“Ayah enggak kemana-mana, Sayang,” ucap Mas Fahry setelah Khanza protes padanya.Aku menatapnya penuh tanya, suara perawat yang terdengar olehku tadi membuat hatiku kembali dipenuhi tanya. Namun Mas Fahry masih seperti tadi, seolah tak memperdulikan kehadiranku. Aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi, kurasa Mas Fahry baru saja dari ruang perawatan Nasya yang letaknya beberapa blok dari ruangan ini. Dia bahkan rela berjalan ke sana sambil menyeret sendiri tiang infusnya.Kubiarkan Mas Fahry kembali bersenda gurau dengan Khanza. Beberapa kali kudengar tawa riang mereka berdua. Tak ada yang berubah dari caranya memperlakukan Khanza, tapi tatapannya selalu berubah datar saat menatapku. Jangankan keisengan dan kemesraan seperti yang dulu sering ditunjukkannya, senyumnya pun kini seolah menghilang jika kami tak sengaja saling bertatap mata.Akhirnya aku memilih mengobrol dengan Nilam. Letak sofa yang berada di ujung, serta suara teve yang sedang menyiarkan film kartun membuatku dan
Malam harinya, kuberanikan diriku kembali mendekat saat kulihat Mas Fahry dan Khanza sudah tertidur. Aku kembali menyeret kursiku mendekati ranjang mereka. Juga kembali megusap alis tebalnya serta rahang kokohnya seperti tadi. Kali ini Mas Fahry membuka matanya saat merasakan kehadiranku dan usapanku di wajahnya.“Mas belum tidur?” tanyaku lembut, meski jantungku berdegup kencang.“Hmmm. Apa yang kamu lakukan, Tania.” Ia berusaha menepis tanganku.“Aku kangen, Mas.”Ia memejamkan mata, aku menangkap sudut bibirnya bergetar.“Mas, kita harus bicara! Apa Tania ada salah? Mas Fahry masih marah karena aku dan Khanza meninggalkan rumah? Kami berdua sudah kembali, Mas. Tapi Mas Fahry justru memilih tak pulang ke rumah? Mas enggak kangen ibu?”Ia tak menjawab, matanya masih terpejam dan bibirnya semakin bergetar.“Aku wanita, Mas. Aku tau ada yang sedang Mas Fahry sembunyikan. Jujurlah padaku agar aku juga bisa mengambil keputusan.”Aku menghela napas sejenak. Aku harus menguatkan hatiku unt
“Jawab aku, Mas. Apa Mas Fahry ada hubungannya dengan bayi yang dikandung Nasya.”Mas Fahry hanya menatap kosong padaku, aku menangkap raut kekecewaan yang mendalam dari tatapan matanya.“Sudah sebegitu parahnya kah kepercayaanmu padaku, Tania? Aku sudah jujur padamu bahwa aku tak melakukan hal sejauh itu dengannya, meski banyak sekali kesempatan dan jebakan Nasya selama ini. Satu-satunya kesalahanku adalah apa yang dulu pernah direkam Nasya sebelum kita menikah.”“Lalu untuk apa Mas Fahry menemuinya dan sangat peduli padanya.”“Meski aku tau ini semua akan kembali melukaimu, tapi aku akan tetap menemuinya, Tania. Dia seperti itu karenaku, karena kekerasan fisik yang kulakukan padanya. Jika saja dia mengatakan lebih awal padaku bahwa ia sedang hamil, aku tak akan mungkin melukainya sampai separah itu. Saat itu aku benar-benar gelap mata. Nasya dan Indah ternyata bekerja sama di belakangku, menjebakku dan membuatmu akhirnya selalu menemukan hal-hal yang membuatmu meragukanku.”Aku terd
“Kamu tega, Mas. Kenapa harus aku yang menanggung semua tindakan nekat Nasya selama ini? Kenapa rumah tangga kita yang harus dikorbankan?”“Mengertilah, Tania. Aku takut Nasya akan semakin menyakitimu, apalagi jika ia sampai kehilangan bayinya. Dan sekarang, jika ia tak kehilangan bayinya pun, aku yakin ia tetap akan melibatkanku dalam masalah ini, jika suaminya benar-benar mandul. Ia punya semua bukti yang bisa memberatkanku, meski aku tak pernah melakukan itu padanya. Maka aku akan lebih memilih melepasmu, tapi tak juga bersamanya, agar kita tak lagi saling menyakiti.”“Lalu kamu akan menanggung perbuatan yang tidak kamu lalukan, Mas? Apa kamu tau Nasya selama ini sudah berhubungan dengan lelaki yang mana saja? Kurasa aku tau siapa yang menghamilinya.”Mas Fahry menatapku tak mengerti. Aku kemudian menceritakan isi buku agenda Nasya padanya, mengenai kedekatannya dengan Mr. Adam salah satu petinggi di perusahaan tempat mereka bekerja.“Mas, sebelum aku benar-benar memutuskan langkah
