Share

Bab 2. Isi kontrak kerja

Keringat dingin bercucuran di badan Binar, jantungnya berdetak tak beraturan. Belum lagi bekerja, ia sudah melakukan kesalahan. Rasanya ingin sekali dirinya pulang saat ini, akan tetapi ia tidak ingin mengecewakan keluarganya yang sudah terlihat bahagia saat mendengar kabar baik tersebut.

Melihat Binar ketakutan, pria yang berada di hadapannya tersebut pun tertawa, “Apa kamu pikir atasan kamu adalah saya?”

Binar menganggukkan kepalanya membuat dirinya semakin tergelitik. “Hei, nama saya Rayyan Andreas, panggil saja Rayyan. Saya hanya wakil, tapi Tama ‘lah yang berkuasa.”

“Bagaimana ini, Pak?” Lirih Binar.

“Kamu harus tanggung jawab,” katanya. “Ayo kita masuk!” titah Rayyan. 

“Pak, jangan dong. Saya takut. Apa saya pulang saja ya?”

“Kamu mau kalah sebelum berperang? Jangan khawatir, Tama itu udah jinak, Cuma belum dipoles saja.” Rayyan tersenyum geli, ia tahu apa yang ada dipikiran Binar saat ini karena ini bukan pertama kalinya ia menghadapi para asistennya Presdir Tama. 

“Saya akan coba bantu! Kamu tunggulah di sini, nanti saya panggil!” sambungnya setelah beberapa saat.

Binar terduduk di kursi yang berada di sana. Kini ia sangat ketakutan. Ia tak menyangka pria yang diajaknya bertengkar tadi adalah atasannya. Benar kata Sky — kakaknya Binar, jika atasannya sangatlah dingin. 

Hari ini benar-benar hari yang sial bagi Binar, pagi-pagi ia sudah dilecehkan, kemudian dijambret dan sekarang mengajak atasannya bertengkar. Kini semua orang yang berada di sana meninggalkan Binar yang sedang ketakutan. Tak ada yang berani menolongnya sekarang. ‘Tamat riwayatku,’ batin Binar. 

Binar mondar-mandir tak karuan, hatinya semakin berdetak saat melihat pintu ruangan Presdir Tama terbuka. “Kamu!” tunjuk Rayyan. 

“Saya, Pak?” beo Binar sambil menunjuk dirinya.

Rayyan menganggukkan kepalanya, “Ayo, masuk!”

“Se—sekarang, Pak?”

“Besok!”

Binar mengelus dadanya sembari mengucapkan syukur, ia membalikkan badannya saat ini. Tiba-tiba Rayyan sudah berada dihadapannya. Ia menarik tangan Binar membuat wanita itu terperanjat kaget. 

Kini dihadapan Binar sudah ada Presdir Tama yang duduk di kursi kebanggaannya. Lelaki itu menatapnya seakan ingin memakan Binar saat ini. Wajah datar dengan ciri khasnya membuat Binar kepanasan padahal suhu ruangan sangat dingin saat ini. 

“Siapa nama kamu?” tanya Presdir Tama.

“Binar, Pak Presdir.”

Rayyan berdehem, “Ssttt! Nama lengkap kamu,” ucapnya setengah berbisik. 

Binar menganggukkan kepala, “Maaf, Pak Presdir. Maksud saya, nama saya adalah Queen Binar.”

“Bisa saya lihat surat yang mengundang kamu kesini?”

“Bis— ah, iya, maaf, Pak Presdir. Hari ini saya sial sekali. Tadi saya dilece— maksudnya dijambret, Pak. Makanya saya seperti ini, tas saya diambilnya, bahkan ponsel saya pun ada didalam tas tersebut.”

“Kamu di jambret? Bagaimana keadaan kamu? Apa kamu terluka? Atau bagaimana?” Rayyan berdiri lalu memutarkan badannya Binar, ia memang khawatir saat ini, namun caranya sedikit berlebihan.

Binar tak bisa menjawab, ia benar-benar dikejutkan dengan tingkah Rayyan saat ini. Rayyan pun menghentikan aksinya tatkala melihat Presdir Tama menatapnya dengan kesal. “Binar, nanti kita lanjut lagi. Sekarang kamu duduk di depan Tam— maksudnya Presdir Tama!” titah Rayyan dengan sikapnya yang sudah berubah. Seorang Rayyan saja bisa takut dengan Presdir Tama, entah bagaimana nasibnya Binar setelah ini. 

Binar duduk tepat dihadapan Presdir Tama, lelaki itu tak banyak bicara. Ia hanya memberikan sebuah pena dan kertas perjanjian kontrak kerja. “Tanda-tangani!” titahnya. 

“Baik, Pak.” Binar langsung menandatangani tanpa membaca isi perjanjian tersebut, bahkan bertanya saja ia enggan saat ini. 

