Seingat Alena, saat masuk gedung jurusan IPA, Riga berjalan mengikutinya. Namun, saat Alena menginjakkan kaki di lantai dua, laki-laki itu tidak ada di belakangnya. Alena menatap sekitar, barangkali menemukan sosok Riga di antara lalu-lalang murid-murid di koridor. Sayangnya, setelah cukup lama mencari ia tetap tidak menemukan sosok Riga di tengah kerumunan. Bahkan tidak ada tanda-tanda kedatangan Riga juga dari arah tangga.Ke mana sebenarnya Riga?“Loh, Alena, tumben masih di sini? Biasanya lo langsung masuk kelas. Lo lagi nunggu orang?” tanya Danar yang baru datang dan melihat Alena berdiri bersandar di pagar pembatas depan kelas.“Enggak kok, nggak lagi nunggu siapa-siapa. Gue cuma mau cari suasana baru aja, ternyata di sini enak, ya. Adem,” jawab Alena.“Emang di sini seger anginnya kalau pagi-pagi. Gue sering banget nongkrong di sini. Lo harus Cobain juga, Len biar nggak gampang ngantuk.” Danar ikut bergabung dengan Alena di sana. Laki-laki itu berdiri tiga langkah dari posisi A
Perbedaan sikap Alena semakin Riga rasakan hingga jam pulang sekolah tiba. Biasanya gadis itu akan merengek untuk nebeng, tapi hari ini tidak. Alena menjadi sedikit lebih pendiam daripada sebelumnya. Bahkan ketika teman sebangku gadis itu pamit pulang duluan, Alena juga tidak menyuruhnya buru-buru mengemasi barang-barangnya supaya mereka bisa cepat pulang.“Lo tumben nggak rewel kayak biasanya? Nggak mau nebeng gue lagi?” Riga menoleh sekilas pada gadis yang duduk di belakangnya, sebelum kembali memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.“Nggak, lagi males ngomong aja. Tapi kalau lo nggak mau nebengin gue lagi, ya nggak apa-apa. Gue bisa naik ojol,” jawab Alena tanpa menatap lawan bicaranya.“Enak aja pulang naik ojol. Kita kan udah ada perjanjian, selama gue bisa dan ada waktu, ya gue yang antar-jemput lo. Lo berangkat bareng gue, berarti ya pulangnya sama gue. Kecuali kalau gue emang nggak bisa, baru lo boleh pulang naik ojol.”“Ish, pacar aja bukan. Posesif amat sih lo.”“Lo lupa apa ya
Sudah lebih dari dua jam sejak Danar mengantarnya pulang, tapi pertanyaan laki-laki itu masih bersarang di benak Alena. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya dari hal itu, sayangnya sia-sia. Sekarang, ia hanya berdiam diri di kamarnya sambil terus meyakinkan diri bahwa Auriga Wijaya adalah temannya. Teman baiknya, tidak lebih.Alena menghela napas pelan, mencoba kembali fokus pada novel di pangkuannya. Ini adalah novel pertama yang Alena beli setelah kembali ke Jakarta. Novel yang tanpa sengaja mempertemukannya dengan seorang gadis bernama Nada, si pecinta novel dan ilmu perbintangan sama seperti dirinya, dan Gamma di sebuah toko buku beberapa bulan lalu. Dan karena pertemuan tak sengaja itu pula, ia justru bertemu dengan Riga. Awal kembalinya ia ke Jakarta, ternyata penuh drama.Astaga, kenapa ia jadi sedih begini mengingat itu? Bukankah ini juga karma yang harus ia dapatkan karena dulu pernah menyakiti hati Gamma?Sudahlah, rasanya tidak perlu lagi mengingat se
Kelas sudah sepi karena penghuninya sudah langsung keluar kelas ketika bel istirahat berbunyi, menyisakan Riga yang masih tetap di bangkunya. Laki-laki yang dua bulan lagi menginjak usia tujuh belas tahun itu sedang sibuk mengerjakan tugas Bahasa Inggris. Padahal tugas tersebut baru diberikan gurunya saat jam pelajaran kedua tadi.“Rajin amat lo ngerjain tugasnya sekarang, kan masih dikumpulinnya hari Senin.”“Nyicil tugas nggak ada salahnya kali.” Riga mengangkat wajahnya dan mendapati Manda menghampirinya. Riga menoleh ke pintu, tapi ternyata Manda hanya sendirian.“Alena masih di kantin sama Via. Nada, nggak tau ke mana tadi. Ngapel mungkin,” ucap Manda seolah sudah mengerti isi kepala teman sekelasnya tersebut. Gadis itu tertawa pelan.“Apa sih, Man? Gue nggak nyari temen-temen lo juga. Cuma tumben lo balik duluan, biasanya kan kalian harus bel masuk bunyi dulu masuk kelas. Kenapa?”“Gue tuh kadang bingung ya sama lo. Lo terkenal nggak peka, tapi sebenarnya lo itu orangnya paling
