Sebuah mobil porsche hitam menerobos lampu merah di simpang Cafe Andara. Disaat yang bersamaan sebuah truk besar melintas begitu saja dan langsung menabrak sisi kanan mobil tersebut, yang mengakibatkan kecelakaan besar terjadi. Mobil itu terpental beberapa meter dari lokasi, sedangkan truk yang bermuatan beberapa sepeda motor itu tetap ditempat. Beberapa pengendara dan warga yang berada disekitar berlarian ke mobil porsche tersebut. Seorang pria dengan hoodie hitam polos sudah tidak sadarkan diri. Darah segar mengalir dari kepala, telinga, dan hidung menambah kesan buruk. Mereka membuka pintu mobil yang kacanya sudah pecah berkeping-keping, lalu mengeluarkan pria itu dari sana. Dibaringkannya di atas trotoar jalan dan memberikan pertolongan pertama sebelum ambulance tiba. "Masih ada denyut nadi," ucap seorang laki-laki. "Ambulance dari rumah sakit terdekat sudah dalam perjalanan, semoga tidak terlambat," kata wanita yang sudah menghubungi rumah sakit. Beberapa saat kemudian sir
"Kalian siapa?" Kalimat tanya itu mematahkan perasaannya. Helsa menatap Adryan yang sama sekali tidak mengingat siapa dia. Wajah kebingungan pria itu sudah menunjukan bahwa dia tidak mengenal mereka semua. "Mas, jangan bercanda deh. Helsa tahu mas suka banget jailin Helsa, tapi nggak gini juga." Satu minggu pasca operasi, Adryan sadar dari koma. Dokter yang menanganinya tidak terkejut dengan kejadian ini, karena memang hasil rontgen kepala dokter Adryan sudah keluar. "Saya nggak kenal kamu," ketus Adryan. "Dan kalian semua, saya tidak mengenal siapa kalian." Suaranya lantang, sorot matanya bukan seperti Adryan yang mereka kenal. Helsa kembali menyentuh wajah tampan yang dihiasi luka-luka kecil. Adryan meringis kesakitan, wajah cantik wanita hamil dihadapannya mengusik memorinya. "Minggir!" teriaknya saat nyeri itu semakin meradang, dia menepis kasar tangan lembut istrinya. "Adryan! Jangan kasar sama Helsa," tegur Jefry. "Sayang, kamu ingat bunda, kan?" tanya bunda. "Itu ayah
Suasana apartemen terasa sunyi, hanya terdengar percikan minyak goreng dari dapur. Hari sudah semakin gelap, Helsa sudah mulai berperang dengan alat masak di dapur. Dia sudah melupakan kejadian siang tadi, Helsa memaklumi kondisi suaminya. Sedangkan Adryan, pria itu duduk di sofa tengah, matanya sedari tadi tak luput dari sebuah foto berukuran besar yang ada di ruangan tersebut dan juga beberapa foto yang ada di bufet laci. "Apa wanita ini seberarti itu untuk saya? Kenapa saya terlihat bahagia dalam foto itu?" Adryan mengambil bingkai kecil dari bufet, dia tersenyum kecil melihat fotonya bersama bunda, ayah, dan senyumnya hambar saat ada Jefry disampingnya. Laki-laki itu membuat moodnya buruk. "Mas...," panggil Helsa. Adryan balik menatap Helsa, wanita itu terus menampilkan senyum tulusnya, rambut sebahunya sudah kembali di gerai setelah selesai masak. "Makan sekarang ya? Mumpung masih hangat," ajak Helsa. Adryan hanya membalas dengan anggukan kecil. Helsa menangis dalam diamny
Membayangkan kehadiran dokter Uni dalam kehidupan pernikahannya membuat Helsa kurang fokus pada macbooknya. Terhitung dua bulan lagi dia akan mengikuti ujian setara untuk mendapatkan ijazah SMA sesuai permintaannya. Akhir-akhir ini Helsa diserang cemas yang berlebihan, apalagi wanita lajang itu selalu menghubungi Adryan. Helsa takut dia terlupakan, ya meskipun memang dia dilupakan. Belum lagi dengan bunda yang selalu menuntutnya untuk tidak banyak bicara pada suaminya. Bunda memang egois. "Kamu lagi ngapain?" Suara baritone itu mengalihkan pandangannya, Adryan menghampirinya ke meja pantry. Dia bingung dengan apa yang dilakukan seorang ibu hamil ini. "Belajar? Kamu masih sekolah?" Helsa menatap intens manik mata suaminya. "Iya, habis lahiran Helsa mau berangkat ke Kanada. Dan mas sendiri udah izinin." "Kamu mau tinggalkan saya sendiri?" Adryan menghentikan pergerakan tangan Helsa. Wanita itu menepis pelan tangan Adryan, memalingkan wajahnya ke macbook. "Nggak ada yang ninggali
