“Tania ...,” bisikku lirih sambil meremas kasar rambutku.Kemesraan kami beberapa hari terakhir harus kembali terenggut karena kebodohanku, hanya kerena perasaan ibaku pada Nasya. Kurasa sangat wajar jika Tania kecewa. Ia melihat sendiri kejadian di mana Khanza memelukku sementara aku membiarkannya. Khanza bahkan masih terus bertanya siapa yang memeluk ayahnya kemarin.Hingga waktunya makan malam, Tania menolak keluar dari kamar. Ibu dan Khanza pun terlihat bolak-balik masuk ke kamar untuk menemani Tania. Ibu pun tak banyak bicara padaku, sepertinya wanita yang telah melahirkanku ke dunia itu masih marah padaku. Ya, aku memang sangat pantas menerima ini. ketidaktegasanku pada Nasya membuat semua kepercayaan Tania kini kembali terkoyak. Aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku. Ragaku di sini, di kamarku, di atas tempat tidurku, namun pikiranku ada di kamar sebelah. Apakah Tania-ku bisa tidur dengan nyenyak? Apa ia masih merasa sakit? Pikiran-pikiranku membuatku keluar dari kamar da
Kondisi hubunganku dengan Tania yang kembali dingin membuatku uring-uringan di kantor. Beberapa bawahanku bahkan telah menjadi sasaran kemarahan serta kekesalanku. Namun yang aneh, beberapa hari terakhir aku tak melihat Nasya, ia juga tak ada di lokasi bersama tim nya. Indah juga tak luput dari amarahku saat dia melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Suasana hatiku benar-benar tak karuan akibat diamnya Tania padaku. Beberapa kali kudengar ia meminta izin pada ibu untuk kembali ke rumah orang tuanya tapi ibuku juga bersikeras ingin keluar dari rumah jika Tania dan Khanza pergi.“Apa jadwalku selanjutnya?” tanyaku datar pada Indah. Ia yang tengah tak berkonsentrasi terkejut mendengar suaraku.“Eh ... iya, Pak. Setelah ini Pak Fahry ada undangan makan siang di Hotel A*ton untuk acara peresmian gedung tambahan.”“Baiklah. Apa ini?” tanyaku saat melihat sebuah kotak yang ada di atas mejanya.“Oh, ini semua barang-barang Mbak Nasya yang di bereskan Bu Tania beberapa hari yang lalu ketika mena
Aku menggeliat, tubuhku terasa pegal. Rupanya aku tengah tertidur dalam posisi duduk, pantas saja leherku terasa kaku. Tunggu. Kenapa aku bisa tertidur sambil duduk di kursi? Di mana ini? Aku berusaha mengembalikan ingatanku dengan mengedarkan pandangan. Astaghfirullah! Bukankah ini apartemen Nasya? Kenapa aku bisa tertidur di sini? Aku harus segera pergi dari sini! Di mana Nasya?Aku semakin terkejut ketika melirik jam tanganku. Pukul 1 dini hari? Otakku seolah kusut mencerna semuanya. Apa aku telah terlelap selama itu? Bukankah kemarin aku hanya berniat mampir sebentar setelah pulang kerja. Aku berusaha berdiri tegak meski kepalaku terasa pening dan leherku pegal. Namun sebelum benar-benar keluar dari apartemen Nasya, nertaku menangkap sesuatu di atas meja. Segelas air putih? Ya, aku ingat aku Nasya kemarin menawariku minum dan setelah itu aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Sialan! Apa Nasya yang membuatku ketiduran? Tapi kenapa ia membiarkanku ketiduran di sofa di mana pertama kali
Aku mengendarai mobilku dengan kesetanan menuju ke rumah orang tua Tania. Tak peduli lagi jika nanti aku kecelakaan. Toh duniaku sudah hancur setelah mendengar penjelasan ibuku tadi. Rupanya Nasya semalam mengirimi Tania pesan agar tak menungguku pulang ke rumah karena aku sedang tertidur lelap di apartemennya, kemudian mengirim foto ketika aku terlelap di sofanya. Memang hanya foto biasa yang menunjukkan aku sedang tertidur lelap, juga tak ada Nasya di dalam foto itu. Tapi seorang suami menginap di apartemen wanita lain, bukankah itu sudah cukup untuk membuat Tania meradang? Menurut ibu, Tania sendiri baru membuka pesan dari Nasya pagi tadi. Awalnya Tania hanya menananyakan pada Ibuku aku pulang jam berapa semalam? Maka ketika ibuku menjawab dengan jujur, Tania memperlihatkan isi pesan Nasya pada ibuku.Hingga akhirnya pada saat aku masih terlelap di kamarku, Tania meminta izin pada ibu untuk kembali ke rumah orang tuanya. Lalu kemudian meminta ayahnya untuk menjemputnya.“Tania suda
