Share

30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin
30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin
Penulis: Ai Bori

Bab 1. Hari yang sial

“Na … na … na … nana ….”

Suara merdu tersebut berasal dari gadis cantik bernama Queen Binar. Ia sudah rapi dengan pakaian hitam putihnya, ia terlihat sangat seksi namun tetap terlihat elegan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di PT Angkasa Group yang berada di ibukota Jakarta. Karena dirinya tinggal di kota Bandung. Hal itu mengharuskannya untuk naik kereta agar sampai lebih cepat.

“Kenapa keretanya lama sekali?” gerutu Binar saat sudah sampai di stasiun, sementara sang ayah yang baru saja mengantarnya pun sudah langsung pulang ke rumah.

Tak lama kemudian sebuah kereta berhenti tepat di depannya, ia harus menunggu karena mengutamakan yang turun terlebih dahulu. Tanpa ia sadari ada seorang laki-laki dengan gelagat aneh yang memerhatikan dirinya sejak tadi.

Binar duduk di kursi miliknya, ternyata dia memesan kursi di sebelah jendela agar dapat menikmati pemandangan yang ada.

Seseorang duduk di sebelahnya, laki-laki dengan gaya amburadul membuatnya menjadi merinding sendiri. Laki-laki tersebutlah yang melihat Binar seakan ingin menerkamnya. “Hai, Mbak. Salam kenal, ya!”

Binar pura-pura tidak mendengarnya, ia benar-benar takut saat ini. Laki-laki tersebut terus memandanginya dari atas sampai bawah. “Cantik juga,” ucap lelaki itu dengan pelan. Tidak ada yang mendengarnya, hanya mereka yang tahu.

Binar menoleh ke arah jendela, mencoba untuk melupakan kejadian dan berharap ia akan sampai secepatnya ke Jakarta. Tiba-tiba tangan lelaki itu menyenggol pahanya, “Ups! Maaf, nggak sengaja.”

Binar masih diam, padahal keringat jagung sudah membasahi badannya. Ia sangat ketakutan saat ini. “Mbak, kok diam aja? Mau lagi, ya?” goda lelaki tersebut.

Binar memang terlihat sangat seksi dengan rok pendeknya diatas lutut tersebut, siapa saja yang melihatnya pasti tergoda. “Love you, Baby!” sambil mengelus paha Binar.

Binar sudah tidak tahan lagi, ia menutup telinganya, “Bisa diam, nggak?” Ketus Binar.

“Woah, ternyata galak juga. Tapi aku senang. Aku suka yang galak, lebih menantang kayak kamu.”

“Jangan kurang ajar, ya!” bentak Binar.

“Kelebihan ajar boleh, nggak?”

Binar tidak menjawab lagi, ia mengambil ponselnya dan memainkannya.

“Oh, kamu mau simpan nomor aku, Baby?” Pria tersebut masih terus menggodanya. “Jangankan nomor, hati aku aja bakalan aku kasih ke kamu!” lanjutnya sambil kembali memegang paha Binar.

Binar terus berdo’a di dalam hatinya agar ada seseorang yang menolongnya, siapa sangka tidak ada yang menolongnya saat ini. Binar meneteskan air matanya, membuat pria tersebut semakin menjadi dengan tingkahnya.

“Tolong hentikan! Tolong,” lirih Binar.

“Satu juta satu malam, gimana?” tawarnya sambil menunjukkan dompetnya yang warnanya sudah pudar tersebut.

Binar tidak menjawabnya, ia menghapus air matanya sambil merapikan posisi duduknya. “Deal, ya?” kata pria itu lagi.

Binar tidak menjawabnya, badannya kini sudah gemetaran. Pria tersebut tidak mengganggunya lagi membuat Binar sedikit lega.

Tanpa terasa Binar sudah sampai ditujuan. Binar sengaja berdiri di keramaian agar mereka melihat jika pria tersebut mengganggunya. Namun pria tersebut malah bersikap tidak perduli.

Binar berjalan keluar dari stasiun, namun begitu situasi menjadi sepi tiba-tiba seseorang menarik tasnya hingga membuat Binar terjatuh dan hilang kendali. Binar sudah berteriak meminta tolong tetapi yang membantunya datang setelah pencurinya jauh.

‘Dia ‘kan laki-laki tadi?’ Batin Binar.

Ya, ternyata yang mencurinya adalah laki-laki yang menggodanya tadi. Ibarat kata saat ini Binar sudah terjatuh malah ketimpa tangga. Sakitnya menjadi berlipat-lipat.

“Mbak, nggak pa-pa?” tanya salah seorang yang ingin membantunya.

‘Hei, pertanyaan seperti apa itu? Aku udah jatuh, pasti kenapa-kenapa!’ batin Binar mengumpat mereka.

“Nggak pa-pa, tapi tas saya dibawa kabur,” lirih Binar.

“Maaf, Mbak. Kami sudah kejar malingnya tapi larinya cepat sekali,” kata beberapa orang yang baru saja kembali ke arah Binar, tadinya ia memang mengejar maling tersebut bersama beberapa warga lainnya.

“Ya sudah, nggak apa-apa,” lirih Binar.

Binar bangkit dan berjalan kaki menuju perusahaan tersebut. Dia tak bisa naik kendaraan umum karena tidak memegang apapun. Semuanya berada di dalam tas yang dicuri laki-laki tadi.

“Sial banget hidupku hari ini!” gerutu Binar.

Sekitar pukul sepuluh pagi Binar sudah sampai di perusahaan besar dan megah. Binar sudah tidak sanggup lagi berjalan untuk mencari ruangannya, akhirnya Binar memutuskan untuk pergi ke meja resepsionis.

