"Kalau saya, sebagai orang tua, menyerahkan semua keputusan di tangan Melia. Nak Ilyas, tahu sendiri. Anak saya ini, sudah pernah gagal dalam rumah tangga. Jadi, kami sebagai orang tua, tidak ingin putri satu-satunya mengalami kegagalan lagi. Cukup yang lalu menjali pelajaran. Jangan sampai terulang kembali." Bapak berbicara dengan wajah sendu.Ya, aku juga merasa gagal jadi putri bapak. pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup, bersama dari muda hingga ajal menjemput. Tapi siapa sangka akan berakhir.Dulu aku berpikir, dengan menikah maka semuanya akan selesai. Tak perlu bersusah payah bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Skincare, pakaiaan, segala kebutuhan pasti terpenuhi oleh suami. Pagi memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sore hanya duduk manis menunggu suami pulang bekerja.Segitu simplenya pemikiranku saat itu. Tapi nyatanya, pernikahan adalah awal dari kehidupan yang lain. Bukan hanya untuk sehari atau dua hari, sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun, tapi
"Bangun! Melia! Susah kali bangunkan, ini orang. Kalau tidur udah kayak sapi mati!" Samar-samar aku mendengar suara omelan Karina.Biarkan aja. Malas kali buka mata."Melia! Cepetan bangun. Kusiram pake air baru tau, kau!" ancamnya. Dapat kurasakam sisi kasur bergerak. Itu tandanya Karin sudah bangakit. Kadang ini anak ada sedengnya. Pula-pula aku beneran disiram air sama dia."Ha, udah diancam baru bangun, kau! Nggak lihat itu jam. Udah siang ini." Omel Karin seperti mamak tiri."Apaan sih? Orang lagi mimpi indah pun!" ketusku."Mimpi nikah sama Bang Ilyas?" tanyanya antusias.Aku heran sama Karin. Kenapa dia semangat kali, bila bahas tentang menikah dengan abangnya. Padahal semalam aku udah katakan padanya, jika masih butuh waktu."Hei, kepiting laut! Itu ajalah pikiran, kau! Udah nggak sabar rupanya pengen nikah?" cibirku."Ya, iya lah. Aku takut Mas Sutejo diambil orang!""Huuu. Pegangan tangan sama lelaki nggak mau. Tapi pacaran juga!" sindirku."Kami bukan pacaran kayak anak zam
"Kenapa, kau, melamun?" tanya Karin melihatku menatap kosong langit malam.Aku sedang duduk di bangku yang berada tepat di bawah pohon mangga. Meskipun tidak baik berada di bawah pohon jika malam hari, tetapi rasanya aku ingin berlama-lama menatap bulan purnama itu."Nggak ada," jawabku singkat, masih fokus pada indahnya sinar yang terpancar."Aku tau, kau mikirin lamaran abangku, kan?" tebaknya.Yah, sedikit banyaknya, pasti aku juga memikirkannya. Harus bagaimana, terima atau tidak."Hmmmm ....""Apa kau, nggak suka sama abangku?" tanyanya, seraya duduk di sampingku.Entahlah. Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Terkadang sangat suka melihatnya dekat dengan keluargaku. Tapi hati kecil masih ragu dengan segalanya.Kegagalan membuatku harus lebih berhati-hati dalam memilih pasangan lagi."Dia laki-laki baik. Bukan karena aku, adiknya. Tapi memang begitulah kenyataannya. Dari dulu, tak pernah menyakiti hati wanita manapun. Kau, percayalah sama, aku!" katanya mempromosikan abang
"Sah!" Satu kata yang membuat stasusku berubah.Kini aku sudah menjadi istri Bang Ilyas. Hari ini, tepat seminggu setelah lamaran. Sesuai tanggal yang sudah ditentukan kami menikah dengan sederhana di KUA.Aku sengaja tak menyelenggarakan pesta. Karena malas ribet. Keluarga Bang Ilyas juga nantinya akan membuat acara di kediamannya. Mengadati sesuai tradisi suku batak simalungun. Jadi, kuputuskan untuk di sana sajalah diadakan pestanya.Tangan Bang Ilyas disodorkan padaku, dan kusambut lalu mencium punggung tangannya. Lelaki yang sudah sah menjadi suamiku saat ini, juga mengecup sekilas keningku.Lelaki yang dulu sangat kuhindari, ternyata sekarang menjadi yang setiap hari dijumpai.Jodoh, terkadang memang aneh. Ada orang yang dulunya dibenci, malah sekarang menjadi dinikahi. Seperti aku saat ini, contohnya."Selamat, ya. Akhirnya resmi jadi kakak ipar," ujar Karin memelukku hangat, saat aku sudah terlebih dahulu menyalami keluarga yang lain."Bersiap kau, jadi adik ipar teraniaya," b
