All Chapters of Keturunan Terakhir Elite Global: Chapter 11 - Chapter 20
53 Chapters
11. Pembicaraan Dengan Orang Asing
Puluhan manusia di lobi rumah sakit terus bergerak sebagai figuran. Mata Heru dan si wanita asing masih saling terkunci. Tatapan Heru datar. Namun, aura curiga jelas terpancar dari bidikan mata pria itu.“Apa maksud Mbak bilang begitu?”Si wanita asing memperlebar senyumnya. “Ini topik yang sensitif. Mau bicara di luar, Pak Heri?”“Nama saya Heru,” jawab Heru masih dengan tatapan datar. “Di sini aja, saya capek.”Wanita blasteran itu kembali tegak. “Saya berani jamin, Anda tidak terlalu tahu tentang Reza Martadinata. Bukan begitu, Pak Haru?”“Saya Heru. Yang lebih tahu soal Reza itu sudah pasti istrinya. Dari jenis kelamin, sudah jelas kalau saya tidak nikah sama Reza.”“Anda pernah dengar tentang elite global? Tentang segelintir orang kaya yang menguasai hal dan momen besar di muka bumi ini? Banyak uang, bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja. Anda percaya kalau Reza salah satunya?”Heru diam sejenak, menatap datar pada sang wanita asing yang seakan bicara melantur. “Sebenarn
Read more
12. Mengatur Strategi
Lagu penutup acara TV terlalu ceria untuk suasana serius kamar itu. Felix mengambil remote. Dimatikannya televisi, lalu mereka berdua pun terkunci dalam kesunyian. Sedangkan Reza meletakkan ponsel di dekat kaki.“Jadi, bagaimana, Tuan?”Reza menggaruk ubun-ubunnya. “Yaelah, Felix. Aku juga baru mau minta saran ke kamu.”“Sejak awal, Anda yang bilang kalau Pak Heru adalah teman yang baik. Tapi jujur saja, saya tidak mengerti kenapa dia mengirim pesan seperti ini.”“Yang bagian mana? Cewek cantik atau sablengnya?”Felix menghela napas. “Bagian jebakannya, Tuan.”Sekali lagi Reza larut dalam pikirannya. Pelik. Butuh hampir dua menit bagi pria berwajah oval itu untuk menimbang, sebelum akhirnya ia memecah keheningan dengan sekali tepuk tangan.“Baiklah, aku sudah membuat keputusan. Sebaiknya kita tidak menemui Heru. Aku akan membalas emailnya dengan berkata kalau aku baik-baik saja.”“Wah, sangat bijak.” Felix manggut-manggut. “Pasti Anda menghindari kemungkinan jebakan ganda. Bukan begit
Read more
13. Cendera Mata
Ban taksi menggesek aspal seiring perhentiannya di depan hotel mewah. Isabelle keluar dari mobil, dan menatap pintu masuk hotel dengan senyum percaya diri. Klakson berbunyi. Sopir menegur karena Isabelle belum bayar.Setelah transaksi selesai, wanita blasteran itu pun melenggang masuk. Terus menuju meja resepsionis. Wajah cantiknya berbasa-basi, tapi isi kepalanya mengatur strategi. Alasannya satu. Reza terlacak berada di hotel yang sama.Administrasi, serah terima kunci, lalu Isabelle masuk ke lift bersama seorang roomboy yang membawakan barangnya. Pintu lift tertutup. Sementara di tangga, Reza dan Felix melangkah turun dengan santainya.“Yah ... tapi untung aja kali ini kamu tidak meledakkan hotelnya,” kata Reza.“Anda yang lempar granat waktu itu, Tuan,” timpal Felix, “makanya sampai masuk berita.”“Iya juga, sih.”Setelah Felix melakukan check out, mereka pun keluar tanpa dicurigai.“Eh, terus dua orang itu bagaimana? Kamu pede banget berantem di dalam lift, pasti kelihatan di CCT
Read more
14. Wanita dari Kejauhan
