"Mas...,""Kok tidur disini? Ayo bangun.""Dingin, nanti bisa sakit."Kelopak mata perlahan terbuka, iris mata coklatnya mencoba untuk menetralisir cahaya lampu yang menerpanya. Adryan menangkup wajah cantik yang terlihat pucat itu."Kamu pulang sayang?""Iya, Helsa pulang. Kenapa harus tidur disini?"Adryan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia memeluk wanitanya, bahkan sangat erat. Jangan katakan dia berlebihan, apa kalian tidak akan frustasi itu jika ditinggal pergi orang yang kalian cinta?Dia menangis dalam pelukan istrinya, menumpahkan segala lara yang membanjiri pikiran dan perasaannya. Adryan mengecup mesra kening Helsa, beralih pada punggung tangan wanitanya."Jangan pergi lagi, Helsa. Mas sayang, Mas cinta sama kamu," ucap Adryan bersungguh-sungguh. Sorot matanya teramat sangat tulus, tidak ada guratan kebohongan pada wajahnya.Braggghh..."Adryan!!!""Bangun!!!""Lo ngapain tidur di kamar mandi, gila!""Sa..., pulang, sayang." Adryan terus menggumamkan nama Helsa dala
"Dokter Adryan..." Pria berjas putih yang dipanggil dengan cepat kembali memutar arah, dia harus ke ruangan nya, namun suara anak kecil dengan kursi roda mengurungkan niatnya. Adryan berjongkok di hadapan gadis kecil yang sudah memakai hijab. "Denta cantik banget," puji Adryan. "Emang Denta masih cantik? Rambut Denta sudah habis," keluh Denta. Gadis kecil itu menunduk sembari memainkan kuku jarinya. "Jangan sedih dong, nanti rambutnya balik lagi," kata Adryan sembari mengusap kepala gadis itu. Benar saja, rambut Denta sudah tidak terasa dari luar hijab itu. Adryan tersenyum hambar, apa dia terlalu banyak memberi harapan untuk gadis ini? "Emangnya Denta masih bisa sembuh, dok?" "Apa nanti Denta bisa jaga Mama?" "Dokter kok bisa sehat, sedangkan Denta nggak sehat. Padahal umur Denta lebih muda dari dokter. Denta punya salah sama Tuhan?" Mendengar pertanyaan beruntun dari pasiennya membuat Adryan tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Pikirannya sedang kalut dengan kepergian i
Renata berjalan mengendap-endap memasuki rumah sahabatnya, Agya. Suara tangisan dua manusia yang dikenalnya dari kamar yang ditempati putrinya menarik perhatian. Renata legah saat Agya mengirimnya pesan bahwa Adryan datang menjemput Helsa.Setelah urusannya di Seminyak selesai, wanita paruh baya itu langsung kembali ke Penglipuran."Renata, untuk apa kamu disana?" panggil Agya saat mendapati Renata yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu.Renata menghampiri Agya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam, "aku senang Agya, akhirnya Adryan datang. Helsa itu keras kepala," ujar Renata."Persis kamu," tanda Agya yang sudah mengetahui karakter sahabatnya itu.Renata terkekeh. "Dari tadi nangis tuh suaminya," kata Agya.Braggghhhhh...Suara dari kamar itu mengalihkan perhatian Renata dan Agya, sepertinya itu guci yang ada di kamar. Agya tampak tersenyum dengan raut wajah Renata, Agya tahu Renata tidak enak hati."Tidak apa, Ren. Palingan guci kecil di kamar itu," ungkap Agya."Aku nggak
Jam sudah menunjukkan pukul 17:00 WIB, sesuai dengan permintaan Adryan yang memintanya untuk menunggu di lobby apartemen, disini Helsa sekarang. Wanita itu terlihat senang, terlihat dari semburat senyum yang tidak lepas dari bibirnya. Hari ini suami ganjen nya itu akan memberi kejutan. Helsa sudah tidak sabar dengan kejutan itu. Belum lama duduk disana, sepasang remaja dengan pakaian putih abu-abu mengalihkan perhatiannya. Helsa tersenyum melihat betapa serasinya mereka, tangan yang selalu menggenggam satu sama lain. "Pasti cowoknya sayang banget sama dia," gumamnya. Helsa tertegun sebentar, tiba-tiba saja terlintas bayangan masa lalunya. Helsa pernah sebahagia mereka, walaupun itu singkat. Kemudian dia beralih menatap cincin pernikahannya dengan lekat, mengingat saat pertama kali Adryan melamarnya. "Tapi aku lebih bahagia sekarang," lirihnya dengan mata sedikit berair, "Mas Adryan bisa kasih aku lebih dari kata bahagia itu sendiri." "Sayang...,"