“Permisi, Mbak. Saya Binar, asisten baru dari Pak Presdir Angkasa Witama. Maaf, saya mau nanya, ruangan saya dimana ya? Takut tersesat, luas banget ini tempatnya,” kata Binar sedikit berbisik.

Wanita itu sedikit ragu, penampilan Binar saat ini benar-benar berantakan. “Maaf, bisa tunjukkan suratnya?”

Binar menghela napasnya, “Itu dia masalahnya, saya habis dijambret. Semuanya ada di sana!”

“Sebentar, saya cek dulu.” Wanita itu melihat di layar monitor, ternyata memang benar nama Binar tertera di sana. “Baiklah, ruangannya ada di lantai paling atas, Mbak.”

“Naik lift, ya?”

“Mbaknya mau naik tangga?”

Binar menghela napasnya, rupanya ia punya trauma dengan lift. “Mbak, bisa temani saya, nggak? Saya takut naik lift sendirian.”

Wanita itu mengangguk, kemudian ia menyuruh temannya untuk berjaga di depan. “Mari saya antar!” titah wanita itu.

Selama di dalam lift, Binar terus memegang tangan wanita itu. “Jangan takut, Mbak bahkan harus seperti ini mulai sekarang.”

“Benarkah? Apa lift ini pernah makan nyawa?”

Wanita itu malah tergelitik mendengarnya, “Sejauh ini belum pernah, Mbak.”

Binar melepaskan tangannya, ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Akhirnya mereka sampai di lantai 12, pintu lift pun terbuka. “Kita sudah sampai, Mbak. Maaf, saya tidak bisa antar. Ruangannya ada diujung. Tapi itu bukan ruangan kamu, itu ruangan Presdir. Tempat kamu di meja yang di sebelah pintu itu. Hati-hati, Presdir Tama agak anu. Kamu tunggu aja di depan dulu.”

Binar keluar dari lift, namun ia sedikit susah mencerna ucapan wanita tersebut. “Sedikit anu gimana maksudnya?”

Belum sempat menjawabnya, pintu lift pun tertutup membuat Binar ketakutan untuk berjalan. Bahkan ia sejak tadi hanya mondar-mandir di depan lift tadi. Pikirannya mengatakan untuk balik pulang saja, sedangkan hatinya berkata untuk tetap tinggal. Hati dan pikiran yang tidak sejalan ini membuat dirinya menjadi kacau.

“Aku harus bagaimana?” gumam Binar.

Binar berjalan dengan mundur membuat dirinya menjadi tertabrak seseorang. Tangannya seperti menyentuh sesuatu, “Ini apa?” gumamnya.

Suara deheman pun terdengar jelas, Binar menjadi terkejut. “Lepaskan tangannya!” ucap seorang laki-laki dengan dinginnya. Saking dinginnya bulu kuduk Binar menjadi berdiri tegak dengan rapi.

Binar melihat tangannya, ternyata menyentuh hal yang sensitif. Kini Binar berteriak sekencang-kencangnya. “Berisik!” ucap lelaki tersebut.

Beliau langsung pergi meninggalkan Binar, namun Binar langsung mengejarnya. Ia merasa tidak terima karena diperlakukan seperti itu. “Hei, tunggu!” titah Binar.

“Tunggu! Kamu siapa? Kamu penguntit ya? Atau kamu pencuri? Tolong! Ada pencuri di sini! Tolong!” Binar bertingkah aneh, ia berteriak meminta tolong saking takutnya.

Di lantai tersebut hanya orang-orang tertentu saja yang berada di sana. Ruangannya pun juga hanya ada empat, tentu saja itu adalah ruangan penting. Ada beberapa Presdir di sana beserta karyawannya.

Beberapa karyawan yang lain ingin sekali memberitahu Binar, tetapi Presdir Tama memberikan isyarat agar mereka diam. Binar semakin kesal karena yang berada di sana hanya melihatnya saja tanpa menolong sedikitpun.

“Kok pada diam sih? Ini bukan tontonan. Cepat bantu saya!” titah Binar.

“Anu, itu sebaiknya jangan kamu permasalahkan, Mbak. Beliau orang baik.”

“Orang baik apanya? Wajahnya seram begini!”

“Lepasin, Mbak!” titah tiga orang karyawan yang berstatus sama sepertinya sambil menarik tangan Binar.

Kericuhan semakin terjadi hingga tiba-tiba pintu lift terbuka. Seorang laki-laki memakai setelan jas pun datang dengan gagahnya.

“Ada apa ini?” tanyanya.

Binar melepaskan tangannya dari pria tadi, ia mendekati pria yang baru saja datang. Aneh sekali, Binar malah membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda hormat.

“Selamat pagi, Pak!” ucap Binar.

“Pagi! Ada apa ini? Wait, kamu siapa?”

“Saya Binar, Pak. Asisten baru Pak Presdir Angkasa Witama.”

“A—apa?” tanya mereka dengan serempak.

“Jadi kamu asisten yang baru?” tanya pria itu setelah beberapa saat.

Binar menganggukkan kepala, “Maaf, apa Bapak adalah Presdir Tama?

Pria tersebut menahan tawanya, “Kamu mau tahu siapa atasan kamu?”

“Si—siapa, Pak?”

“Laki-laki yang kamu ajak bertengkar tadi.”

“A—apa?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Said
Penyusunan cerita sangat baik, enak dibaca karena tanda baca sudah sangat dikuasai. lanjut kak
goodnovel comment avatar
SyaSyi
seru kak ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status