"Arsen di mana?" tanyanya to the poin.
"Arsen? I don't know," jawab Steve enteng.
Dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Gladis mengembuskan nafas beratnya. "Gimana sih, Bang! bukannya lo udah aku kasih tahu buat bantu jagain dia!"
Pria bertato itu tercengang mendengar ucapan dari adik tersayangnya. Dia ingin mematikan telepon tersebut. Karena tidak ingin ambil pusing dengan masalah yang dialami adiknya. Namun sepertinya Gladis tahu apa yang ada di pikiran kakaknya.
"Jangan coba-coba matiin telepon dari gue!"
"Ampun deh! punya adik kok copy paste-nya bokap banget ya! mengsedih aku."
Gladis mulai kesal. Dia berjalan mondar-mandir di depan pintu sambil menggigit kuku tangannya. Sesekali ia melihat ke arah gerbang rumah.
"Siapa suruh rumah di pasang CCTV malah di putus kabelnya!"
"Udah nggak usah
Gladis dengan yakin mengatakan kepada kakaknya. Dia juga tidak tahu jika ingatan Arsen kembali apa yang akan terjadi kepadanya. Ucapan Gladis pun dijawab candaan oleh Steve. "Better pepet terus, than disamber!" "Eeaaa ..., sa ae lo bang!" Kedua kakak beradik itu terlihat bahagia di samping mobil. Arsen tersenyum melihat mereka bercengkrama dari jendela. Lelaki yang sebelumnya sempat membuat Arsen overthinking, ternyata adalah orang selama ini dapat menjaga kekasih hatinya. Dia teringat ucapan tukang sayur keliling tempo hari. Sosok pria yang dimaksud adalah Steve. Kembali lagi Steve mengembuskan napas sejenak dan menepuk pundak Gladis. "Hati-hati dengan hati! suatu saat kau akan menyadari bahwa dunia tidak akan menawarkan kehidupan yang bahagia kepada siapa pun!" ucap pria bertato di lengan kanan dan kirinya itu saat mewanti-wanti adik tersayangnya. "Bang! aku udah
Lexi hanya tersenyum dan tak terlalu menanggapi Kevin. Sebelum masuk, Kevin tidak tahu apa yang sedang dibahas dua orang itu. Namun saat asisten klimis itu datang, raut wajah Melinda sangat Murung Tidak seperti biasanya. Pria yang selalu rapi itu menyodorkan satu berkas kepada Melinda. "Ini file tentang pertemuan kemarin yang Anda minta." Lexi menatap serius kepada Kevin. Isyarat matanya mengatakan jika Dia menyuruh Kevin untuk segera pergi. Namun Kevin malah menjadi canggung dan salah tingkah diantara mereka bertiga. Karena dia sedang menunggu berkas itu diperiksa oleh Melinda. "Oh, maaf Nona, ini waktunya saya pulang. Tuan Lexi sampai jumpa." Melinda langsung menghentikan keputusan Kevin. "Tunggu! umm ... kamu bekerja lembur malam ini! pergi ke suatu tempat bersamaku!" Kevin dan Lexi kembali beradu pandang. mereka tidak mengerti apa yang
Melinda pada akhirnya juga ikut larut dalam suasana itu. Dia minum beberapa gelas kecil berisi cairan memabukkan itu. "Ayo lanjutkan sampai pagi! aku tidak akan kalah darimu Nona!" teriak Kevin tak terkendali karena pengaruh alkohol. Kevin memang dari awal sudah mengetahui maksud dari Melinda yang tiba-tiba saja mengajaknya untuk minum. Sejak awal Kevin sudah menaruh curiga kepada Melinda. Gadis itu salah duga untuk mengajaknya mabuk dan membuat Kevin teler terlebih dahulu. Karena wanita licik itu ingin mengorek informasi tentang Arsen. "Maaf Nona, walau tuan Arsen buruk saat minum. Saya tidak sama sepertinya," kata Kevin saat menggendong Melinda yang sudah tidak sadarkan diri dan memasukkannya ke dalam mobil yang terparkir di depan bar tersebut. Kevin menyelimuti tubuh gadis bermata sipit itu menggunakan jasnya. Melinda tidur di kursi pengemudi. "Rumah Anda di mana Nona? aku akan mengantarmu pulang!"
