Lift itu terbuka. Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam ruangan kotak kecil yang ke semua sisinya terbuat dari besi. Aku merasa sedikit terayun saat benda itu bergerak setelah pintu lift tertutup dan aku menekan tombol yang paling kecil di sana.Tolong jangan biarkan aku bertemu dengan Alina! Aku berdoa di dalam hati sambil menutup mata dan menyatukan kedua telapak tanganku.Kalau sampai tertangkap habis sudah. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Alina kepadaku. Ia pasti akan membiarkan aku kabur. Ia membenciku, sudah pasti akan melukaiku.Setelah pintu litf terbuka. Pemandangan di depanku lebih asing lagi. Deretan mobil yang bersusun rapi dengan tonggak-tonggak besar berada di sana. Aku melangkah keluar dengan hati-hati. Pintu lift berdenting tertutup di belakangku.Aku mendengar beberapa orang mengobrol dari sebelah kananku.Aku pikir sebaiknya kuhindari. Jadi, aku pergi ke arah lain dengan segera. Mobil-mobil itu masih berderet saja. Kemudian aku melihat titik cahaya di ujung.
“BUkankah operasinya lama sekali?” Aku kembali berhenti di depan dokter keluarga, menanyakan kenapa operasi yang dijalani oleh Ayu lama sekali.Pria itu yang rambutnya telah abu-abu tersenyum. Namun, buat apa ia tersenyum padaku? Sama sekali tidak membuatku tenang. Aku hanya mau jawaban dari pertanyaanku saja.“Karena Nyonya datang dalam keadaan pendarahan dan tak sadarkan diri, pasti dokter bedah menunggu sampai tekanan darah Nyonya normal. Sebentar lagi operasinya pasti akan selesai, Tuan!”Aku harap juga begitu. Aku tidak tahu sampai berapa lama bisa menahan diri untuk tidak lebih panik dari ini lagi.Seperti yang diperkirakan oleh dokter keluarga, pintu ruang operasi terbuka dan dari sana keluar seorang perawat. “Suami Nyonya Ayudhia?” Matanya memandang satu-satu orang-orang yang menunggu.Aku langsung bergegas maju. “Saya! Apa ada sesuatu pada istri saya?” tanyaku.Tanganku dingin, begitu juga dengan kaki. Aku mulai merasa gemetaran dan sesak napas saat ini. Jangan sampai terjadi
“Dokter … pasien sadar!”Aku mendengar seorang wanita entah di sisi kanan atau kiriku berbicara. Tunggu? Dokter? Di mana ini? Aku mulai takut, jantungku berdebar-debar cepat dan aku berusaha mengerakan tanganku.“Tambah obat biusnya!”Aku berhasil mengerakan tangan dan sesuatu yang kabur dan berwarna abu-abu muncul di atasku. Siapa? Apa yang berusaha mereka lakukan padaku? Aku harus berteriak. Aku harus memberitahu seseorang kalau aku ada di sini.Sebentar. Bukankah tadi aku mendengar suara Gatra saat semuanya mendadak menjadi gelap. Benar. Aku hanya perlu berteriak memanggil Gatra saja lagi. Gatra akan datang kalau mendengar suaraku.“Tidak apa-apa, Nyonya, Anda berada di tempat yang aman!”Setelah mendengar hal itu, kesadaranku kembali mengabur. Dan aku tengelam dalam mimpi aneh yang tidak kumengerti. Aku berada di rumahku di kampung. Pria yang aku panggil Ayah masih hidup dan duduk di bale depan rumah. Ibu tampak sangat cantik, tetapi dia tidak bersama Ayah. Dia bersama Pak Prana y
“AYU! AYU!”Suara itu mengema di rumahku. Aku yang meringkuk di atas tempat tidur dengan seprai usang yang pada tepinya sedikit robek sejak tadi langsung meloncat sambil berdiri. Di wajahku segera muncul senyuman paling lebar. Aku bisa merasakan kalau pipiku sakit saat ini.“Ayah!” seruku sambil turun dari tempat tidur.Aku tersungkur karena kakiku tersangkut seprai yang sobek. Tapi secepat kilat pula aku bangun. Ayahku yang tampan berada di depan pintu masuk, sedikit kotor, dan tampak agak oleng.“Ada apa, Yah?” tanyaku ingin tahu.Salah satu tangan pria itu disembunyikan di belakang tubuhnya. Ia tersenyum-senyum dan kemudian menjatuhkan diri di kursi rotan reyot di ruang tamu.“Kemarilah! Lihat apa yang aku bawa untukmu!” katanya menyeringai.Ayah berbau asam. Matanya selalu merah kapan pun aku bertemu dengannya. Sesekali kalau ia sedikit saja tampak lebih baik, ia akan bersikap buruk pada ibuku.Setiap kali itu terjadi, aku akan bertanya kenapa. Dan Ayah akan menjawab sambil menaik
