“Bik, aku pergi dulu, ya.” Aku menghampiri Bibi di dapur.“Tapi, Bu! Nyonya besar sudah berpesan kalo Bu Nita enggak boleh pergi ke mana-mana,” cegah Bik Sumi.“Tenang aja, Bik. Aku Cuma mau nengokin adik di rumah. Mas Rafi sama Ibu udah ngizinin tadi. Lagi pula mereka enggak akan pulang kalo acara Mbak Silvi belum selesai.Aku bergegas meninggalkan rumah Mas Rafi. Untung saja ojek online yang barusan aku pesan sudah tiba di depan gerbang. Tanpa menunggu lama, aku sudah dalam perjalanan menuju rumah yang sudah lama aku tinggalkan.Menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku sampai di rumah masa kecilku. Aku memandang halaman yang luas yang di penuhi rumput. Miko yang barusan ku jemput dari sekolah langsung antusias begitu aku mengajaknya.Bak rumah tak berpenghuni, rumahku kini terasa dingin dan sepi. Walaupun Ari tinggal di sini tapi ia tak selalu rajin dalam membersihkan rumah. Hal itu terlihat dari kotornya teras dengan beberapa gelas bekas kopi yang tergeletak di meja teras.
"Oh, jadi ini kelakuan kamu di belakangku." Mas Rafi terus mendekat. Pandangannya tak lepas dari tanganku yang masih di genggam Rendi.Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangan Rendi, tapi nihil, ia malah mengangkat tangan kami seolah pamer pada Mas Rafi."Pantas saja selama ini kamu tak pernah marah saat aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Silvi. Jadi kamu bermain di belakangku.""Bu-bukan begitu, Mas.""Banyak alasan! Kalo kebetulan ketemu itu di jalan, kalo di rumah itu namanya janjian," cibir Mas Rafi."Ya, bisa di bilang seperti itu. Kami memang janjian bertemu di sini. Lagian kamu kan akhir-akhir ini sibuk ngurusin pestamu, jadi Nita pasti kesepian dong," ucap Rendi."Dasar manusia-manusia tak tahu diri!""Jangan sok suci, bukannya kamu yang lebih tak tahu diri. Apa sebutan yang pantas untuk lelaki yang berusaha merebut kembali anak yang tak di akuinya, selain pengecut.""Kamu enggak usah ikut campur! Masalah Miko adalah urusanku dan Nita.""Kamu tahu siapa yang menem
“Maksudmu apa menghubungi Rania? Apa kamu mau bilang kalo aku terus-terusan ngejar kamu? Asal kamu tahu, dia sudah tahu semua.” Rendi langsung berbicara sesaat setelah aku duduk di hadapannya.Setelah peristiwa semalam, aku memang mengajak Rendi bertemu. Saat ini kami berada di sebuah cafe yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Ternyata asa banyak perubahan di lingkungan rumahku semenjak aku tinggal di ruko, salah satunya di bukanya sebuah cafe yang katanya baru buka dua bulan ini.“Apa kamu gila? Kamu udah sangat menyakiti Rania. Dia istri kamu.” “Istri di atas kertas lebih tepatnya. Aku tak pernah mencintai wanita Bodoh seperti Rania.”“Bodoh katamu?”Aku yakin Rendi sekarang sudah benar-benar tak waras. Bukankah dia yang telah membuat Rania seperti orang bodoh, yang terpaksa ia nikahi karena kesalahan masa lalu mereka.“Ya, Rania itu bodoh. Mana ada wanita yang mau terus bertahan saat suaminya jelas-jelas tak pernah mencintainya.” “Dia hanya meminta pertanggung jawaban atas a
“Ma-maaf? Maaf kenapa, Bu?” Aku menuntun Ibu agar duduk di kursi ruang tamu.“Kenapa kamu pulang ke sini? Kamu pasti tak nyaman di rumah Ibu dan memutuskan kabur.”“Bukan, Bu. Aku ke sini cuma kangen rumah lama aja.”Sebenarnya apa yang telah terjadi pada Ibu, mengapa ia tiba-tiba berubah? Walaupun Ibu tak pernah jahat terhadapku, tapi ia juga tak pernah memperlakukanku selembut ini.“Apa kamu akan pulang ke rumah Ibu?” “Belum tahu, Bu. Apa Mas Rafi tidak bilang sesuatu dengan Ibu?” “Ya, Rafi bicara banyak hal kemarin.”Ibu kembali terdiam, kali ini pandangannya terlihat kosong.“Ibu boleh menuduh apa saja padaku. Aku sudah siap jika memang kalian tak mengakui anak ini seperti Miko dulu.” Seketika Ibu menoleh, aku baru sadar jika wajah Ibu kali ini polos. Ia tak memakai make up tebal seperti biasa ia lakukan. Dari jarak sedekat ini terlihat jelas kerutan wajah dan kulit yang mengendur yang menandakan bahwa ia sebentar lagi akan memasuki fase lanjut usia.“Tidak, Nita! Aku yakin an
