“Baik, Mas.” Kubaca berita mengenai Mas Rama itu dengan seksama. Ternyata itu menceritakan kejadian dimana Mas Rama menolongku yang ditampar Rinaldi setelah pertunangan Kasih. Mas Rama memang hampir menghempaskan batu sebesar kepala ke wajah Rinaldi, tapi itu bukan niat membunah, hanya menggertak saja. Satu berita kupahami, berita lain muncul dan langsung kulibas pula. “Istri Panorama Angkasa Menghilang Tanpa Jejak, Membuat Ia Gila.” Berita yang sangat mengusik telingaku jika dibaca dari judulnya. Saat kubaca sampai selesai, ternyata apa yang diceritakan lebih menohok lagi dan membuatku geram. Berita itu menuduh Mas Rama sudah tak waras dan putus asa serta depresi sehingga muncul di acara TV lokal program Find Your Love. Serta mengadakan sayembara semu.“Rama Corporation Diprediksi Failed, Investor Kabur, Saham Anjlok.” Berita yang seperti dibuat-buat agar apa yang diceritakan benar-benar terjadi. Menciptakan perspektif pada publik dan pemegang saham untuk menghancurkan kepercayaan m
MATAHARI berpijar sempurna, memancarkan ultraviolet yang maksimal diserap oleh tumbuhan untuk fotosintesis. Daun-daun pohon di depan rumah menari-nari dimainkan angin. Bilamana sudah kuning ia akan menggugurkan diri secara jantan. Netraku yang menerawang ke taman itu menangkap Tara yang berjalan tertatih dituntun Rendra. “Maafkan saya karena tidak bisa menjaga Bu Tara dengan baik, Pak.” Rendra meminta maaf pada Mas Rama sekali lagi. Mas Rama hanya mengibaskan tangan pelan. Ia tahu Rendra adalah tipe perfeksionis yang tak mungkin lalai. Kalau ia bicara seperti itu berarti semua sudah diluar batas kemampuannya.“Udah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku Bu Tara. Bisa nggak?” Tara mengeluh lagi pada hal yang sama sejak tadi. Rendra masih menatap datar hingga mengangguk pelan. “Baik, Non Tara.”Tara langsung menjejakkan kaki ke lantai. “Nggak ngerti amat sih. Payah,” umpatnya. “Auuu, sakiiit.” Tara memegangi pergelangan kakinya.Rendra yang disindir Tara sama sekali tak mengubah
“Untuk media sosial, saya akan buat video klarifikasi. Tolong kirim ke semua akun berita,” terus Mas Rama. Setya mengerti dan cepat mencatatnya.“Untuk tim penyelidikan, harus lebih berhati-hati. Penyamaran harus lebih sempurna lagi. Saya mau informasinya langsung dikirim ke ponsel saya.” Pandang Mas Rama beralih ke salah satu lelaki yang berbadan kekar. “Cari istrinya Brian dan minta keterangan darinya. Cari pula siapa yang berkontak dengan Nenek Jum dan siapa yang membeli ramuan bius itu.”“Untuk Bu Meri, berhati-hati baik di rumah atau saat keluar belanja. Kalau bisa semua aktivitas ART lebih dikontrol lagi. Libur lebaran harus bergantian, jangan sampai ada hari dimana rumah kosong. Ini berlaku juga untuk para penjaga. Libur bergantian.”“Siap, Pak Rama,” jawab beberapa orang hampir serentak.“Terakhir, Dennis, saya minta hubungi beberapa mekanik untuk mobil, harus check sebelum dipakai. Saya tidak mau ada yang menyabotase. Jangan sampai ada rem blong atau apalah seperti di sinetro
MAS RAMA terpaksa melepas sebagian besar saham Rama Corporation dengan harga jatuh. Pak De Andre kembali mendesak saat malam takbir berkumandang dari segala penjuru. Tak disangka, esok saat hari kemenangan idul fitri, Mas Rama harus rela merasakan kehilangan. Meskipun begitu, Bunda Syandi terus menguatkan anaknya itu kalau harta ialah sepenuhnya hak prerogatif Tuhan.Pagi yang cerah membuat orang-orang begitu antusias untuk melaksanakan shalat idul fitri di masjid perumahan. Kami shalat di rumah karena alasan keamanan.Setelah shalat, aku dan Mas Rama mengunjungi rumah Bapak di kampung, dikawal beberapa lelaki. Kami selanjutnya mengunjungi Ibu pula di rumahnya, bertemu dengan Kasih, Rindu dan Mas Bagus.***Siangnya,Sebenarnya Mas Rama tidak mau menerima tamu di rumah lebaran kali ini. Namun Bunda Syandi tetap meminta untuk mengizinkan tamu datang. Pastinya yang datang paling awal adalah ibu-ibu perumahan sebelah. Mereka selalu seperti rebutan untuk datang lebih dulu, karena biasany
