Sudah hampir sepuluh menit sejak Riga menghentikan motornya di depan sebuah rumah, tapi ia tak kunjung memencet bel atau memberitahu si pemilik rumah terkait kedatangannya. Riga hanya berdiam diri di atas motornya sambill menatap pagar rumah yang tertutup. Padahal niatnya pulang duluan dari rumah Dana tadi karena ia badannya lelah dan ia ingin istirahat. Namun, kenyataannya ia malah membelokkan motornya ke sini.Benar, memang. Kadang hati dan pikiran tidak sinkron. Hati menginginkan A, tapi pikiran kita justru memilih B. Dan kalau sudah begini siapa yang bisa disalahkan? Tidak ada.Riga merogoh ponsel di saku jaketnya. Jemarinya bergerak lincah di layar, membuka ruang obrolannya dengan Alena. Ia mengetikkan sebaris kalimat di sana dan siap menekan tombol kirim, tapi ragu tiba-tiba menyerangnya. Dipandanginya layar ponsel itu, sebelum kemudian memutuskan untuk menghapus kalimat itu dan memasukkan ponselnya lagi ke saku.“Jangan! Biarkan saja. Ini bukan urusannya,” batinnya memperingatk
Taburan bintang di antara sang dewi bulan mempercantik langit malam ini. Embusan angin pelan, tapi sedikit terasa dingin ketika mengenai kulit seorang gadis di teras sebuah rumah. Gadis itu selalu menyukai indahnya langit penuh bintang. Sayangnya, langit malam kali ini tidak cukup bisa membuat pikirannya tenang.Riga baru saja pamit pulang beberapa saat lalu dan Alena mengantarnya sampai pagar. Namun, alih-alih langsung masuk ke dalam rumah setelah Riga pergi, Alena malah mondar-mandir di teras rumahnya. Entah kenapa pikirannya jadi tidak tenang. Berbagai pertanyaan serta dugaan-dugaan tak berdasar terus bermunculan di kepalanya.Sial, ini gara-gara kecerobohannya! Seharusnya, ia membawa ponsel itu tadi, tapi bodohnya, ia malah meninggalkannya di sofa. Lihat apa akibat dari ulahnya tadi, semuanya berantakan. Sekarang yang perlu ia lakukan hanya berdoa semoga tidak akan terjadi hal buruk ke depannya.Ya, semoga saja.Suara derum mobil yang memelan sontak menyadarkan Alena dari dunianya
Hari masih terlalu pagi bagi Alena untuk memulai aktivitas. Semalam, ia baru tidur ketika waktu menunjukkan hampir tengah malam, tapi sekarang ia sudah terbangun bahkan sebelum ayam berkokok. Tanpa perlu melihat pantulan diri di cermin pun, ia sudah tahu kalau ada kantung di bagian bawah mata, juga lingkaran kehitaman di sekitar matanya. Selalu seperti ini jika ia kesulitan tidur.Alena tidak berniat tidur lagi, jadi ia beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke meja belajar. Ia memastikan lagi buku-buku untuk pelajaran hari ini sudah masuk tas atau belum, baru setelah itu ia meraih laptop dan mengisi dayanya.Namun, Alena tak beranjak dari sana. Ia justru menarik kursi, duduk, dan mengambil salah satu buku berisi latihan soal. Ia juga mengambil pensil dan kertas kosong, lalu mulai membaca soalnya. Tangannya dengan cekatan menuliskan beberapa angka di kertas kosong tersebut hingga tanpa perlu waktu lama, satu per satu soal mendapatkan jawabannya masing-masing.Ini tidak buruk. Set
Biasanya ketika malam minggu tiba, orang-orang pasti akan menghabiskan waktu bersama teman atau pasangannya. Begitu juga dengan Alena sebelum pindah ke Jakarta. Malam minggu menjadi waktu wajib bagi Alena, Bara, Nitha, dan Nathan untuk berkumpul bersama. Entah akan pergi jalan-jalan melihat keramaian kota atau jika sudah malas, mereka hanya mengadakan acara makan-makan di rumah sambil bercerita segala hal. Selalu seperti dan Alena menyukainya. Alena si gadis pendiam perlahan bisa lebih mengekspresikan dirinya sejak berteman dengan mereka.Namun, berbeda dengan malam minggunya kali ini. Alih-alih pergi bersama teman-temannya, Alena harus ikut menghadiri acara Wedding Anniversary CEO perusahaan tempat papanya bekerja. Lagi pula daripada ia berada di rumah sendirian, lebih baik ia menerima ajakan papanya untuk ikut datang ke acara tersebut. Ya, barangkali ia bisa menemukan calon mama baru untuknya. Oke, yang terakhir ini ia tidak yakin.Setelah mandi dan bersiap, Alena pun turun. Malam i