Felix bergerak secepat kilat, melindungi majikannya dari Isabelle yang memberi senyum mencurigakan. “Siapa Anda? Bagaimana Anda bisa kenal Tuan Reza?”Isabelle masih tersenyum, tangannya disilangkan. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, Pelayan mancung. Urusanku hanya sama Reza.”“Pergilah, wanita jalang!” hardik Felix.“Heh, jaga bahasamu! Aku susah-susah melacak kalian sampai ke negara ini. Pas di hotel, aku kira pasangan gay yang mengisi kamar itu adalah kalian!”“Pasangan gay?” tanya Reza.“Bukan apa-apa, Tuan. Lupakan saja.”“Lebih baik kamu menyingkir, pelayan Hazerstein!”“Ah!” Reza terbeliak, menunjuk wajah si wanita blasteran. “Aku tahu kamu siapa.”“Baguslah,” kata Isabelle, “kalau begitu kita bisa langsung—”“Kamu sekretaris camat!”“Salah orang!”Obrolan itu bisa saja berlangsung selamanya. Namun, Felix masih tetap kukuh menganggap Isabelle adalah bahaya. Ia berbalik. Diyakinkannya sang tuan untuk bergegas ke bandara agar masalah segera teratasi.Tentu saja Isabelle tak
Read more
15. Adu Strategi Dua Dinasti
“Malam itu ... sedang ada pesta di istana.”Ingatan Felix tertuju pada beberapa jam sebelum malam naas di kediaman megah Hazerstein. Semuanya damai. Para pelayan bertugas dengan baik. Kerabat keluarga juga datang membawa senyum yang semewah pakaian mereka.Tak tahu siapa yang bisa disalahkan. Mungkin malam itu pihak keamanan hanya kecolongan. Atau lebih buruk, bisa jadi pesta sudah disabotase dengan membiarkan pihak musuh menyelinap di antara para penghibur.Apa pun sebutannya, tragedi itu tetap terjadi. Yang pertama tertembak adalah para pemain musik. Kecuali pemain biola, sebab dialah eksekutornya. Sekuriti tak bisa masuk lantaran aula pesta dikunci dengan alat khusus yang hanya dipegang salah satu menantu Hazerstein tua. Panik merajalela. Tembakan menggema. Sisanya adalah cerita.Reza kini berjongkok di sebelah Felix. “Terus, kamu curiga pihak Vanlomraat adalah dalang di balik pembantaian itu?”“Iya, Tuan,” jawab Felix, masih dalam posisi berlutut. “Sudah hampir satu abad Hazerste
Read more
16. Take It or Leave It
Langit yang sudah beranjak jingga menyaksikan tiga insan berbeda ekspresi di muka bumi. Satunya terkejut setengah mati. Satunya kebingungan. Dan yang terakhir tersenyum ramah. Situasi itu ditemani suara pegawai stand Tea Riskaant masih beres-beres.“Apa maksud Anda, Tuan?!” Felix mengepal tangan. “Dia adalah saingan bisnis abadi keluarga Hazerstein!”“Kalau buat konsumsi, nanti bisa kusuruh Felix buat cari,” kata Reza yang masih sibuk dengan Isabelle.“Tidak didengar~” ucapan Felix mulai bermelodi.Namun, sebagaimana sang pelayan setia yang masih sulit menerima, Isabelle Vanlomraat juga belum bisa mencerna. Belokan situasi drastis. Isabelle bangkit, lalu menatap curiga pada si pria Hazerstein berwajah oval.Angin sore lembut menyapa, sama penasarannya seperti dua orang di dekat Reza. Isabelle masih menatap. Namun, ketika senyum Reza malah semakin lebar, wajah si wanita blasteran seakan kian ditampar rasa malu dari kekalahan.Isabelle lantas mencoba menghindari kontak mata. “Apa yang m
Read more
17. Ikrar yang Tidak Tulus
Deru mesin pesawat yang teredam di dalam kabin, membuat Una cukup mudah untuk terlelap. Terjadi sedikit guncangan. Una pun membuka mata perlahan dan menemukan langit masih berwarna biru, entah di zona waktu negara mana.Namun, bukan hanya itu yang ditangkap Una, melainkan kehadiran tekanan pada ekspresi Mario. Agak menyeramkan. Dari sedikit cekungan di bawah mata, sepertinya pria berwajah kotak itu belum pernah tidur sepanjang perjalanan.“Ada apa, Sayang?” tanya Una selembut mungkin.Mario, yang mengoneksikan laptopnya ke jaringan wifi pesawat, menatap Una sekilas. Bibirnya mendecak kesal. Sebuah email pendek dari Anderson si gundul Amerika membuat perjalanannya serasa penuh siksaan.[Aku dengar, Der Leifen sudah kembali ke tangan Hazerstein. Sebaiknya hati-hati, Mario. Ingat, nasib perusahaanmu ada di tanganku.]Si wanita cantik pengkhianat pernikahan masih bisa mengerti email yang ditulis dalam bahasa inggris itu. Ia juga bisa mengerti bagian mana yang membuat kekasihnya gundah. Ma
