"Rin, aku mau tanya. Emangnya video itu beneran ada samamu? 'kan kemarin, nggak ada yang ngerekam, kita?" tanyaku dipenuhi rasa penasaran. Aneh aja gitu. Kemarin, nggak ada orang pegang HP. kenapa pula, bisa ngerekam kami. Apa Kak Butet yang merekam diam-diam."Ya, enggaklah!" jawabnya enteng."Jadi, kau bohong?" tanyaku heran."Iya, hehehehe," jawabnya cengengesan."Gil4! Pantas aja, kau, mau berdamai dengan uang lima belas juta, dari tuntutan tiga puluh juta.""Heheheheh, udah nggak usah berisik. Nanti mereka dengar. Uangnya bisa kita sumbangin selebihnya buat jalan-jalan ke danau toba," ujarnya tanpa rasa bersalah."Wahhh, iya juga, ya. Boleh jugalah, biar mereka tahu rasa. Lagian udah lama kali aku nggak liburan. Eh, abangmu tau, kalau nggak ada video di hape?" tanyaku lagi."Enggak, dia memang beneran mau nuntut mereka. Tapi, kalau mereka masuk penjara, aku rugi dong. Lebih baik kuduitkan aja." Karin sangat santai menanggapi semua ini. Apa dia tak takut ketahuan."Huuuhhh, dasar
"Iya. Aku juga awalnya nggak tau kalau suamiku mantannya dia. Kok bisa sih, Mel. Kau buang batu berlian seperti Mas Dendi?" tanyanya beralih padaku."Karena aku udah nggak level sama berlian," jawabku malas."Jadi, levelnya sama batu akik? Atau batu kali gitu?" cemoohnya."Yang penting, seleraku, bukan seperti seleramu!" ketusku."Oh, ya jelas dong!" sahutnya cepat."Jelas, kau seleranya barang bekas dan aku barang yang masih segelan, kan? Hahahah," ejekku.Ratna melengos tak suka. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya.Cring! Cring! Lagi-lagi dia memainkan tangannya."Gelang baru, Rat?" tanya Kak Leha tetangga samping rumah Kak Butet.Dia baru saja datang. Mungkin juga mau berbelanja."Iya," jawabnya fokus menimbang ayam."Tiga puluh juta itu, dibelinya," ucap Kak Butet memberi tahu."Apa yang tiga puluh juta?" tanya Kak Leha bingung."Gelang si Ratna," jawab Kak Butet."Mana ada. Aku tadi lihat dia beli di pajak UKA. Tempat orang jualan emas KW itu. Harganya cuma 30ribu pergelang. M
"Kenapa?" tanya Rama ketus, saat aku terus menatapnya."Nggak ada," jawabku singkat.Apakah memang dia, yang menerorku beberapa hari ini?Aku tidak bisa langsung menuduhnya, karena tak memiliki bukti. Bisa saja nanti malah aku yang dikatakan memfitnah.Bagaimana caranya aku mencari informasi tentang kejadian semalam. Selama ini, aku baik-baik saja tinggal di rumah tanpa ada pengganggu. Namun setelah Karin pergi dan Rama datang, teror bermunculan."Halo!" seru Rama, pada sambungan telpon. "....""Besok malam saja. Aku capek, baru pulang kerja," ujar Rama lagi.Pulang kerja?Apakah dia sudah bekerja?Jika memang dia bekerja, lalu siapa yang menerorku?"Oke, ya sudah." Sambungan telpon langsung dimatikannya."Sudah bekerja, kau rupanya?" tanyaku berbasa basi. Mungkin dengan jalan ini, aku bisa mengorek sedikit informasi. "Kau, nguping! Dasar!" umpatnya.Aku tidak begitu ingat, saat memukuli lelaki yang berusaha menerobos masuk ke rumahku, entah bagian mananya yang terkena pukulan. Jadi
"Kalau saya, sebagai orang tua, menyerahkan semua keputusan di tangan Melia. Nak Ilyas, tahu sendiri. Anak saya ini, sudah pernah gagal dalam rumah tangga. Jadi, kami sebagai orang tua, tidak ingin putri satu-satunya mengalami kegagalan lagi. Cukup yang lalu menjali pelajaran. Jangan sampai terulang kembali." Bapak berbicara dengan wajah sendu.Ya, aku juga merasa gagal jadi putri bapak. pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup, bersama dari muda hingga ajal menjemput. Tapi siapa sangka akan berakhir.Dulu aku berpikir, dengan menikah maka semuanya akan selesai. Tak perlu bersusah payah bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Skincare, pakaiaan, segala kebutuhan pasti terpenuhi oleh suami. Pagi memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sore hanya duduk manis menunggu suami pulang bekerja.Segitu simplenya pemikiranku saat itu. Tapi nyatanya, pernikahan adalah awal dari kehidupan yang lain. Bukan hanya untuk sehari atau dua hari, sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun, tapi