Tangisan itu pecah dalam pelukan suaminya. Malam ini dia benar-benar menumpahkan semua kekesalan beberapa minggu ini, menumpahkan rasa cemburunya. Helsa sedikit berjinjit untuk mengalungkan tangannya pada leher Adryan. Pelukan itu masih sama. Adryan memeluk wanitanya begitu erat, saking eratnya dia tidak sadar istrinya lagi hamil. Dasar pria amnesia! "Saya memang tidak mengingat kamu, tapi saya yakin kamu adalah perempuan yang saya cinta. Jangan pergi Helsa, saya butuh kamu." Runtuh sudah pertahanan Adryan untuk tidak menyentuh wanita itu, dia tidak tega melihat Helsa menangis. Wanita itu membutuhkannya, begitu juga dia. "Maaf kalau sikap saya buat kamu tidak nyaman," ujar Adryan. Helsa merenggangkan pelukan itu, jemarinya menelusuri setiap inci wajah suaminya, dia tersenyum dalam air matanya. Helsa kembali berjinjit, lalu memberi kecupan rindu pada dua mata milik sang suami. "Helsa takut Mas pergi. Helsa takut terlupakan. Helsa nggak mau kehilangan Mas Adryan," tuturnya dengan
"Let's making love, baby girl." Adryan menatap dalam netra hitam yang begitu cantik, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Helsa ingin teriak, tapi dia sadar tidak akan ada yang mendengarnya. Lagian, untuk apa dia berontak, toh pria di hadapan ini adalah suaminya. Adryan mengalungkan kedua tangan Helsa ke lehernya, lalu menautkan bibir mereka. Ciuman itu sangat lembut, namun lama-kelamaan menuntut. Helsa yang merasa pasokan udaranya berkurang segera melepas pangutan itu. Dia tertunduk mengambil kembali oksigen yang terasa berkurang, lalu mendongak. "Mas, Helsa nggak bisa." "Mas Adryan nggak ingat siapa Helsa," tambahnya. Dia tersenyum kecil, namun Helsa tahu ada guratan kecewa pada wajah tampan itu. Adryan menginginkan lebih, tapi Helsa tidak siap harus melakukan ini disaat Adryan bahkan tidak mengenalnya. "Mulai malam ini kita tidur bareng," tanda Adryan. Helsa mengangguk antusias, dia tidak mau Adryan merasa ditolak seperti tadi. Setelah mendapat jawaban, pria itu memba
"Assalamualaikum." Nada ucapan salamnya begitu lembut masuk melalui indra pendengaran. Helsa menduduki kursi kecil yang dibawa dari apartemen, duduk disamping makam Papanya. Usia kandungan dan perut yang semakin membesar tidak memungkinkan dia untuk berjongkok. "Pa, anaknya datang nih. Apa kabar?" Ia mengusap lembut nisan itu. "Yuda Andrean," lirih seseorang yang sudah duduk disampingnya. Adryan membaca nama itu di pusara makam ayah mertuanya, nama itu tidak asing untuknya. "Saya seperti mengenal nama itu," tuturnya. Helsa tersenyum simpul mendengar penuturan suaminya , matanya tidak lepas dari nisan itu. Dia tertegun melihat pergerakan tangan Adryan yang membersihkan beberapa daun yang jatuh di atas gundukan tanah itu. "Pa, emang Papa kenal laki-laki disamping aku?" sindir Helsa. Netranya melirik Adryan yang menukik alisnya, dia sudah merasa disindir. "Dia aja nggak kenal Helsa," suaranya merendah. "Lagi berusaha, bilangin," seru Adryan dari sampingnya. "Dia jalan sama perem
Jam sudah menunjukkan pukul 02:00 WIB, dini hari. Jeritan tangis dari wanita yang masih tertidur membangunkannya. Adryan menyalakan saklar lampu kamar, melihat dan mendengar Helsa yang menangis dalam kondisi tertidur. Ya, itu dari alam bawa sadarnya, wanita itu mimpi buruk. "Helsa ..." panggilnya. Belum sadar, Adryan terus berusaha untuk membangunkan Helsa. Wanita itu sampai mengeluarkan butiran air mata, entah apa yang dia mimpikan hingga seperti ini. Beberapa kali tepukan pada pipi akhirnya berhasil membangunkan istrinya. Kelopak matanya terbuka sempurna, Helsa mengubah posisinya duduk bersandar di kepala ranjang. Jantungnya berdebar tak karuan, nafasnya memburu hebat. Netranya tampak lesu, Adryan bisa melihat dari tatapannya sekarang. "Mas," Helsa meraih tangan suaminya, lalu mencium punggung tangan itu. "Jangan tinggalin Helsa." "Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helsa tidak menjawab, kedua tangannya justru dikalungkan pada leher suaminya, menghirup dalam aroma tubuh itu. "Apa semu