Read more
18. Awan Hitam di Angkasa dan di Hati
Dua insan tanpa cinta masih memegang alat komunikasi, berteman dingin AC di kamar masing-masing. Keduanya diam. Satunya menunggu jawaban, sedangkan yang lain memastikan jawaban dari mulutnya akan terdengar masuk akal.“Tidak, Reza,” ungkap Isabelle. “Keluargaku bukan pelakunya.”“Gak apa-apa, kok. Jujur aja. Sekarang kamu istriku, sudah sepatutnya kita saling terbuka.” Wajah Reza sedikit memerah menyadari keambiguan kalimat barusan. “Buka rahasia maksudnya.”“Kamu gak salah soal itu.” Isabelle berkedip pelan. “Tapi apa yang membuat kamu berpikir kalau Vanlomraat pelaku pembantaian keluargamu?”“Selain Felix dan pembunuh yang mengejarku ... ada kamu juga yang tahu kalau aku adalah keturunan terakhir Hazerstein. Gara-gara itu, sih.”Isabelle manggut-manggut. “Masuk akal.”Keduanya kembali diam. Pandangan Isabelle tertuju ke jendela yang menampilkan langit malam Kota Zurich. Ada perasaan aneh menghampiri ketika sadar bahwa tujuannya tercapai dengan cara tak biasa, tapi di saat bersamaan
Read more
19. Menuju Hidup yang Baru
Langit cerah menemani langkah mereka bertiga menuju istana. Felix berjalan di belakang, membawa koper ekstra sebab majikannya yang bertambah satu orang. Sedangkan Reza terus menggenggam tangan Isabelle sepanjang jalur.“Ini perlu banget, ya?” tanya Isabelle sedikit risi.“Istananya gede,” jawab Reza tanpa melirik. “Takutnya kamu nyasar ke kandang buaya.”Dahi Isabelle mengerut. “Ngapain kalian pelihara buaya?”“Untuk menghabisi keluarga Vanlomraat kalau-kalau ternyata mereka memang pelaku pembantaiannya,” celetuk Felix agak sinis.Reza menghela napas. “Aduh, Felix, please deh. Optimis dikit, dong! Majikanmu ini baru aja nikah. Aku yakin seiring pintu istana terbuka, hal-hal baik lainnya juga akan menyusul.”Pintu istana dibuka lalu oleh sang pria Hazerstein.“Woiiii! Felix, ini kenapa ceweknya pada meninggal semua?!” teriak Reza panik.Ketika mereka bertiga akhirnya menggapai aula istana, para wanita cantik yang Felix calonkan untuk Reza tempo hari sudah terbaring tak bernyawa. Kondis
Read more
20. Reptil Peliharaan Istana
Untung saja Reza berkelit tepat waktu. Buaya masih menganga. Namun, kelincahan sang pria Hazerstein tak berubah seperti saat ia menghadapi mereka di dalam air. Dengan tiga langkah jitu, Reza sudah berada di ujung ekor sang predator.Namun, kini muncul masalah lain. Walaupun sebenarnya sudah muncul dari tadi. Istana cukup luas. Istri Reza bisa berada di bagian mana saja, demikian juga tiga buaya lain. Dan jelas teriakan tadi bukan teriakan gembira .“Isabelle!”Hening. Reza kian risau.“Isabelle, coba teriak sekali lagi, dong! Aku mau tahu kamu ada di sebelah mana!”“Aaaaaaaaah!”“Oh, kiri.”Maka Reza ke arah sumber suara. Langkahnya secepat angin. Untungnya, beberapa minggu di istana sudah membuat Reza hafal rute. Sekarang yang ia butuhkan adalah mengandalkan naluri.Sementara di taman istana, Isabelle sudah sangat terpojok dan hanya bisa berdiri di atas sebuah pot bunga. Buaya menganga. Wanita blasteran itu mencoba mengusir buaya seperti mengusir kucing, tapi tentu saja tak berhasil.
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status