Setelah Binar menandatangani, Presdir Tama mengambil surat perjanjian tersebut lalu ia serahkan pada Rayyan. Rayyan menepuk tangannya dengan keras, “Welcome, Binar!” 

Presdir Tama melihat Rayyan sekilas membuat nyali lelaki itu langsung menurun. Padahal Presdir Tama adalah sahabatnya sejak kecil. Rayyan pun menaruh surat tersebut yang berada di dalam map berwarna cokelat tersebut.

“Karena kamu sudah sah menjadi asisten saya, saya akan beritahu apa saja tugas kamu. Catatlah! Karena saya tidak akan mengulangi ucapan saya lagi!” ujar Presdir Tama sambil menyerahkan pena dan pulpennya. Binar pun mengambilnya, ia sudah bersiap-siap untuk mencatat pekerjaannya yang akan dimulai dari besok pagi.

“Kamu harus membangunkan saya via call. Sebelum saya sampai di kantor, kamu wajib menyiapkan sarapan untuk saya. Saat saya akan melakukan meeting, kamu harus menyiapkan pakaian yang sesuai. Kamu juga harus mengikuti kemana saja saya pergi selama bekerja di luar, dan terakhir kamu harus mengantarkan saya pulang.”

Rasanya sangat susah Binar menelan salivanya. Ingin sekali ia tercekik dan langsung pingsan saat itu juga. Bagaimana mungkin sebanyak itu adalah tugasnya selama bekerja?

Binar menggelengkan kepalanya, ia berharap ini adalah mimpi. Namun, semakin cepat ia menggelengkan kepala, maka semakin pusing pula kepalanya. 

“Ada pertanyaan?”

“Maaf, Pak Presdir. Maaf banget, tapi ini memang tugas saya?”

Presdir Tama menganggukkan kepala, “Tentu saja!”

“Ini tugas pembantu, Pak!” gerutu Binar dengan pelan.

“Apa kamu bilang?” tanya Presdir Tama.

“Ah, enggak,” kata Binar sambil menggelengkan kepala. Namun ia teringat sesuatu, “Begini, Pak Presdir. Apa boleh saya minta tugasnya dikurangi? Saya habis di jambret, tas saya hilang, ponsel saya hilang, gimana saya bisa hubungin Bapak? Dan satu lagi, saya tidak mempunyai mobil, Pak. Saya Cuma punya sepeda onthel di rumah, apa Bapak mau naik itu?” Ini semua hanya alasan saja bagi Binar.

“Jangan khawatir, semuanya perusahaan yang tanggung!” celetuk Rayyan.

Meskipun perusahaan yang menanggung segala fasilitas yang dibutuhkan, Binar tetap saja merasa tidak sanggup dengan pekerjaan tersebut. Binar menaruh catatan yang ia tulis tadi, “Maaf, Pak. Saya memilih untuk mundur.” 

Setelah mengatakan itu Binar berniat untuk pergi. Binar sudah tidak perduli lagi dengan perasaan keluarganya jika melihat dirinya pulang dengan tangan hampa. Binar merasa pekerjaannya tersebut hanya akan membuat dirinya menjadi rugi saja. 

“Jika kamu keberatan, kamu dipersilakan keluar! Namun kamu harus membayar penalti sebesar 10 kali lipat dari gaji kamu,” ucap Presdir Tama membuat Binar menghentikan langkahnya, padahal pintu ruangan sudah berhasil ia buka sekarang. 

Bagaimana Binar tidak terkejut? Uang denda yang di maksud berjumlah sangat besar. Bukan hanya tabungannya saja yang terkuras untuk membayarnya, namun ia akan menyusahkan Pak Ilyas dan juga Bu Laila.

“Apa tidak bisa dikurangi sedikit saja?” tanya Binar. “Ayolah, Pak Presdir. Kasihani saya,” sahut Binar sedikit memelas. 

“Ini soal kontrak kerja, bukan tentang mengasihani.”

“Bagaimana kalau diskon 50%? Saya akan membayarnya, tapi beri saya waktu satu bulan.” Binar masih berusaha untuk meminta keringanan dalam untuk uang denda yang akan dia bayarkan. 

Sudahlah minta pengurangan pembayaran, ia juga meminta waktu untuk membayarnya pula. Hal ini membuat Presdir Tama tergelitik mendengarnya, akan tetapi ia hanya menyunggingkan senyum tipisnya. Sangat tipis hingga tidak ada yang menyadarinya. 

Presdir Tama berdehem, kemudian ia memberikan isyarat agar Rayyan ‘lah yang mengurusnya. Rayyan berdiri dari bangkunya, ia pun mendekati Binar. “Hei, cantik. Kamu ini lucu sekali. Kamu pikir ini di pasar sampai minta diskon segala?” tanya Rayyan pada Binar. 

“Jadi saya harus bagaimana, Pak?" lirih Binar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status