banget malam ini, Nduk. Benar-benar cocok disebut sebagai owner PT. Surya Prabaswara Grup mendampingi nak Abimanyu. Bukan begitu, Nak Abi?" "Eng, eh, Bapak bisa saja." Kali ini wajah Mas Abi yang bersemu merah. "Tapi, anakku ini m
Read more
Bab 15
"Hayo, pada penasaran ya?" goda MC lelaki itu, disambut dengan tawa riuh para undangan. "Pewaris tunggal dari PT. Surya Pradana Grup adalah cucu dari almarhum Bapak Prapto dan Ibu Saraswati, yang selama ini tinggal di Lembang, Bandung, mengurus kebun teh dan sawah di sana. Dia adalah ...." Lampu ballroom dimatikan. Lantas lampu sorot yang berputar berkeliling, seakan mencari sasaran. Genderang drum dari band ibu kota yang terkenal semakin menambah tegang suasana. "Baik 'lah para hadirin, mari kita sambut, bos baru kita di PT. Surya Pradana Grup untuk naik ke atas pentas. Dipersilakan Ibu Dewi Kania Suryoprawiro untuk maju." Lampu sorot pun berhenti ke arahku. Ratusan pasang mata ikut mengarah padaku. Tak terkecuali keluarga matre dan pongah yang berdiri di depan kami. "Mari Bu Kania, silakan maju ke depan." "A-apa? Ka-kania bos Surya Pradana?" pekik Bu Rahma. Matanya membelalak dan mulut menganga lebar. "Nggak, nggak mungkin! Ini mimpi 'kan?" Tak ada yang menjawab. Ketiga anaknya
Read more
Bab 16
Kulemparkan tatapan ke arah Bang Arman yang berdiri melipat tangan. "Saya dan suami sudah bercerai." "Sudah lama, Mbak?" "Baru kemarin ketuk palu." "Boleh tahu alasannya?" "Bapak merahasiakan siapa kami yang sebenarnya. Mereka mengira saya ini hanyalah pemetik teh biasapmo sama seperti yang lainnya. Dan mereka juga mengira Bapak dan Ibu cuma petani upahan. Selama ini mereka nggak tahu atau lebih tepatnya mereka nggak mau tahu dengan keluarga saya. Jadi, yah, begitulah. Mereka nggak henti menghina, bahkan saya nggak diizinkan untuk pulang ke rumah orang tua saya. Saat bapak dan ibu mau bertemu saya, mereka pun takk pernah mengizinkan," tuturkup panjang lebar. "Bahkan suamiku selalu tunduk pada perintah ibunya yang selalu ikut campur dengan rumah tangga kami. "Astaga. Jahat banget sih, Mbak," celetuk salah seorang wartawan perempuan. "Iya, benar. Cocok banget laki-laki begitu ditinggal, Mbak," sambung yang lainnya. Dari atas pentas, aku bisa melihat Bu Rahma, Ima dan Ella bergera
Read more
Bab 17
Part : 13 POV Bu Rahma Kakiku benar-benar rasanya masih lemas. Tungkai lutut ini serasa tak mampu menopang tubuh, begitu mendengar Nia--mantan menantu yang selalu kuhina. Tak tanggung-tanggung, bahkan bapak dan ibunya pun tak luput dari hinaan yang ke luar dari bibir ini. Kenyataannya dia bos dari pabrik yang selama ini menjadi tempat kami memasok batik. "Ibu ngapain sih pakai pingsan segala? Bikin malu tahu nggak," omel Ima. "Namanya juga ibu shock dan terkejut mendengar si Nia itu ternyata pewaris tunggal dan bos dari Surya Pradana Grup. Seperti mimpi rasanya." Aku tersandar sambil menatap kosong ke arah plafon. "Makanya, Bu, jangan pernah memandang orang lain dari status kaya atau nggak. Malu sendiri 'kan?" tukas Bang Wahyu. Mendengar itu, aku sontak langsung duduk tegak di kursinya. "Eh, kamu tuh diam saja ya, Bang. Suara kamu nggak dibutuhkan. Kerja saja kamu nggak becus. Lihat, toko dan kebun teh bukannya semakin maju, malah semakin merugi," rutukku kesal. "Bikin kesal s