Udah seperti maling, aja aku, diteriaki. Sebenarnya, mereka semua kenapa sih?Sudah cukup ramai manusia berkumpul di luar pagar. Ada beberapa ibu-ibu juga. Termasuk si mulut berbisa. Hanya dia wanita yang berdiri dibarisan terdepan bersama para lelaki."Ada apa ini, Pak?" tanyaku pada seseorang di belakang Mas Dendi.Aku sudah mendekat ke pagar. Tapi tidak membukakan pintu. Takut mereka berbuat rusuh."Kami, dapat laporan dari Pak Dendi dan Bu Ratna. Katanya, Bu Melia memasukkan lelaki ke dalam rumah. Dari siang hingga kini, tamu tersebut belum keluar, dan mobilnya masih terpakir," tunjuknya pada mobil Bang Ilyas.Ya, ampun. Ternyata, gara-gara aku seharian di rumah bersama suamiku.Tapi mengapa sampai mengumpulkan masa? Kan bisa ditanya baik-baik.Apalagi, yang melaporkan adalah tetangga samping rumah. Mungkin mereka sengaja ingin mempermalukanku di depan warga."Udah, kita, rusak aja pagar ini. Usir mereka dari desa kita. Jangan sampai semua warga terkena musibah akibat perzinahan
"Ini semua, gara-gara kalian!" teriak Ratna dari luar pagar sambil menunjuk ke arah kami.Kok jadi menyalahkan kami? Bukankah dia yang memulai ini semua?Dengan lancang dan sok tau, langsung memanggil masa. Padahal kami tetanggaan, kan bisa ditanya baik-baik dulu. Memang merekanya aja yang mau cari ribut. "Ehhh, bagudung! Udah kau yang salah. Pake menyalahkan orang lain pula, muncungmu itu!" bentak Kak Butet sengit. Dia dan Bu Saidah, masih setia berdiri di dekat para perusuh itu."Kenapa jadi salahku? Aku hanya ingin, desa kita ini terhindar dari musibah karena zinah. Aku hanya antisipasi. Seharusnya kalian bersyukur karena aku cepat tanggap. Bukan menyalahkan kami seperti ini!" gerutu Ratna."Tapi, tak seharusnya kau, memanggil masa. Masih bisa ditanyakan baik-baik. Apalagi, kalian bertetangga tepat di samping rumah. Jika sudah dibicarakan baik-baik tapi mereka tidak mendengarnya barulah bisa memanggil masa. Ini, belum tau apa yang sebenarnya terjadi, main panggil warga aja. Mana
"Kalau lagi nyayur, jangan sambil cemberut gitu dong!" tegur lelaki bertubuh bak model majalah, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, sepertinya dia habis keramas. Padahal tadi malam kami kan, nggak ngapa-ngalain.Aku tidak menjawab perkataannya. Malas, masih jengkel dengan kejadian semalam. Kepalaku masih dipenuhi dengan bayangan Bang Ilyas sedang bermesraan dengan lelaki lain.Jika biasanya saingan istri adalah wanita lain. Kali ini aku beda. Sainganku lelaki juga. Hadeuuhh, parah ini. Pasti susah menyadarkannya.Hiihhh, serem juga sih. Kalau selama ini dia GGB (ganteng ganteng belok)."Senyum dong! Nanti yang dimasak rasanya nggak enak, kalau bibirnya mencucu gitu!" ucapnya sambil memelukku dari belakang. Hidungnya yang mancung seperti pinokio menempel pada tengkukku. Dia terus menendus seperti kucing. Isssshhhh!"Adek, kenapa sih? Kok dari tadi diam aja?" tanyanya, semakin erat memeluk.Kecupan-kecupan kecil terus ia hujani di tengkuk hingga pundak yang kebet
"Sepertinya, Abang, pengen kita pindah rumah, Dek. Di sini udah merasa tak nyaman dengan tetangga sebelah." Bang Ilyas membuka obrolan setelah Ratna pergi dari kediaman kami.Ya, wanita itu, pergi dengan mulut mengomel disepanjang jalan. Dia terus memaki tak jelas dan menghentak-hentakan kaki."Mmmm. Gimana, ya Bang! Rumah ini, masih panjang kreditannya. Kalau dilepas, sayang juga." Aku bersusah payah membelinya. Bahkan harus memperjuangkannya saat berpisah dengan Mas Dendi. Masa sekarang harus dilepas begitu saja. Rasanya tidak rela."Dek, kamu oper kredit aja sama yang mau, atau dikontrakan. Nanti, kita beli rumah jauh dari sini, biar sekalian jauh dari mereka. Abang sudah bosan terus-terusan diganggu. Dulu, sebelum kita menikah, kamu dan Karin juga diganggu kan?" tanyanya.Memang benar yang dikatakannya. Aku selalu diganggu dengan tetangga samping rumah. Dari semenjak mereka pindah ke samping, selalu aja ada masalah yang menimpaku dan merekalah biang keroknya. Entah apa maunya.Ak