“Kamu kenapa, In? Apa yang Mas Fahry lakukan?”Tiba-tiba saja Nasya sudah muncul di depan pintu sebelum Indah keluar. Aku menyeringai. Bagus! Aku akan memberi pelajaran pada wanita jahanam ini! Segera kutarik kembali tubuh Indah hingga terhempas di lantai. Lalu kuhampiri Nasya yang terpekik ketika aku menghempaskan kasar tubuh Indah.“Lepaskan, Mas! Kamu sudah gila?”Kurasa Nasya pun tak kalah ketakutannya saat ini.“Ya! Aku sudah gila! Kalian yang membuatku seperti ini!”Tanpa ampun aku menampar pipi Nasya, seperti yang tadi kulakukan pada Indah.“Kamu sengaja menjebakku semalam kan? Dasar perempuan j*lang! Kamu mau aku dan Tania pisah kan? Sudah puas kamu sekarang menghancurkanku, hah!”Nasya menjerit saat aku tanpa ampun menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tamparanku.“Kamu menginginkanku, kan? Sekarang aku akan kembali padamu, tapi dengan wujud yang berbeda! Ini kan yang kamu mau?”Aku mencium bibirnya dengan kasar hingga ia nyaris kehabisan napas.“L-lepaskan aku! Kamu gila, M
Menurut Gibran, hari ini Mas Fahry sudah boleh pulang ke rumah setelah beberapa hari kemarin sempat membuat kami semua syok mendengar kabar penahanannya di kepolisian. Aku dan ibu sendiri memilih tak pernah menengoknya ke sana, mungkin apa yang ada dalam pikiranku juga sama dengan yang ada dalam pikiran ibu. Kami sama-sama tak sanggup sekaligus tak tega melihat orang yang kami cintai berada di tempat seperti ituSatu hal yang membuatku semakin syok adalah kabar bahwa Mas Fahry ditahan akibat menganiaya Nasya dan Indah, sekretarisnya. Dalam keadaan syok, aku langsung meminta Nilam mengantarku dan Khanza pulang ke rumah ibu mertuaku. Keadaan ibu yang sendirian di rumah membuatku khawatir hingga akhirnya memutuskan untuk kembali. Kuabaikan semua masalahku dengan Mas Fahry yang masih menggantung tanpa penyelesaian.Suara mobil Gibran membuyarkan lamunanku. Terus terang saja aku merasa gugup akan bertemu Mas Fahry setelah beberapa hari ia ditahan di kantor kepolisian. Namun aku dan ibu ha
“Khanza cari ayah, Bun. Ayah mana?”“Ayah belum pulang, Nak. Ayah masih ada pekerjaan penting.” Aku memberi alasan.Gadis kecil itu menoleh padaku dengan tatapan berkaca-kaca.“Bunda bohong! Katanya ayah pulang hari ini? Katanya pekerjaan ayah sudah selesai.”Ya, pada Khanza aku memang mengatakan jika ayahnya sedang bekerja di luar kota. Tak mungkin kukatakan padanya jika ayahnya beberapa hari belakangan sedang ditahan karena perbuatannya.Aku kebingungan membujuk Khanza. Beruntung ibu turun tangan membujuk Khanza ketika melihat cucu satu-satunya itu merajuk.“Gimana keadaan Mas Fahry, Gib?” tanyaku setelah ibu mengajak Khanza keluar rumah.Gibran terkekeh.“Kalian benar-benar sehati, Mbak. Kemarin pertanyaan pertama Fahry persis seperti pertanyaan Mbak Tania ini.”“Gimana keadaan Tania, Gib?”Gibran menirukan suara Mas Fahry. Aku hanya diam dan menatapnya.“Kenapa kalian saling menyakiti seperti ini sih, Mbak? Fahry baik-baik saja. Dia hanya ditahan 5 hari, Mbak. Tak ada yang berubah
Parkiran rumah garden pun terlihat sepi, tak ada mobil Mas Fahry parkir di sana. Apa mungkin dia memang sedang tak ada di rumah? Khanza yang masih terlihat lemah dan suhu tubuhnya masih demam terus menerus kudekap di depan rumah garden.“Kita pulang saja, ya, Nak.” Kubujuk gadis kecilku, tapi ia menggeleng dengan wajah sendunya.“Khanza mau ketemu ayah.”Ya Allah! Bagaimana ini? Baru saja aku menurunkan tubuh Nasya dari gendonganku dan hendak mencari ponselku untuk menghubungi Mas Fahry, ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Tak lama kemudian sosok yang kucari itu turun dari mobil yang sepertinya adalah transportasi online.“Ayah!” Khanza langsung berseru kegirangan ketika melihat ayahnya.Mas Fahry menoleh dan segera membuka pagar lalu berlari kecil menyambut Khanza. Beberapa saat aku terpaku menahan haru melihat keduanya berpelukan. Gadis kecilku terlihat berkali-kali menciumi wajah ayahnya, begitu pun dengan Mas Fahry yang terlihat begitu merindukan Khanza. Ia mendekap