Read more
Bab 18
Kulihat Bapak bersiap-siap memasukkan pakaiannya ke dalam ransel. "Bapak mau ke mana?" "Bapak mau ke Jambi. 'Kan mau mengurus pembayaran kebun sawit kita yang sudah terjual." "Bukannya Bapak bilang mau ditransfer saja. "Pembeli kebun sawit kita ternyata mau sekalian mengurus balik nama. Jadi bapak harus ke ana. Setelah itu, kita akan segera mencari tahu soal kebun teh ibunya Arman. Kemarin bapak dengar kabar dari salah satu karyawan mereka, pihak bank sudah menagih karena utang mereka sudah jatuh tempo. Kebun teh mereka sudah berada di ujung tanduk." Aku tersenyum. "Reputasi mereka pun sudah buruk di mata publik, Pak. Berita tadi malam cepat banget tersebar di sosial media." Kuarahkan ponselku ke hadapan Bapak. "Kamu menyimpan dendam sama mereka, Nduk?" Aku terdiam. Pertanyaan yang membuatku agak berpikir. "Kamu boleh membenci mereka. Tapi, Bapak harap kamu jangan sampai menyimpan dendam pada mereka ya, Nduk. Itu nggak baik. Bapak nggak pernah mengajarkan kamu seperti itu. Kita
Read more
Bab 19
Part : 14 POV BU RAHMA Di depan pintu ruangan direktur, langkahku terhenti. Suara tawa cekikikan wanita terdengar dari dalam. Kurang a-jar! Darahku mendidih seketika mendengar suara wanita dari ruangan suamiku. Kudorong pintu dengan penuh emosi. Awas saja kalau si Wahyu berani bermain gila dengan wanita lain. "Bang!" Bang Wahyu duduk di belakang mejanya dengan menatap laptop di depannya. Tangan kanannya menggenggam mouse. Netraku beralih pada sekretarisnya yang bernama Rossa itu. Tebakanku usianya mungkin sekitar dua puluh tiga tahunan. Perasaanku menangkap hal yang mencurigakan dari mereka berdua. Gerak gerik mereka seperti menutupi sesuatu. "Kamu ngapain di sini, Rossa?" "I-ini, Bu. Ada berkas yang mesti ditandatangani," alasannya terbata. "Lalu, kenapa pintunya harus ditutup? Terus tadi ada suara cekikkan. Suara siapa? Kamu, Rossa?" serangku dengan pertanyaan penuh selidik. "Tadi, tadi, anu--" "Jangan berprasangka dulu, Dek. Tadi Rossa memang yang tertawa. Karena tadi a
Read more
Bab 20
Sebenarnya aku tak yakin. Tapi, memang mau tak mau, kebun teh itu harus dijual untuk membayar utang-utang dengan Surya Pradana. Belum lagi utang dengan bank. Duh, kepala ini semakin berdenyut. "Baik, Bu. Kami beri kelonggaran untuk Ibu membayar utang-utang Ibu dengan kami, sampai satu bulan ke depan. Tapi, Ibu harus menandatangani surat perjanjian ini." Pak Rio kembali mengangsurkan sebuah map. "Apa ini?" "Surat perjanjian, Bu. Kami setuju beri kelonggaran untuk toko Ibu, asal Ibu bersedia menandatangani surat ini. Silakan Ibu baca lebih dulu." Kembali satu persatu aku membaca kata per kata yang tertulis di kertas bermeterai itu. Astaga! Aku terkejut membaca bagian akhir tulisan di surat perjanjian tersebut. Apabila aku tidak menepati janji untuk membayar utang sesuai yang dijanjikan, pihak Surya Pradana akan membawa masalah utang piutang ini ke perdata. Tubuhku terasa panas dingin. Bagaimana ini? "Ada apa, Dek?" tanya Bang Wahyu. Tak menjawab, aku hanya menyodorkan surat perj
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status