Share

AKU TAK BUTUH NAFKAH 100 JUTA
AKU TAK BUTUH NAFKAH 100 JUTA
Author: Anik Safitri

1

Ting...

Notifikasi dari aplikasi M-Banking.

Dan tak berselang lama, handphoneku seperti biasa berbunyi.

[Manda sayang, sudah aku transfer 100 Juta ya. Semoga kamu senang. Love you]

Pesan dari suamiku. Selalu begitu. Dan tidak pernah berubah di tanggal gajian seperti ini.

Aku hanya menghela nafas pelan. Tak ada sedikitpun niat untuk membalas pesannya tersebut. Pun tak ada rasa riang dalam diriku. Aku sudah kenyang akan kemewahan. Bahkan sedari kecil.

Ya Mas Agam-suamiku bekerja di sebuah kapal pesiar dengan gaji yang cukup fantastis, belum lagi usaha rumah makan keluarga besarnya yang merajai beberapa kota besar di Nusantara .

Pernah suatu ketika, aku meminta Mas Agam untuk berhenti bekerja di pelayaran, toh dia bisa bekerja di usaha keluarga besarnya. Namun ia menolak, dengan alasan dia masih muda, ingin cari uang dan pengalaman sebanyak-banyaknya.

Bagaimana aku tidak berusaha untuk menahannya agar tetap disisiku saja, jika selama lima tahun pernikahan kami belum juga dikaruniai buah hati.

Aku bahkan pernah memeriksakan kesuburan di dokter kandungan. Semua hasilnya bagus. Ya hanya saja memang pertemuanku dengan Mas Agam terbilang cukup jarang. Bahkan bisa saat bertemu pun, Mas Agam tidak menyentuhku. Lelah katanya.

Mengenai rengekanku tentang buah hati, tentang omongan orang lain. Mas Agam selalu santai menanggapinya

"Tujuanku menikah denganmu, bukan semata hanya karena anak, Manda. Anak itu sebuah rezeki. Dan rezeki itu juga rahasia. Jadi kamu tidak perlu risau, karena semua sudah ada yang mengatur,"

Begitulah Mas Adam selalu mengelak.

Hingga lamunanku terbuyar ketika ART yang sering aku panggil dengan Mbok Siti mengetuk pintu.

Aku membukanya dengan malas.

"Ada apa Mbok?"

"Ada kiriman dari Bu Melisa, Nyonya," ujar Mbok Siti dengan sopan.

Ya Bu Melisa adalah mama mertuaku. Sudah pasti dia mengirimkan aneka makanan enak. Tak jarang beliau juga mengirimkan barang-barang branded.

Layaknya orang kaya, mama mertua memang super sibuk, jadi beliau hanya bisa mengirim tanpa mengantar langsung.

Rumah megah, kendaraan mewah, suami loyal, mertua baik. Lantas apakah aku bahagia?

Jawabannya adalah tidak. Ah lebih tepatnya belum. Karena aku juga pasti berharap  bisa bahagia nantinya. Entah kapan.

Hidup dengan kemewahan, aku memang sudah merasakan sedari kecil. Papaku mempunyai sebuah perusahaan, meskipun kekayaan keluarga tidak bisa menandingi kekayaan keluarga Mas Agam, namun nyatanya keluargaku cukup terpandang di kalangan para pebisnis.

Berita tentang pernikahanku dan Mas Agam dulu pun disambut dengan sukacita oleh keluargaku dan juga keluarga Mas Agam tentunya.

"Nyonya, ada tamu di depan," panggil Mbok Siti lagi.

Aku bangkit berdiri. Hitung-hitung untuk memisahkan pantatku dari sofa yang begitu lama. Panas juga di kulit.

Di depan, sudah ada wanita yang sedikit kusam sembari menggendong anak kecil. Tampak sesekali dia mengusap air matanya.

"Erna," panggilku.

Benar. Wanita itu menoleh. Dan air matanya ternyata masih menganak sungai.

"Manda," pekiknya dengan raut sedih.

"Ayo masuk dulu. Kasihan anakmu," ucapku mempersilahkan. Ya memang anaknya sedang tertidur, namun aku merasa begitu kasihan melihatnya, kulitnya pun sama kusamnya dengan sang ibu. Mungkin karena akibat terik matahari. Juga pakaiannya yang kataku tidak layak.

Dan justru Erna memilih duduk di bawah, di lantai.

"Hei, kenapa kamu justru duduk di bawah? Duduklah di atas," perintahku.

"Aku tidak pantas Nda," jawabnya lirih.

Aku menggeleng dengan cepat.

"Kamu adalah tamu. Dan selayaknya tamu, duduk di ruang tamu. Sudah santai saja. Jadi bagaimana? Ada apa?"

Erna tertunduk.

"Aku malu Nda sebenarnya untuk kesini. Aku ingin meminjam uang untuk membeli susu anakku. Asi ku kering Nda. Kami jarang makan. Semenjak suamiku kecelakaan, ia tidak bisa mencarikan nafkah lagi. Dan terpaksa aku yang harus banting tulang. Kebetulan jualanku sedang sepi Nda," ujarnya.

Ya dulu Erna memang sering mencemoohku. Entah karena apa. Dulu dia memang sebenci itu. Dan usaha keluarganya mengalami kebangkrutan, hingga Erna memutuskan menikah dengan kuli bangunan.

"Kamu tunggu sebentar ya," 

Erna mengangguk.

Aku menuju kamar. Mengambil beberapa lembar uang. Sekaligus makanan kiriman dari mama mertua. Aku membukanya untuk aku beri kepada Erna saja. Aku juga sudah bosan dengan makanan seperti itu

Namun ada yang mengganjal di penglihatanku. Tentang sebuah kantong plastik berwarna biru dengan gambar bayi. Cukup tipis, bisa jadi memang terselip.

Namun jangan salah, ada sebuah tulisan di depannya.

'Untuk Agam Junior'

Mataku terbelalak. Maksudnya apa ini? Apa mama mertua memang sengaja menyindirku? Atau lebih dari ini.

Baiklah kalau mereka memang pintar bermain, tetapi aku juga pintar menyelidiki. Spek Intel kok dilawan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status