Sudah hampir sepuluh menit sejak Riga menghentikan motornya di depan sebuah rumah, tapi ia tak kunjung memencet bel atau memberitahu si pemilik rumah terkait kedatangannya. Riga hanya berdiam diri di atas motornya sambill menatap pagar rumah yang tertutup. Padahal niatnya pulang duluan dari rumah Dana tadi karena ia badannya lelah dan ia ingin istirahat. Namun, kenyataannya ia malah membelokkan motornya ke sini.Benar, memang. Kadang hati dan pikiran tidak sinkron. Hati menginginkan A, tapi pikiran kita justru memilih B. Dan kalau sudah begini siapa yang bisa disalahkan? Tidak ada.Riga merogoh ponsel di saku jaketnya. Jemarinya bergerak lincah di layar, membuka ruang obrolannya dengan Alena. Ia mengetikkan sebaris kalimat di sana dan siap menekan tombol kirim, tapi ragu tiba-tiba menyerangnya. Dipandanginya layar ponsel itu, sebelum kemudian memutuskan untuk menghapus kalimat itu dan memasukkan ponselnya lagi ke saku.“Jangan! Biarkan saja. Ini bukan urusannya,” batinnya memperingatk
Taburan bintang di antara sang dewi bulan mempercantik langit malam ini. Embusan angin pelan, tapi sedikit terasa dingin ketika mengenai kulit seorang gadis di teras sebuah rumah. Gadis itu selalu menyukai indahnya langit penuh bintang. Sayangnya, langit malam kali ini tidak cukup bisa membuat pikirannya tenang.Riga baru saja pamit pulang beberapa saat lalu dan Alena mengantarnya sampai pagar. Namun, alih-alih langsung masuk ke dalam rumah setelah Riga pergi, Alena malah mondar-mandir di teras rumahnya. Entah kenapa pikirannya jadi tidak tenang. Berbagai pertanyaan serta dugaan-dugaan tak berdasar terus bermunculan di kepalanya.Sial, ini gara-gara kecerobohannya! Seharusnya, ia membawa ponsel itu tadi, tapi bodohnya, ia malah meninggalkannya di sofa. Lihat apa akibat dari ulahnya tadi, semuanya berantakan. Sekarang yang perlu ia lakukan hanya berdoa semoga tidak akan terjadi hal buruk ke depannya.Ya, semoga saja.Suara derum mobil yang memelan sontak menyadarkan Alena dari dunianya
Hari masih terlalu pagi bagi Alena untuk memulai aktivitas. Semalam, ia baru tidur ketika waktu menunjukkan hampir tengah malam, tapi sekarang ia sudah terbangun bahkan sebelum ayam berkokok. Tanpa perlu melihat pantulan diri di cermin pun, ia sudah tahu kalau ada kantung di bagian bawah mata, juga lingkaran kehitaman di sekitar matanya. Selalu seperti ini jika ia kesulitan tidur.Alena tidak berniat tidur lagi, jadi ia beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke meja belajar. Ia memastikan lagi buku-buku untuk pelajaran hari ini sudah masuk tas atau belum, baru setelah itu ia meraih laptop dan mengisi dayanya.Namun, Alena tak beranjak dari sana. Ia justru menarik kursi, duduk, dan mengambil salah satu buku berisi latihan soal. Ia juga mengambil pensil dan kertas kosong, lalu mulai membaca soalnya. Tangannya dengan cekatan menuliskan beberapa angka di kertas kosong tersebut hingga tanpa perlu waktu lama, satu per satu soal mendapatkan jawabannya masing-masing.Ini tidak buruk. Set
Biasanya ketika malam minggu tiba, orang-orang pasti akan menghabiskan waktu bersama teman atau pasangannya. Begitu juga dengan Alena sebelum pindah ke Jakarta. Malam minggu menjadi waktu wajib bagi Alena, Bara, Nitha, dan Nathan untuk berkumpul bersama. Entah akan pergi jalan-jalan melihat keramaian kota atau jika sudah malas, mereka hanya mengadakan acara makan-makan di rumah sambil bercerita segala hal. Selalu seperti dan Alena menyukainya. Alena si gadis pendiam perlahan bisa lebih mengekspresikan dirinya sejak berteman dengan mereka.Namun, berbeda dengan malam minggunya kali ini. Alih-alih pergi bersama teman-temannya, Alena harus ikut menghadiri acara Wedding Anniversary CEO perusahaan tempat papanya bekerja. Lagi pula daripada ia berada di rumah sendirian, lebih baik ia menerima ajakan papanya untuk ikut datang ke acara tersebut. Ya, barangkali ia bisa menemukan calon mama baru untuknya. Oke, yang terakhir ini ia tidak yakin.Setelah mandi dan bersiap, Alena pun turun. Malam i