"Bangun! Melia! Susah kali bangunkan, ini orang. Kalau tidur udah kayak sapi mati!" Samar-samar aku mendengar suara omelan Karina.Biarkan aja. Malas kali buka mata."Melia! Cepetan bangun. Kusiram pake air baru tau, kau!" ancamnya. Dapat kurasakam sisi kasur bergerak. Itu tandanya Karin sudah bangakit. Kadang ini anak ada sedengnya. Pula-pula aku beneran disiram air sama dia."Ha, udah diancam baru bangun, kau! Nggak lihat itu jam. Udah siang ini." Omel Karin seperti mamak tiri."Apaan sih? Orang lagi mimpi indah pun!" ketusku."Mimpi nikah sama Bang Ilyas?" tanyanya antusias.Aku heran sama Karin. Kenapa dia semangat kali, bila bahas tentang menikah dengan abangnya. Padahal semalam aku udah katakan padanya, jika masih butuh waktu."Hei, kepiting laut! Itu ajalah pikiran, kau! Udah nggak sabar rupanya pengen nikah?" cibirku."Ya, iya lah. Aku takut Mas Sutejo diambil orang!""Huuu. Pegangan tangan sama lelaki nggak mau. Tapi pacaran juga!" sindirku."Kami bukan pacaran kayak anak zam
"Kenapa, kau, melamun?" tanya Karin melihatku menatap kosong langit malam.Aku sedang duduk di bangku yang berada tepat di bawah pohon mangga. Meskipun tidak baik berada di bawah pohon jika malam hari, tetapi rasanya aku ingin berlama-lama menatap bulan purnama itu."Nggak ada," jawabku singkat, masih fokus pada indahnya sinar yang terpancar."Aku tau, kau mikirin lamaran abangku, kan?" tebaknya.Yah, sedikit banyaknya, pasti aku juga memikirkannya. Harus bagaimana, terima atau tidak."Hmmmm ....""Apa kau, nggak suka sama abangku?" tanyanya, seraya duduk di sampingku.Entahlah. Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Terkadang sangat suka melihatnya dekat dengan keluargaku. Tapi hati kecil masih ragu dengan segalanya.Kegagalan membuatku harus lebih berhati-hati dalam memilih pasangan lagi."Dia laki-laki baik. Bukan karena aku, adiknya. Tapi memang begitulah kenyataannya. Dari dulu, tak pernah menyakiti hati wanita manapun. Kau, percayalah sama, aku!" katanya mempromosikan abang
"Sah!" Satu kata yang membuat stasusku berubah.Kini aku sudah menjadi istri Bang Ilyas. Hari ini, tepat seminggu setelah lamaran. Sesuai tanggal yang sudah ditentukan kami menikah dengan sederhana di KUA.Aku sengaja tak menyelenggarakan pesta. Karena malas ribet. Keluarga Bang Ilyas juga nantinya akan membuat acara di kediamannya. Mengadati sesuai tradisi suku batak simalungun. Jadi, kuputuskan untuk di sana sajalah diadakan pestanya.Tangan Bang Ilyas disodorkan padaku, dan kusambut lalu mencium punggung tangannya. Lelaki yang sudah sah menjadi suamiku saat ini, juga mengecup sekilas keningku.Lelaki yang dulu sangat kuhindari, ternyata sekarang menjadi yang setiap hari dijumpai.Jodoh, terkadang memang aneh. Ada orang yang dulunya dibenci, malah sekarang menjadi dinikahi. Seperti aku saat ini, contohnya."Selamat, ya. Akhirnya resmi jadi kakak ipar," ujar Karin memelukku hangat, saat aku sudah terlebih dahulu menyalami keluarga yang lain."Bersiap kau, jadi adik ipar teraniaya," b
Udah seperti maling, aja aku, diteriaki. Sebenarnya, mereka semua kenapa sih?Sudah cukup ramai manusia berkumpul di luar pagar. Ada beberapa ibu-ibu juga. Termasuk si mulut berbisa. Hanya dia wanita yang berdiri dibarisan terdepan bersama para lelaki."Ada apa ini, Pak?" tanyaku pada seseorang di belakang Mas Dendi.Aku sudah mendekat ke pagar. Tapi tidak membukakan pintu. Takut mereka berbuat rusuh."Kami, dapat laporan dari Pak Dendi dan Bu Ratna. Katanya, Bu Melia memasukkan lelaki ke dalam rumah. Dari siang hingga kini, tamu tersebut belum keluar, dan mobilnya masih terpakir," tunjuknya pada mobil Bang Ilyas.Ya, ampun. Ternyata, gara-gara aku seharian di rumah bersama suamiku.Tapi mengapa sampai mengumpulkan masa? Kan bisa ditanya baik-baik.Apalagi, yang melaporkan adalah tetangga samping rumah. Mungkin mereka sengaja ingin mempermalukanku di depan warga."Udah, kita, rusak aja pagar ini. Usir mereka dari desa kita. Jangan sampai semua warga terkena musibah akibat perzinahan