Sebuah pusat perbelanjaan bukan tempat yang buruk. Hanya saja aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan di sini. Aku tidak tertarik dengan barang-barang yang dipajang. Harganya mahal. Aku takut merusaknya bahkan dengan emnyentuhnya saja. Mungkin saja Gatra marah kalau aku membuat masalah.Sopir yang ditugaskan oleh Gatra mengikuti dengan jarak lima meter di belakang. Sebenarnya Gatra tidak berniat melepaskanku sendirian saja!“Wah, lihat siapa yang ada di sini?”Seluruh tubuhku mematung. Aku tidak bisa menghentikan bagaimana sensasi ketakutan muncul pada diriku. Semuanya, yang aku miliki di dalam diriku berteriak menyuruhku lari.Namun, sebelum aku melakukannya pemiik suara itu mengalungkan tangannya di leherku.“Apa kabar, Ayu?”Aku menoleh, melotot karena takut. Napasku tercekat dan tanganku gemetar saat berusaha melepaskan diri dari Alina.“Aku tidak menganggu! Aku akan pulang!” kataku dengan suara gemetar.Wajah cantik Alina yang sedang tersenyum, terlihat sangat menyeramkan saat i
Sopir yang aku tugaskan bersama dengan Ayu berdiri gemetar di depanku. Di sampingku ada Erlan yang memeluk dirinya sendiri dan diam saja. Cahaya diari jendela di belakangnya menjadikan Erlan bagaikan bayangan hitam besar yang mengancam.“Katakan lagi!” Aku menyuruh sopir yang ada di depanku untuk bicara.“Saat saya sadar, Nyonya sudah tidak ada di depan saya. Padahal saya hanya beberapa langkah saja di belakang Nyonya!” Sopir itu berkata dengan suara yang sama gemetarnya seperti tubuhnya.Aku menyambar gelas di depanku dan melemparkannya kepada orang itu. “BAGAIMANA BISA KAMU KEHILANGAN SEORANG WANITA YANG SEDANG HAMIL BESAR? APA MUNGKIN?” Tenggorokanku terasa nyeri karena berteriak.Setelah kemarahan yang hebat itu aku memegangi kepalaku sambil menengadah ke atas, menatap langit-langit kantor mewah yang terasa suram saat ini.“Kamu akan dikurung untuk sementara!” Erlan yang bergantian bicara pada sopir itu.Jika aku melanjutkan untuk melampiaskan kemarahan padanya, pria itu hanya ak
Aku tidak kenal dengan perempuan yang datang dan sambil mengerutu itu. Ia menyuapiku asal-asalan dan sama sekali tidak berusaha menenangkanku. Memang apa yang aku harapkan dari seorang wanita yang ditugaskan untuk mengurusku?“Buka mulutmu lebih lebar!” Ia berteriak padaku.Mana mungkin aku akan mematuhinya. Segera saja kukatupkan mulutku rapat-rapat. Sial. Kenapa aku harus mengalami kejadian buruk seperti ini? Dosa apa yang aku perbuat?Bukan! Jelas tidak semua perbuatan salah yang dilakukan manusia akan diganjar dengan dosa oleh Tuhan. Tuhan pasti sedang melihat bagaimana aku menghadapi masalah dalam hidupku saat ini.“Dasar wanita brengsek! Bagaimana bisa kamu malah trdiam seperti itu hah?” Orang yang digusai untuk mengurusiku tampaknya juga ditugasi untuk menyiksaku.Kini dia berdiri dengan berani dan mencengkeram rahangku dengan tangan kirinya. Sementara itu tangan kanannya memegang sendok berisi makanan dan menjejalkan makanan itu ke dalam mulutku.Uhuk! Uhuk! Aku terbatuk-batuk
“AYU! AYU!”Suara itu mengema di rumahku. Aku yang meringkuk di atas tempat tidur dengan seprai usang yang pada tepinya sedikit robek sejak tadi langsung meloncat sambil berdiri. Di wajahku segera muncul senyuman paling lebar. Aku bisa merasakan kalau pipiku sakit saat ini.“Ayah!” seruku sambil turun dari tempat tidur.Aku tersungkur karena kakiku tersangkut seprai yang sobek. Tapi secepat kilat pula aku bangun. Ayahku yang tampan berada di depan pintu masuk, sedikit kotor, dan tampak agak oleng.“Ada apa, Yah?” tanyaku ingin tahu.Salah satu tangan pria itu disembunyikan di belakang tubuhnya. Ia tersenyum-senyum dan kemudian menjatuhkan diri di kursi rotan reyot di ruang tamu.“Kemarilah! Lihat apa yang aku bawa untukmu!” katanya menyeringai.Ayah berbau asam. Matanya selalu merah kapan pun aku bertemu dengannya. Sesekali kalau ia sedikit saja tampak lebih baik, ia akan bersikap buruk pada ibuku.Setiap kali itu terjadi, aku akan bertanya kenapa. Dan Ayah akan menjawab sambil menaik