“Anita!” Mas Rafi langsung menangkapku yang hampir saja terhuyung .“Sakit, Mas,” racauku sambil terus memegangi perut.Tubuhku seketika kehilangan tenaga, pandanganku meremang dan kepalaku mendadak terasa sakit. Aku mendengar Mas Rafi berteriak memanggil Ibu dan Bik Sumi. Tak lama kemudian aku di angkat menuju mobil oleh Mas Rafi.“Rafi, kamu apakan Anita, hah!” pekik Ibu sembari terus mengelus kepalaku yang bersandar di bahunya. “Aku enggak ngapa-ngapain, Ma. Tadi Silvi datang terus ...”“Kenapa kamu biarin Silvi mendorong Anita? Kamu tahu kan kalo wanita hamil sampai jatuh itu bahaya.”“Maaf, Bu.”“Aku enggak apa-apa kok, Bu.” Aku mencoba menenangkan Ibu.Kugenggam erat tangan yang sedari tadi tak berhenti mengelus perutku. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Yang jelas aku sangat bahagia mendapat perhatian yang begitu besar dari Ibu.Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya kami sampai di klinik yang letaknya tak jauh dari rumah Ibu. Aku di angkat oleh Mas Rafi
“Berpisah?” Mas Rafi membelalak, seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.“Apa kamu sadar dengan ucapanmu barusan?” tanya Mas Rafi terus menatapku lekat.“Iya, bukankah kamu sudah tak membutuhkan aku lagi? Kamu juga menganggap aku berselingkuh, kan?”“Lalu bagaimana dengan Miko?”“Biar hukum yang menentukan status Miko.”“Enggak! Sampai kapan pun kita tidak akan berpisah.”"Bukankah aku telah berbaik hati dengan memberimu kesempatan menjadi Ayah Miko? Aku rasa tugasku telah selesai. Mungkin sudah saatnya aku membahagiakan diri sendiri.""Apa semua ini karena Rendi?""Bukan, Rendi sudah beristri.""Jangan pernah bicarakan perpisahan karena semua itu tidak akan terjadi.""Tapi aku ..." Mas Rafi meletakkan jari telunjuknya di bibirku."Ingat, tak akan ada perpisahan."Mas Rafi membawaku ke dalam pelukannya. Entah dengan sihir apa, akupun tak mencoba menolak. Malah merasa nyaman dengan perlakuan Mas Rafi.Hingga sekuat apapun pikiranku menolak, hatiku tetap luluh juga.**"Nita,
"Mbak Silvi punya rencana apa lagi? Belum puaskah dia setelah berhasil membuat anakku batal melihat dunia?" tanyaku geram."Aku tidak ikut campur urusan kalian, saya datang ke sini atas inisiatif sendiri." "Lalu apa yang anda inginkan?""Aku mohon tinggalkan Rafi. Jangan membuat hidup Silvi semakin menderita." "Sebenarnya siapa kamu? Berani-beraninya mengatur hidupku? Di bayar berapa kamu sama Silvi?”Aku menggebrak meja, melampiaskan gejolak di dada yang sedari tadi aku tahan. "Aku tak di bayar siapa pun. Asal kamu tahu, kekayaan keluarga Silvi tak ada sepuluh persen dari total kekayaan pribadiku. Aku hanya ingin membahagiakan Silvi," jelasnya."Mengapa enggak kamu nikahi saja dia. Bukan malah memintaku mengalah,” geramku.Sebenarnya apa yang ada di pikiran Ario, bisa-bisanya ia memintaku meninggalkan Mas Rafi. Sedangkan ia tak ada hubungan apa pun dengan Mbak Silvi. "Aku punya penawaran menarik kalo kamu mau meninggalkan Rafi.""Cih! orang kaya macam kalian selalu saja menawark
“Mas Rafi.” Aku memejamkan mata saat merasakan kecupan lembut mendarat di kepalaku. Ah, iya, baru ku ingat kalo hari ini adalah hari ulang tahunku. Rasanya aku sudah lupa kapan terakhir kali mendapatkan ucapan selamat ulang tahun.“Terima kasih.” Aku berbalik memeluk Mas Rafi. Ada rasa yang membuncah saat Mas Rafi ternyata mengingat hari kelahiranku. “Ehm, cie...”Seketika aku melepaskan pelukan saat tiba-tiba mendengar suara riuh.“Kejutan...”Mataku membelalak saat Miko, Ibu, Desi, Ari, Vera dan Doni satu persatu turun dari lantai tiga. Bersamaan dengan Dela dan beberapa karyawan yang tiba-tiba muncul dari lantai bawah. Yang paling mengejutkan adalah Ario juga berada di antara mereka.Sejenak aku memandang Mas Rafi berusaha meminta penjelasan tentang semua ini, namun Mas Rafi hanya tersenyum dan mengecup keningku sekali lagi. “Selamat ulang tahun, Sayang.” Hatiku tiba-tiba menghangat saat Ibu mendekat dan mengecup pipiku sekilas. “Selamat ulang tahun, Mama.”Kini giliran Miko