"Helsa yang pegang kendali, dan Mas nggak boleh berkomentar atau menolak kalau Helsa minta lebih." Adryan yang tadinya bersiap menggendong Helsa ke ranjang mendadak menghentikan pergerakannya. Dia menangkup wajah Helsa dengan gemas, "kalau ngasih syarat yang benar dong, Sa." "Nggak mau? Ya udah, Helsa mau lanjut beres-beres," ujar Helsa santai, lalu membuang singlet suaminya keatas ranjang. Adryan yang merasa dipermainkan dengan cepat menggendong ibu hamil itu dan membaringkannya diatas ranjang kebesaran mereka, "kamu harus tanggung jawab." "Tanggung jawab apa?" tanya Helsa menantang Adryan yang sudah mengungkuhnya dibawah. Tidak menjawab pertanyaan itu, Adryan justru mengunci pergerakan tangan Helsa, lalu mencium wanitanya dengan lembut. Matanya terpejam, Helsa terbawa suasana dan membalas ciuman suaminya. Ciuman itu berangsur turun ke leher, tanda warna merah dan keunguan mulai tercetak di beberapa bagian leher wanita hamil itu. Helsa mengerang pelan, kemudian menjambak surai h
Satu minggu berlalu. Sudah selama itu juga Adryan dan Helsa menetap di rumah baru mereka. Helsa sempat menangis ketika mereka hendak beranjak meninggalkan apartemen itu, lebay memang. Namun, itulah Helsa, selalu cengeng dengan siapapun orangnya.Di rumah baru ini dia selalu kesepian jika Adryan berangkat kerja, meskipun ada asisten rumah tangga, itu tidak membuat wanita hamil itu merasa ramai. Ditambah dengan suaminya yang selalu pulang larut malam."HELSA!!!"Wanita itu memutar tubuhnya, matanya mengarah pada pintu utama rumah. Sekali lagi Helsa mendengar dengan seksama suara-suara yang tampak tidak asing. Seketika air matanya luruh, dengan langkah pelan, wanita itu berjalan menuju pintu utama."SURPRISE!!!!!"Lihat, siapa yang datang?Helsa menatap tidak percaya dengan keempat gadis centil yang mengejutkannya. Mereka mengenakan seragam sekolah. Ranaya, Citra, Diandra, dan Keke. Mereka adalah sahabat-sahabat Helsa. Jangan tanya dimana Bella."Sa..., lo nggak senang kita datang?" tany
Suara tangisan itu terdengar sangat pilu. Helsa memberanikan dirinya untuk menceritakan kembali kejadian yang membuat dia harus meninggalkan mantan kekasih itu. Sebenarnya ketika Adryan amnesia kemarin, dia sempat menceritakan itu. Tapi Adryan sama sekali tidak mengingat itu, makanya Helsa menceritakan lagi."Dia bilang mau sama Helsa, tapi dia nggak pernah percaya sama Helsa," jerit wanita itu dalam pelukan suaminya."Dia jahat sama Helsa, mas."Adryan mengangguk setuju. Jika saja dia tahu permasalahannya, malam itu dia akan memukul Akmal habis-habisan. Wanita itu terlalu baik untuk Akmal."Sa, kamu lihat mata mas," titah Adryan. Helsa menuruti permintaan Adryan, ditatapnya netra hitam yang selalu memandangnya dengan kasih sayang, netra hitam yang selalu memancarkan ketulusan untuknya."Kamu itu hebat. Nggak ada perempuan sesabar kamu. Mulai hari ini jangan ingat hal yang buat kamu sakit, termasuk bunda." Adryan kembali mendekapnya. Jujur saja, hatinya seperti ditusuk ribuan jarum ke
"Finally, dia menampakkan kelaminnya. Dokter Adryan mau punya jagoan." Dokter wanita dengan name tag Sofia begitu telaten menggerakan alat USG pada perut buncit Helsa. Suasana ruangan serba putih yang tadinya hening seketika terasa haru saat dokter paru baya itu memberitahu jenis kelamin janin yang ada pada rahim Helsa. Hari ini Adryan menemani istrinya mengecek kandungan di rumah sakit Mawar Medika, tempat dia mengabdi. Jadi ingat tempat pertama kali mereka bertemu. Adryan merasa bangga ketika dokter Sofia menyebut jagoannya, begini rasanya mau punya anak, ya meskipun begitulah. Adryan mengusap air mata yang mengalir di sudut mata istrinya. Genggamannya pada tangan kecil tidak lepas sejak tadi, Adryan terus berada disamping Helsa. "Serius itu cowok, dok?" Adryan memastikan. "Iya. Papanya aja ganteng, gimana anaknya nanti." Adryan mengalihkan pandangannya pada Helsa yang juga sedang menatapnya, perkataan dokter Sofia sangat menyakitkan bagi istrinya. Lihat bagaimana Helsa menggi