“Saat kami sampai di rumah hanya Mayat ayahnya Ayu saja yang ada di ruang tamu. Tapi ibunya sudah pergi! Parang yang digunakannya untuk menusuk ada di dapur, masih bersimbah darah!”Perkataan itu disampaikan secara bisik-bisik antara para bapak-bapak yang berkumpul. Maksudnya mungkin supaya aku tidak dengar. Tetapi sayang sekali, pendengaranku lebih tajam. Aku menarik kakiku sedikit lagi supaya bisa menyembunyikan kepalaku di sana. Aku bagaikana seekor kucing yang ketakutan saat ini.“Terus bagaimana?”“Aku sudah panggil kepala desa! Beliau sudah datang dengan polisi ke sana!” Mereka semua berhenti sebentar bicara dan menoleh padaku secara serempak. “Polisi sudah membawa mayatnya. Ayu jelas ndak mungkin kita suruh pulang ke sana!”Kalau pulang ke rumah dan seluruh polisi itu meninggalkan Ayu sendiri, bisa jadi ibunya kembali. Aku tak mau menyusul ayahnya seperti yang dikatakan Ibu. “Ayu boleh tidur di sini hari ini kan, Kak?” Aku menguncang tangan kakak perempuan temannya Wis, gadis i
“Kita tidak bisa terus-terusan menaruh Ayu di sini, kan? Bagaimana pun dia harus kembali ke rumahnya lagi!”Sudah sebulan penuh setelah Ayah dikuburkan dan Ibu ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Beberapa orang saksi mata memberitahu kalau Ibu terlihat di halte bus beberapa saat setelah menikam Ayah. Yang lainnya masih yakin kalau Ibu bersembunyi di sekitar rumah mereka dan akan muncul saat tidak lagi diperhatikan. Yang mana pun saat kasusnya ini kemudian perlahan lenyap, aku adalah orang pertama yang akan dicari oleh ibunya.Aku baru saja pulang sekolah dan menanggalkan sepatunya di bale-bale depan rumah. Wisnu temanku telah lebih dulu masuk dan aku sama sekali tidak tahu apakah boleh masuk ke dalam dan bergabung. Jelas-jelas pembahasan keluarga Wisnu adalah diriku yang menjadi beban.Di kampung ini tidak ada orang yang kaya, semuanya hidup pas-pasan dari bertani dan berladang. Kalau pun ada yang kaya mereka meninggalkan rumah dan membuat kediaman lain yang lebih bagus di pinggi
Katanya Bibi Lusi adalah istri Paman. Tetapi, setiap kali Paman berangkat bekerja keluar kota Bibi Lusi selalu didatangi oleh pria. Jika hanya satu saja maka aku pasti berpikir kalau orang yang datang adalah kenalan Paman yang diminta untuk menjaga kami berdua. Tidak salah, sebab kami berdua adalah perempuan. Namun, orang yang datang selalu saja berbeda-beda. “Bi ....” Aku muncul tepat sebelum Bi Lusi menutup pintu depan. Aku akan dikunci lagi tampaknya. Aku ingin tahu, tetapi takut. Aku hanya menumpang di rumah ini. Bagaimana kalau Bi Lusi kemudian malah mengusirku kalau banyak tanya? Mau ke mana aku setelah ini? Aku jelas tak bisa kembali ke kampung. Tidak ada siapapun lagi di sana. “Kamu tunggu di rumah. Kunci pintu dari dalam, kalau ada orang yang panggil Bibi ... diam saja! Jangan disahuti!” tegas Bi Lusi padaku. Ini masih pesan yang sama seperti pesan-pesan sebelumnya. Aku mengangguk paham dan menerima kunci rumah yang diberikan oleh Bi Lusi. Seperti yang diperintahkan, aku m
Pemberitahuan yang bagaikan ledakan granat itu membuatku nyaris tidak bisa berpikir. Seolah mendukung ledakan tersebut, petir menyambar dengan sangat hebat dan kemudian hujan mulai turun dengan lebat. Aku nyaris tidak tidur semalam. “Yu!” Aku mengangkat kepala, tidak tahu apa yang dirasakan kini. “Ya, Bi!” “Sana mandi! Kita harus mulai sekarang. Orang-orang itu akan datang sekitar tengah hari. Dan aku harus pergi ke suatu tempat juga sebelum itu!” Bibinya menyusun kuas, kotak-kotak pipih berisi riasan, juga beberapa pakaian di dekat lemari meja rias dalam kamar sempit milik Bibi. “Apa Ayu boleh nggak pergi, Bi! Ayu akan lakukan pekerjaan rumah dengan lebih baik!” Kali ini aku merasa seperti tercekik. Gerakan tangan bibiku berhenti. Ia tidak berbalik, tetapi menatapku dari pantulan di cermin. “Apa mengurusi rumah ini bisa menghasilkan uang? Jangan bercanda! Kalau kamu nggak mau dijual ke orang sembarangan, maka cepat mandi sekarang!” Nada suara wanita yang biasanya ramah itu dingi