Pov. Dewi***Tak ada kesedihan yang abadi. Ibarat musim yang datang silih berganti. Pun dengan suasana hatiku. Aku pernah tertawa bahagia. Aku pun pernah sedih dan terluka begitu dalam. Namun seperti kata pujangga. Waktu adalah penyembuh luka yang terbaik. Dan aku merasakannya sendiri. Luka-luka yang pernah membuat hatiku patah dan hancur berkeping, kini perlahan sembuh dan pulih. Walaupun kepingannya tak lagi benar-benar utuh. Namun, aku sembuh dan jauh lebih kuat dari sebelumnya. "Makan yuk!" Hera menghampiriku sambil membawa buku catatan pengambilan karyawan yang kuminta tadi. Perutnya yang semakin membola indah membuatnya terlihat semakin susah berjalan. "Kamu masih kuat jalan kah? Aku kok liatnya susah ya." "Haha. Aku yang hamil biasa-biasa aja lho. Cuma kalau sesak kalau malam." "Apa nggak ambil cuti aja. Udah bulannya kan?" "Habis tutup buku aja biar kamu nggak bolak balik nelpon kalau aku cuti." "Kuat sekali anda." "Haru
Pov. Pras *** Banyak laki-laki yang selingkuh di luar sana. Beberapa rekanku yang tinggal berjauhan dari istri dan keluarganya melakukan itu. Walau hanya sekadar makan berdua atau jalan-jalan bersama. Namun di antara mereka semua akan kembali pada istri sah. Wanita-wanita kedua itu dianggap hanya sekadar selingan saja. Laki-laki begitu pandai menyembunyikan permainan di belakang istrinya. Mereka tak bodoh untuk memilih hidup bersama dengan wanita penggoda. Mereka tak biarkan rumah tangga mereka hancur hanya karna selingan. Namun tidak denganku. Di antara para lelaki itu, mungkin akulah yang paling bodoh. Ya akulah lelaki bodoh itu. "Buang berlian dapatnya batu kerikil!" Kalimat sindiran dari beberapa rekan wanita di tempat kerjaku memang benar pantas untukku. Aku bodoh. Aku naif dan aku lelaki yang sudah berdosa pada istri sahku. Khilafku ingin merasakan sensasi lain dari sentuhan yang Aini berikan, membawaku pada kehancuran rumah tangga yang kubangun dengan kobaran cinta
Mungkin juga ia tak terima saat kutalak, entah sah atau tidak. Yang jelas aku benar-benar sudah tak ingin bertemu Aini lagi.“Baiklah, Pak. Saya akan menyelesaikan utang-utang Aini. Dan saya juga siap dimutasi, Pak.”Lebih baik dimutasi, daripada harus bertahan di tempat kerja yang kurasa hampir semua karyawan disini mencibir ketololanku.Lelah batin dan rasa marah atas kebodohan dan kelalaianku membuatku menepi sebentar. Aku tak kembali ke meja kerjaku yang tiba-tiba kurasa tak nyaman untuk mendudukinya.Kulangkahkan kaki sore ini ke daerah tempat Dewi bekerja. Aku sungguh berharap bisa melihatnya.Bukannya aku tak memantau. Bahkan sejak perceraian kami, beberapak kali aku datang bertamu. Berusaha membujuk rayu. Namuk kesilapanku yang kemarin benar-benar membuat Dewi tak berikanku kesempatan kedua.Netraku kembali perih. Baru kusadari, ternyata perempuan itu hanya datang menawarkan buaian sebentar lalu pergi dan tertawa setelah melihat kehancuran rumah tanggaku.Berkali-kali aku mend
POV. Author*** Alam begitu adil dalam bekerja. Bagaimana menggantikan airmata dengan senyum indah, bagaimana membalas kepongahan dan kecurangan dengan kesakitan yang sama eloknya.Tak pernah salah tak pernah keliru.Tiap-tiap perbuatan yang dilihat ataupun tak terlihat, pasti akan ada balasannya. Baik itu tentang kebaikan ataupun tentang keburukan.Dan alam tak pernah salah memberi pada siapa karma itu diberi.Dewi pernah menangis di tiap malam-malamnya. Bahkan ia hampir membenci malam yang memberi keteduhan. Sebab saat itu luka dalam hatinya masih berdarah begitu derasnya. Meninggalkan nyeri atas pengkhianatan dari lelaki yang bergelar sebagai suami.Namun perlahan waktu menyembuhkan. Memulihkan luka-luka itu. Bahkan luka-luka itu mulai mengering dan perlahan menyiratkan tawa hangat dari bibir merah muda alami perempuan yang pernah menggenggam bara luka yang diberikan oleh suaminya.Rasa sakit yang pernah Dewi rasakan, perlahan sembuh. Sementara Pras dan Aini yang memberi luka itu,