“Apa maksudmu, Tania?”Mas Fahry kembali mengulang pertanyaannya. Rupanya ia masih penasaran saat aku mengatakan ingin melihat video itu.“Jika itu yang kamu takutkan, percaya padaku, Nasya tak akan berani menyebar aibnya sendiri.”“Kamu belum kenal Nasya, Tan. Aku yakin dia akan nekat menyebar video itu.”“Video apa yang kalian maksud?” Tiba-tiba suara ibu mengagetkanku dan Mas Fahry.“Ibu!!” pekikku dan Mas Fahry bersamaan.“Ibu ngapain kemari pagi-pagi buta gini?” Aku segera menghampiri ibu mertuaku.“Ibu kangen cucu ibu, Nak. Apa Khanza baik-baik saja?”Ibu sama sekali tak menyapa Mas Fahry, sementara Mas Fahry hanya menatap sendu pada wanita renta yang telah melahirkannya itu.“Khanza masih tidur, Bu.”“Lalu video apa yang sedang kalian bahas tadi?”Aku dan Mas Fahry saling menatap, lelaki itu memberikan kode padaku dengan mengedipkan matanya.“Bukan apa-apa, Bu,” jawabku.Tiba-tiba aku teringat pesan yang dikirim Nasya tadi. Dia sedang menantikan Mas Fahry kembali mengunjunginya
Aku menuntun Mas Fahry untuk duduk di sofa, agak jauh dari letak ranjang pasien. Lalu aku menarik kursi kecil dan duduk di samping ranjang pasien.“Kurasa kamu sudah pulih, Sya. Bekas-bekas penganiayaan Mas Fahry kemarin sudah tak ada, wajahmu sudah kembali mulus sama seperti sebelumnya.”“Apa maumu?”“Bagaimana kondisi bayimu? Apa kamu sudah memberitahu pada ayah bayi itu akan keberadaannya? Atau mungkin kamu masih sedang memikirkan siapa yang akan kamu tunjuk menjadi ayah bayi itu? Apa pun yang ada di dalam pikiranmu, aku hanya ingin mengingatkan jangan sekali-sekali menuding suamiku sebagai laki-laki yang menitipkan benih padamu.”Nasya terlihat salah tingkah.“Ah, jangan-jangan dugaanku benar. Kamu sudah merencanakan akan menuding Mas Fahry sebagai pemilik janin itu?”“Apa maksudmu? Aku ... aku wanita bersuami. Untuk apa aku menuding orang lain?”Ada nada ragu dari caranya berbicara.“Wah, terima kasih kalau begitu. Aku hanya khawatir kamu akan menjebak suamiku lagi atas keberadaa
Kata-kata Mas Lukman tadi benar-benar menggangu pikiranku. Bagaiamana mungkin dengan sadis ia mengatakan akan membunuh bayi Nasya hanya karena itu bukan anaknya?Ucapannya pada Mas Fahry sebelum berlalu tadi pun membuatku tak nyaman.“Tenang saja, Nasya tak akan menuntut apa-apa darimu, apalagi untuk menuntut tanggung jawabmu. Aku hanya akan menggunakanmu sebagai alat untuk memenangkan semuanya dari perempuan murahan itu.”“Oiya, aku tak menyangka kamu bisa menganiayanya seperti itu. Kasihan sekali istriku mencintai lelaki sepertimu, yang ternyata juga hanya memanfaatkan tubuhnya. Ataukah mungkin kamu sudah sadar jiwa perempuan itu hanyalah sampah?”Begitu rentetan kalimat Lukman pada Mas fahry tadi, yang tak dihiraukan oleh Mas Fahry karena aku memberi kode padanya agar tak meladeni pria itu.Aku benar-benar bergidik ngeri membayangkan bagaimana nanti pria itu akan memperlakukan Nasya yang sekarang bahkan masih dirawat di rumah sakit. Beruntung ia mengatakakan tak akan menyakiti Nila
“Namun, akhirnya saat kamu dan Khanza pergi meninggalkanku bahkan mengatakan ingin mengajukan perceraian. Aku baru menyadari jika tangisan dan air matamu jauh lebih berarti dari tangisannya. Maka aku yang sudah putus asa melampiaskan emosiku pada Nasya dan juga Indah. Aku baru berhenti ketika Nasya memohon dan mengatakan jika ia sedang hamil. Ternyata bukan Nasya, tapi kamulah yang menjadi kelemahanku, Tania. Aku sungguh gelap mata saat membayangkan kamu akan mengajukan gugatan cerai. Aku sanggup kehilangan jabatan dan karirku, aku tak lagi peduli akan itu semua. Tapi aku tak sanggup membayangkan jika harus kehilanganmu dan Khanza.”Ia berhenti, menatapku dan kembali mengusap pipiku.“Kemarin setelah keluar dari tahanan, aku akhirnya berpikir jika hidupmu akan lebih aman dan lebih baik tanpaku. Meski aku sendiri masih belum tau bagaimana hidupku tanpamu, tanpa Khanza. Aku berpikir jika rasa sakit yang kuberikan padamu tak akan terhenti sampai di sini. Urusanku dengan Nasya masih akan