“Intip, intip.” Ijah bergegas mengejakku mengintip dari dinding pembatas antara ruang makan dan ruang tamu. Suasana rumah masih terdengar riuh dengan banyak orang yang sedang membicarakan banyak hal. Mas Rama yang tadi memberikan sambutan sudah duduk bergabung bersama bapak-bapak di ujung ruang tamu sana. Bunda dengan beberapa tetangga. Sementara di dekat dapur sini adalah para warga komplek sebelah yang berharap amplop itu.“Satu,” Ijah menghitung. “Dua, dan … tiga.”“Huaaaaaaa!” teriak seorang wanita yang bertubuh agak gemuk itu sambil langsung berdiri, menjejak-jejakkan kaki ke lantai, tangannya mengibas-ngibas di depan mulut. Keningnya mengernyit, matanya menyipit. “Aaasiiiiiiin!” lanjutnya sambil setengah melompat-lompat. “Buuuaaah!” wanita muda di sampingnya juga menyemburkan lontong sapi kare itu ke depan seorang ibu di depannya, tepat pula mengenai bajunya, membuat baju ibu itu basah sebagian. “Asiiin bangeet.”Sementara aku dan Ijah Munica terpingkal-pingkal dari balik dindi
"ADA apa, Pak?" Rendra buru-buru mendekat karena mendengar suara kaca pecah, agak terlambat menyaksikan drama yang terjadi barusan."Ada apa, Den Rama, Nyonya?" Bu Meri dan ART lainnya pun ikut berkumpul di ruang tamu itu. Salah satu ART bernama Niska cekatan melihat kaca berhamburan di depan pintu, bergegas mengambil sapu dan membersikannya. Ijah dan yang lain segera membantu.Bunda Syandi lekas mendekati Tara dan mengelus lengannya. Tara yang barusan melempar vas bunga kaca itu napasnya cepat. Masih menatap kosong ke arah pintu sama halnya dengan Mas Rama."Ra, kamu nggak seharusnya melakukan itu. Jangan sembarang main lempar kalau emosi. Terlihat nggak berpendidikan, apalagi kamu lulusan Leeds. Belum lagi kamu menyandang jabatan direktur," pungkas Bunda menasihati Tara."Tapi Pak De sudah keterlaluan, Bun. Itu sama saja mencuri perusahaan kita. Aku dengar semua yang dikatakan Pak De. Aku paham maksud Mas Rama. Semua kejadian akhir-akhir ini adalah settingan demi meloloskan tujuanny
Mata Mas Rama tiba-tiba menatapku, namun ekspresiku malah datar agak manyun. Aku beranjak dan duduk di kursi di depan meja rias. Pandanganku kulempar pada bayangan diriku sendiri di dalam cermin.“Maksud kamu apa, Lov?” tanya Mas Rama sama-sekali tak menyadari kesalahannya.“Bisa keluar sebentar, Mas?” pintaku datar. “Sebentar aja.”“Oke, tapi sebentar aja ya.” Mas Rama turun dari kasur dan beranjak menuju pintu keluar kamar. Aku mengambil bantal dan mengikuti di belakangnya. Setelah ia berada tepat di depan pintu dan sudah di luar kamar, kulemparkan bantal itu dan mengenai punggungnya. “Itu, Mas,” seruku.Mas Rama menoleh dengan tatapan heran. Namun aku segera berujar, “Kamu malam ini tidur di luar!” Lalu kututup pintu dan kukunci dari dalam. Dan kini terserah Mas Rama mau melakukan apa.***Mentari sore itu akhirnya digusur paksa oleh malam. Awan di atas sana menutupi bintang-bintang. Bulan pun bersembunyi. Hanya cahaya lampu jalanan yang masih setia berpijar.Tok tok. Mas Rama me
AWAN semakin pekat di atas sana hingga cahaya bulan tak tembus dan bintang-bintang pun semakin hilang. Semilir angin lembut berhembus hingga dinginnya membelai kulit."Kenapa tadi nggak teriak, Lov?” tanya Mas Rama ketika kami sudah berada di teras belakang rumah. Mas Rama menyesalkan mengapa saat bertemu Brian tadi aku tak memberi tahu sama sekali.Bukan apa-apa, entah mengapa aku memiliki firasat seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria paruh baya itu. Naluriku berkata, Brian takkan menyakitiku. Karena itulah aku tiba-tiba berani mendekati pohon itu, pohon mangga di sebelah sana.“Aku juga nggak tahu, Mas. Apa yang merasukiku sehingga bisa berani mendekati Brian. Namun aku merasakan sesuatu yang berbeda, Mas. Brian seperti ingin memberi tahu akan suatu hal, entah apa itu. Dan buktinya, dia nggak ngapa-ngapain aku, ‘kan?” Aku mengangkat bahu.“Maksud kamu gimana, Lov?”“Aku seperti bisa merasakan kalau Bryan ingin menyampaikan sesuatu dan pesan itu ada di kalung yang dia berikan.