Pov. Pras*** Badai pernikahan benar adanya. Bukan mengapa dan bagaimana. Tapi semua karna lenaku dan tak mampu membendung hawa nafsu yang menggoda.Benar Aini datang menawarkan gelas madu yang berisi racun. Namun akupun salah, bahkan yang paling salah adalah diriku sendiri. Sebab aku jelas menerima gelas madu yang belum kutahu pasti isinya, sementara di rumah ada gelas yang berisi madu manis yang sudah kucicipi lezatnya.Aku benar-benar terhempas jauh sebab kesalahanku sendiri. Dan pada akhirnya aku kehilangan segalanya. Setelah kukhianati Dewi dan pernikahan kami, bukan saja surat cerai yang kuterima tapi juga surat pemecatan ditambah dengan surat tagihan utang akibat perbuatan wanita keduaku.Dewi benar-benar pergi dan semakin sulit untuk kugapai. Sementara Aku dan Aini semakin tak mungkin pula untuk bersatu. Bahkan baru beberapa bulan saja setelah kutalak dia dengan kemarahanku, kulihat ia jalan bersama ipar dari mbak Widya.Doni. Kepala koperasi yang sudah lama berusaha menjadi
Pov. Aini. *** “Astagfirullah. Apa sebabnya kalian bisa bercerai?” Dewi, kawan lama sewaktu sekolah dulu bertanya heran padaku saat kusengaja berkunjung ke rumahnya di kota ini. Mungkin dia heran mengapa aku yang senang memposting foto mesraku bisa bercerai. Tentu kuceritakan tentang keburukan mantan suamiku saja tanpa menceritakan sikap jelekku. Walau benar Arfan dan keluarganya pernah menghinaku tapi itu karna ulahku sendiri yang tak patuh dan juga aku pernah sedikit nakal dengan kawannya Arfan. Jelas aku tak mau namaku menjadi rusak di mata Dewi. Walau kami bukan teman akrab, tapi di kota ini hanya dia yang menerima kehadiranku di rumahnya. "Yang sabar ya." Dewi coba menghiburku kala itu. Dalam pandanganku, kehidupan Dewi yang berkecukupan dengan pekerjaan yang lumayan bagus membuatku pun ingin merasakan hidup layak sepertinya. Pernikahanku bersama Arfan kurasa-rasa hanya membuatku hidup dalam kemiskinan. Laki-laki yang dulu membua
Lima tahun kemudian Pov. Dewi *** "Lebih baik aku dihajar sampai pingsan daripada aku didiamkan seperti ini oleh istriku." "Mana ada begitu?" aku hampir tertawa mendengar kepasrahan lelakiku ini. Kurasakan tangan besar itu memaksa memeluk tubuhku dari belakang. Wangi shampo yang menguar dari rambut cepaknya cukup menggelitik hidungku. Sekuat diri kutahankan nurani agar tak balas memeluk tubuh tinggi besar ini. Padahal aku tak marah. Hanya saja sedikit jengkel dengan pertemuan kami bersama kawan lamanya di pasar tadi. Kata-kata kawannya tadi seolah mengenang masa lalu mereka di salah satu tempat hiburan malam. Oh rupanya lelaki ini pernah terjebak dunia malam tapi tak jujur padaku. Tapi lelaki ini selalu tak biarkan aku untuk mendiaminya berlama-lama. Mas Satria. Setelah perjuangan panjangnya meyakinkan aku bila tak semua laki-laki sana, akhirnya kuterima pinangannya setahun yang lalu. Lima tahun ini bukan waktu yang singkat bagiku un
Pov. Pras *** Lima tahun aku mengasingkan diri. Membawa sesal cinta yang dulu kunodai. Aku ingat. Selalu ingat. Dewi tak pernah hilang dalam ingatanku. Dan aku tak ingin menghilangkannya. Sedikit pun tak pernah berusaha ku enyahkan. Sementara Aini yang pernah hadir membakar geloraku, kuanggap sudah menjadi arang yang menggores noda di kulitku. Benar kata mbak Widya, aku harus keluar dan bertemu orang-orang. Lalu pilihanku menjadi sopir taksi online tidak lah salah. Aku banyak bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru di kota yang baru. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat dimana aku menutup diri dari gemerlap dunia. Dalam artian hubungan dengan lawan jenis. Hidup dan mencari nafkah di ibu kota negara membuatku banyak bertemu dengan orang-orang dengan bermacam latar belakang profesi. Mulai dari pemuka agama, karyawan dan juga wanita penghibur. lima tahun hidup di tengah hiruk pikuk ibu kota, bukan tak ada wanita yang berusaha