All Chapters of Keturunan Terakhir Elite Global: Chapter 41 - Chapter 50
53 Chapters
41. Ramen Roulette
Pria jas abu-abu itu duduk. Para tentara mengawasi tanpa menoleh, mengira itulah sang target. Berbeda dengan Reza. Reza malah menatap pria yang baru masuk itu secara langsung layaknya koboi bertemu lawan duel.Meja kembali diketuk. Kali ini tentara berjanggut oranye di meja sebelah kiri yang memulai percakapan.[Dia benar si pembunuh legendaris, ‘kan?][Dasar bodoh! Jangan bertanya seperti itu di depannya!][Benar. Fokus saja ke pria yang baru datang ini.]Si tentara kulit hitam buru-buru menghadap Reza dengan sedikit keringat dingin. “Maaf Anda harus mendengar itu. Mereka tidak bermaksud kasar.”Sekali lagi Reza mengernyit dahi. Padahal tidak satu pun di antara pria dalam kedai yang berucap sesuatu, tapi si botak malah meminta maaf. Dalam pikiran Reza kini hanya ada satu kemungkinan. Mereka berakting sedang menggunakan telepati.“Tidak apa-apa. Akan kubereskan semuanya setelah pesananku datang.”Sebuah pernyataan yang membuat perasaan para tentara campur aduk. Antara senang mendengar
Read more
42. Pembantaian di Kedai Ramen
Reza semakin larut dalam permainannya. Ia benar-benar menghayati peran sebagai raja iblis yang bermain maut dengan empat pria asing dalam kedai. Satu sudah kalah. Kini tersisa empat kandidat berhadapan dengan ramen beruap.“Ayo makan!” kata Reza pada dua tentara di sebelahnya. “Jangan malu-malu.”Sebuah keramahan ala Indonesia yang justru membuat para tentara tidak nyaman. Tentara yang tereliminasi kini tak kunjung kembali, membuat si botak dan janggut oranye makin berburuk sangka.Namun, pertandingan baru saja dimulai. Reza terlihat menggila kala menyeruput suapan berikutnya. Sangat menikmati. Begitu pula dengan pria jas abu-abu rambut pirang yang masih tampak berwibawa meski seruput mi menggema.Dua tentara yang memakan pesanan Reza masih mengamati setelah sebelumnya terperanjat dengan gugurnya satu kandidat. Mereka menerka akankah saingan berikutnya kembali jatuh dalam kegilaan sang pembunuh legendaris.Pria jas abu-abu menarik napas. “Makanlah. Hormati tuan ini yang sudah susah-su
Read more
43. Kejahilan Negara Adidaya
Malam yang tenang di istana Hazerstein. Para pelayan baru saja selesai berbenah setelah makan malam sang majikan. Anginnya tenang. Derap langkah elite global dan istrinya di koridor diiringi obrolan ringan dan lelucon receh dari mulut Reza.Namun, sayang. Candaan Reza hanya berhasil menorehkan senyum formalitas di wajah cantik Isabelle. Sesekali wanita blasteran itu menyengir, pura-pura cengengesan untuk mengimbangi obrolan sang kepala keluarga.“Ya, jadi gitu deh. Ternyata dia salah pakai baju.”“Hihihihi ... parah banget!”“.... Tahu-tahu dia diberhentiin sama polisi. Kiranya gak pakai helm, ternyata istrinya ketinggalan.”“Hahahahaha ... gila tuh!”“.... Tapi ya gitu. Katanya, orang tua dia meninggal dalam kebakaran demi menyelamatkan dia.”“Buahahahahaha!”Reza mengernyit. Langkahnya terhenti di depan kamar akibat kalimat terakhir obrolan yang sebenarnya jelas bukan bahan lawakan. Seketika suasananya jadi canggung, terutama bagi istrinya.Tak boleh begini, pikir Isabelle. Mereka be
Read more
44. Assasinasi Ronde Kedua
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperli
Read more
45. Elite : Tentara Lawan Konglomerat
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S
Read more
46. Budi Persahabatan
Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang
Read more
47. Membantu Pihak Lemah
Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab
Read more
48. Misi Penyelamatan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Read more
49. Strategi Sekumpulan Musuh
“Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Read more
50. Pilihan Seorang Wanita
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status