Sang surya mulai kembali ke peraduannya. Menciptakan semburat berwarna oranye kemerahan di ufuk barat, yang tepat berada di antara langit biru gelap dan bayangan gedung-gedung tinggi. Pemandangan itu semakin terlihat cantik begitu tertangkap kamera seorang laki-laki dari atap sebuah gedung.Laki-laki dengan kaos putih polos dan celana hitam itu menurunkan kamera dari wajahnya. Dilihatnya beberapa gambar yang berhasil dibidiknya dan ia tersenyum puas melihat hasilnya. Tidak terlalu buruk bagi seseorang yang baru menyukai dunia fotografi.Kameranya terangkat lagi. Kini, giliran kawanan burung yang baru saja melintas menjadi objek bidikan selanjutnya. Tiga kali ia memotret objek yang sama, tapi hanya ada dua foto saja yang ia akui hasilnya bagus. Sedangkan yang satu lagi, hasilnya kabur karena tangannya sempat goyang. Tidak apa, ini hasilnya lumayan.Langit semakin gelap. Empat lampu di atap gedung tempatnya berada sekarang juga mulai dinyalakan. Ia ingin di sini lebih lama lagi, tapi pa
Riga benar-benar mengantar Alena pulang.Keramaian di jalan raya berbanding terbalik dengan suasana di dalam mobil. Alena dengan masih mengenakan jas Riga hanya menatap kosong pada kaca di sebelah kirinya sementara Riga fokus menyetir sambil sesekali melirik gadis di sebelahnya. Sejak pamit dari acara tadi, Alena lebih banyak diam dan Riga tahu apa penyebabnya.“Mau es krim?” Suara Riga memecah keheningan.Alena menoleh. “Malam-malam begini?”“Kalau lo mau, ayo. Cuaca juga nggak terlalu dingin buat makan es krim.”Langit cukup cerah. Meski tanpa taburan bintang, tapi bulan bersinar sangat hangat malam itu. Angin pun juga berembus sedang seperti hari-hari biasanya. “Es krim cokelat dan sosis bakar?” Alena menaikkan alisnya.“Oke, kita berangkat.”Riga batal mengambil arah kiri dan membelokkan mobilnya ke arah kanan. Melewati pom bensin, restoran mewah, dan daerah pertokoan, mereka tiba di sebuah toko es krim. We and Ice Cream, namanya. Tempatnya tidak besar, tapi cukup memuat tiga mej
Malam sudah sangat larut. Sebagian besar bangunan pun lampunya sudah mati. Hanya menyisakan nyala lampu di beberapa tidak saja termasuk lampu jalan yang memang dibiarkan menyala. Angin berembus sedikit kencang, membuat siapa saja yang akan langsung mengigil kedinginan jika merasakannya. Angin juga membuat rambut pendek seorang laki-laki berjaket hitam berantakan. Namun, seolah tidak peduli, laki-laki itu masih tetap berdiri bersandar di pagar pembatas atap sebuah gedung apartemen.Riga, dengan mata terpejam justru berdiam di sana sambil merasakan embusan angin yang mencoba menerobos jaketnya. Dingin, tapi cukup meringankan beban pikiran di benaknya. Ingatannya terlempar ke belakang tiba-tiba. Mengingat kapan terakhir kali ia datang dan menghabiskan waktu di atap gedung ini? Satu minggu lalu? Dua minggu? Oh, atau mungkin sekitar tiga bulan lalu?Ya, tiga bulan lalu di pertengahan bulan. Hari itu langit malam sedang bagus, tapi tidak dengan suasana hatinya. Karena itu, ia memutuskan dat
Suara dari tayangan televisi mendominasi seisi apartemen. Sesekali suara berisik bungkus camilan yang isinya baru diambil, suara kuah yang diseruput, serta denting sendok yang mengenai mangkuk terdengar. Si pembuat suara itu tak lain adalah empat orang laki-laki berusia sebaya yang kini sudah sibuk dengan mangkuk berisi mie ayam di hadapan masing-masing.“Kenal,” jawab Riga beberapa saat kemudian. Ia menyingkirkan plastik berisi sampah ke samping sofa, di belakangnya.“Seberapa kenal mereka? Kalau cuma kenal biasa kayaknya nggak mungkin mereka sampai boncengan kayak gitu, gue cukup kenal Gamma. Dia orangnya cuek kalau sama cewek.” Pandu angkat bicara sambil memasukkan satu sendok sambal ke dalam mangkuknya.“Nah, bener juga. Gamma cuek dan lagian bukannya dia udah punya pacar, ya? Gamma pacaran sama Nada, kan? Oh, atau jangan-jangan Gamma ....” Belum sempat Sakti menyelesaikan kalimatnya, Dana sudah menoyor kepalanya. Membuat laki-laki itu menggerutu kesal.“Jangan berburuk sangka sam