“Saat kami sampai di rumah hanya Mayat ayahnya Ayu saja yang ada di ruang tamu. Tapi ibunya sudah pergi! Parang yang digunakannya untuk menusuk ada di dapur, masih bersimbah darah!”Perkataan itu disampaikan secara bisik-bisik antara para bapak-bapak yang berkumpul. Maksudnya mungkin supaya aku tidak dengar. Tetapi sayang sekali, pendengaranku lebih tajam. Aku menarik kakiku sedikit lagi supaya bisa menyembunyikan kepalaku di sana. Aku bagaikana seekor kucing yang ketakutan saat ini.“Terus bagaimana?”“Aku sudah panggil kepala desa! Beliau sudah datang dengan polisi ke sana!” Mereka semua berhenti sebentar bicara dan menoleh padaku secara serempak. “Polisi sudah membawa mayatnya. Ayu jelas ndak mungkin kita suruh pulang ke sana!”Kalau pulang ke rumah dan seluruh polisi itu meninggalkan Ayu sendiri, bisa jadi ibunya kembali. Aku tak mau menyusul ayahnya seperti yang dikatakan Ibu. “Ayu boleh tidur di sini hari ini kan, Kak?” Aku menguncang tangan kakak perempuan temannya Wis, gadis i
“Kita tidak bisa terus-terusan menaruh Ayu di sini, kan? Bagaimana pun dia harus kembali ke rumahnya lagi!”Sudah sebulan penuh setelah Ayah dikuburkan dan Ibu ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Beberapa orang saksi mata memberitahu kalau Ibu terlihat di halte bus beberapa saat setelah menikam Ayah. Yang lainnya masih yakin kalau Ibu bersembunyi di sekitar rumah mereka dan akan muncul saat tidak lagi diperhatikan. Yang mana pun saat kasusnya ini kemudian perlahan lenyap, aku adalah orang pertama yang akan dicari oleh ibunya.Aku baru saja pulang sekolah dan menanggalkan sepatunya di bale-bale depan rumah. Wisnu temanku telah lebih dulu masuk dan aku sama sekali tidak tahu apakah boleh masuk ke dalam dan bergabung. Jelas-jelas pembahasan keluarga Wisnu adalah diriku yang menjadi beban.Di kampung ini tidak ada orang yang kaya, semuanya hidup pas-pasan dari bertani dan berladang. Kalau pun ada yang kaya mereka meninggalkan rumah dan membuat kediaman lain yang lebih bagus di pinggi
Katanya Bibi Lusi adalah istri Paman. Tetapi, setiap kali Paman berangkat bekerja keluar kota Bibi Lusi selalu didatangi oleh pria. Jika hanya satu saja maka aku pasti berpikir kalau orang yang datang adalah kenalan Paman yang diminta untuk menjaga kami berdua. Tidak salah, sebab kami berdua adalah perempuan. Namun, orang yang datang selalu saja berbeda-beda. “Bi ....” Aku muncul tepat sebelum Bi Lusi menutup pintu depan. Aku akan dikunci lagi tampaknya. Aku ingin tahu, tetapi takut. Aku hanya menumpang di rumah ini. Bagaimana kalau Bi Lusi kemudian malah mengusirku kalau banyak tanya? Mau ke mana aku setelah ini? Aku jelas tak bisa kembali ke kampung. Tidak ada siapapun lagi di sana. “Kamu tunggu di rumah. Kunci pintu dari dalam, kalau ada orang yang panggil Bibi ... diam saja! Jangan disahuti!” tegas Bi Lusi padaku. Ini masih pesan yang sama seperti pesan-pesan sebelumnya. Aku mengangguk paham dan menerima kunci rumah yang diberikan oleh Bi Lusi. Seperti yang diperintahkan, aku m
Pemberitahuan yang bagaikan ledakan granat itu membuatku nyaris tidak bisa berpikir. Seolah mendukung ledakan tersebut, petir menyambar dengan sangat hebat dan kemudian hujan mulai turun dengan lebat. Aku nyaris tidak tidur semalam. “Yu!” Aku mengangkat kepala, tidak tahu apa yang dirasakan kini. “Ya, Bi!” “Sana mandi! Kita harus mulai sekarang. Orang-orang itu akan datang sekitar tengah hari. Dan aku harus pergi ke suatu tempat juga sebelum itu!” Bibinya menyusun kuas, kotak-kotak pipih berisi riasan, juga beberapa pakaian di dekat lemari meja rias dalam kamar sempit milik Bibi. “Apa Ayu boleh nggak pergi, Bi! Ayu akan lakukan pekerjaan rumah dengan lebih baik!” Kali ini aku merasa seperti tercekik. Gerakan tangan bibiku berhenti. Ia tidak berbalik, tetapi menatapku dari pantulan di cermin. “Apa mengurusi rumah ini bisa menghasilkan uang? Jangan bercanda! Kalau kamu nggak mau dijual ke orang sembarangan, maka cepat mandi sekarang!” Nada suara wanita yang biasanya ramah itu dingi