Badan yang awalnya dingin kini berubah menjadi panas, terlihat dari pipi dan telinga yang berubah merah. "Masih sepagi ini dan ini hari libur?" tanyanya sambil memeluk erat tubuh seksi milik Gladys. "Umm ... itu." Arsen duduk dan berpindah posisi. Saat ini mereka berbaring saling berhadapan. Sepasang kekasih itu terus bertukar pandang. Arsen mengusap lembut wajah cantik milik Gladis. Pipi Gladis semakin bersemu. Debaran hatinya tak menentu. Dengan perlahan Arsen mendekatkan wajahnya. Refleks Gladis menutup rapat-rapat kedua kelopak matanya. 'T-tidak! hati tolong waraslah! jaga pikiranmu! Gladis ayo sadar!' ronta Gladis dalam hatinya. Dengan cepat tangan Gladis menutupi mulutnya yang hampir saja dicium oleh Arsen. "Aku lupa ...." Kembali lagi gadis blasteran itu memikirkan alasan yang tepat untuk menghindari kejadian tak terduga seperti ini
Gadis bermata sipit itu memperhatikan ke sekitar. Saat hendak melajukan mobilnya, ia melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Arsen melintas di depan mobilnya. Pria itu terlihat hendak menyeberang jalan. Melinda sampai mengucek kedua matanya berkali-kali. Dia buru-buru ingin mengejar pria tersebut. Namun saat membuka pintu mobil, suara klakson sangat keras mengejutkannya. Dia kembali menutup pintu mobilnya. Kepala Melinda tiba-tiba saja terasa pusing. Namun dia berusaha menahannya. Kali ini sebelum keluar mobil, Melinda melihat ke belakang untuk memastikan tidak ada mobil lain yang melintas. Ia kembali mengejar pria tersebut. Melinda menyeberang jalan menerobos kerumunan dengan terburu-buru. Sayangnya, pria yang dilihat itu sudah tidak nampak lagi. Gadis berambut keriting itu, tanpa ia sadari matanya telah berkaca-kaca. Menahan sesak di dada. "Kamu kenapa kaya gini sih, Mel? apa yang kamu harapkan d
Mereka segera membukakan pintu untuk Jenni. Gladis dan Arsen tidak tahu jika Reska datang bersama Jenni, karena dia bersembunyi di dalam mobil. "Ayo masuk! aku membuatkan minum," ucapan Arsen kepada Jenni. Ajakkan itu ditolak oleh Jenni karena dia akan membicarakan hal penting dengan Gladis. "Kami akan membahas pekerjaan di sini dulu," ucap Gladis memberitahu. Stelah Arsen masuk ke dalam rumah, mereka berdua duduk di kursi yang brada di bawah pohon yang rindang. Rumah Gladis memiliki taman kecil di depan rumahnya. Banyak bunga dan tanaman hias tumbuh subur dan terawat. Dengan meja dan kursi di pojok sebelah kanan dan ayunan dengan atap kecil di pojok depan sebelah kiri. Kebiasaan merawat tumbuhan Gladis dapat dari sang ibu. Saat mereka berdua sedang membicarakan tentang pekerjaan dan suasana di kantor Adyatama Group yang dikabarkan merugi besar akibat hilangnya Arsen. Tiba-tiba saja dengan senyum lebar me
Sesekali ia mengembangkan senyum separuhnya. "Jadi Anda adalah Bos manja yang selalu butuh bantuan Gladis?" Suara Arsen memecah ketegangan di antara mereka. "Tepatnya Aku adalah bos dan teman masa kecilnya. Ah, tidak! kita adalah kekasih masa kecil." Reska mengatakan hal yang tak terduga untuk pria di hadapannya. Arsen sempat melotot saat mendengar ucapan Reska. Namun sedetik kemudian ia dengan bangga mengatakan bahwa Reska mungkin hanya dianggap sebagai anak kecil bagi Gladis. Untuk saat ini hanya Arsenlah yang ada di hatinya Gladis. "Apa tidak apa-apa kalau meninggalkan mereka berdua seperti itu?" tanya Jenni pada Gladis saat mereka hendak naik ke lantai dua. Ada hal yang harus mereka bicarakan berdua. "Tenang. Aman kok, karena yang satu hilang ingatan dan satu lagi gak punya ingatan." Lantas mereka berdua tertawa riang sambil terus berjalan melewati tangga. Saat menyeruput kopi
Tanpa komando kedua pria tak dikenal tersebut langsung menoleh ke belakang. Mereka melihat Steve yang memasang muka poker face-nya. Pria asing tersebut langsung gemetar. Bahkan, salah satunya menepuk-nepuk lutut teman di hadapannya. Sebenarnya Steve sudah mengetahui keberadaan keduanya sejak pagi. Tetapi, ia membiarkan mereka karena Steve pikir kedua pria tersebut hanya iseng di depan rumah adik tersayangnya. Tapi pria tak dikenal itu terus berada di sana, maka ia sengaja menghampiri mereka. "Kalian ngintip siapa?!" Karena tidak sabar, pria gondrong itu mengambil begitu saja kamera yang dipegang salah satu pria asing tersebut. Ia membuka dan melihat hasil jepretan mereka. Di sana ada foto Gladis dan Arsen saat sedang melakukan aktivitas di luar rumah. "Siapa yang menyuruh kalian?!" tanya Steve dengan nada tinggi. Pria asing itu terus saja diam. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka. Steve menarik pa