Terima kasih sudah membaca ~ Jangan lupa tinggalkan jejak~
Jevan berlari ke ruang ICU dengan napas tak beraturan. Ia mendekati Ayah Haris yang duduk termenung di kursi. “Ayah!” panggil Jevan. “Nak,” Ayah Haris berdiri dan memeluk putranya erat. “Gimana keadaan Mamah. Yah?” tanya Jevan khawatir. Ayah Haris menggeleng sebagai jawaban. Jevan mengerutkan dahinya menatap wajah sedih sang Ayah. “Ibumu tidak bisa di selamatkan,” ucap Ayah Haris menatap putranya sendu. Jarvis menggeleng ragu, “Gak mungkin! Ayah pasti bohong!” bentak Jevan kesal. “Kamu bisa masuk ke dalam,” ucap Ayah Haris lirih. Jevan menggigit bibir bawahnya, ia menatap Ayahnya berharap, “Tolong Tarik ucapan Ayah tentang Mamah,” pintanya. “Nak, kalau kamu tidak percaya…” ucap Ayah Haris berusaha tersenyum untuk menenangkan putranya, “masuklah ke dalam.” Jevan mengusap air matanya yang terjatuh dengan kasar. Ia melangkahkan kakinya ke ruang ICU. Makin mendekat ke ruang ICU, langkahnya makin berat. Jevan membulatkan matanya melihat kondisi Ibunya. Tubuhnya kaku, dingin, dan
“Ibu ngapain disini?” tanya Rara was – was. Ibu Windia menyadari ekspresi was – was sang anak, “Ibu mau menginap disini.” Rara terdiam beberapa menit, ia harus berpikir matang – matang, “Hanya menginap saja?” Ibu Windia menggeleng, “Ibu mau bercerita tentang masa lalu padamu. Supaya kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya.” Naren yang mendengar perkataan Ibu Windia melirik ekspresi Rara. “Ini sudah malam dan aku udah mau tidur,” alasan Rara. “Besok pagi kita bisa mengobrol kan, Nak? Tolong, kasih Ibu kesempatan untuk menjelaskan,” pinta Ibu Windia dengan tatapan memohon. Rara menghela napas, “Baiklah. Ibu hari ini tidur di kamar tamu aja ya, tidak apa Bu?” “Tidak apa, terima kasih ya Rara,” ucap Ibu Windia. Ibu Windia melewati Rara dan Naren sembari mengkode pada sopir untuk mengikuti langkahnya. “Apa perlu saya menemani Nona untuk diam disini?” tanya Naren. Rara tersenyum, “Gak usah, Ren. Gue bisa sendiri kok,” tolak Rara. Naren mengangguk, “Baik. Saya pulang ya, Non,” pamit
Ayah Zarhan meneguk kopinya. Ia menatap datar Naren yang berdiri di depannya dengan tegap. “Kenapa kamu baru mengabari tadi pagi?” tanya Ayah Zarhan sembari meletakan cangkir di meja. Pria itu tak paham dengan pikiran Naren yang mengabarinya pagi tadi mengenai sang istri yang menginap di rumah Rara. “Saya minta maaf, Tuan,” ucap Naren menuduk. “Saya tidak butuh itu,” tanggap Ayah Zarhan dingin. “Kenapa kamu membiarkan wanita itu menginap di Rara? Bukankah kamu pengawalnya?” “Saya minta maaf, Tuan,” Naren lagi – lagi mengulang ucapannya. Ayah Zarhan menatap Naren tajam, “Itu tidak menjawab pertanyaan saya.” “Saya min-“ Prang! Naren terdiam dan menahan napas, saat cangkir tiba – tiba saja terbang, nyaris saja mengenai wajahnya. “Jelaskan yang benar. Kalau kamu tidak mau saya pecat,” ucap Ayah Zarham dingin. Naren menatap atasannya kemudian mengangguk, “Saya sengaja tidak memberitahu anda, Tuan. Karena saya pikir Nona Rara butuh waktu berdua.” “Mereka tidak perlu seperti itu. Sa
Rara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia menatap Naren dengan wajah khawatir, “Kenapa? Lo ada masalah di rumah?” Naren menjawab dengan gelengan. Keduanya sudah sampai di depan rumah Naren. Kalau Rara lihat, rumah Naren termasuk rumah yang mewah dibandingkan dengan rumahnya yang lama. “Orang tua saya sudah meninggal saat saya SMP,” tutur Naren. “Jadi lo tinggal sendiri?” tanya Rara. Naren mengangguk, “Kemudian Tuan Besar mengajak saya untuk bekerja dengannya. Jadilah saya disini untuk menjaga Nona.” Rara menatap Naren yang bercerita tanpa beban. Seolah, ia sudah melepaskan semua hal yang terjadi dengan hidupnya. Naren menatap rumahnya yang tanpa penerangan. Naren tak berniat menawarkan Rara untuk masuk ke rumahnya. “Pizzanya entar lagi sampai. Ayo balik ke rumah,” ajak Rara sembari melangkahkan kakinya ke rumahnya. Naren mengangguk, “Non, alasan saya menolak karena saya khawatir ada orang yang memfoto dan menyebarkan fitnah. Itu bisa merusak reputasi Tuan Besar,” ungkap Naren
Rara menatap Jevan dengan senyum palsunya, ia menjawab, “Gue gak apa. Lo baru datang?” Jevan menyamakan langkahnya, “Iya. Gue tadinya ragu mau datang ke sekolah atau enggak,” ucap Jevan mengangkat bahunya. Rara terdiam mendengar ucapan Jevan. Ia menoleh sebentar pada lelaki di sampingnya. “Jev, pulang sekolah gue mau ngomong sesuatu,” kata Rara. “Ngomong apa?” tanya Jevan sembari menyapa murid yang tersenyum padanya. Rara menghela napas. “Lo ada waktu ga?” Rara malah balik bertanya. Jevan mengangguk, “Ada. Dimana ngomongnya?” “Di Kafe Real Taste. Lo keberatan ga?” tanya Rara. Jevan tersenyum kecil, “Sama sekali tidak, Ra.” Keduanya masuk ke kelas. Untungnya, guru pelajaran pertama hanya memberikan tugas dikarenakan sakit. Rara mendekati Sandra yang sibuk memainkan ponselnya. Ia ingin mengobrol dengan gadis itu. “Lo udah tugas yang kemarin?” tanya Sandra tanpa menatap Rara. “Udah. Tumben, lo gak nanya ke gue,” sahut Rara. Sandra berbisik pelan pada Rara, “Jawabannya ada di i
Rara menatap punggung Jevan yang menjauh dari pandangannya. Rara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangisnya. Sebenarnya, ia sudah siap akan tanggapan terburuk Jevan. Tetapi, rasanya tetap menyakitkan mendengar kata ‘kecewa’ dari Jevan. Suara langkah kaki terdengar masuk ke kafe. ‘Jangan nangis, Ra.’ Batin Rara. Rara menundukkan kepalanya, ia takut mengganggu pengunjung kafe lain. Rara dapat merasakan sesuatu menutupi kepalanya. Rara mendongkak, ia menemukan Naren menutupi kepalanya dengan jasnya. Tangan Rara hendak melepaskan jas hitam itu. “Jangan dilepaskan, Non,” bisik Naren pelan. Rara mengangguk. “Gue ingin pulang,” katanya pelan. “Saya ada perlu dengan manager disini. Nona bisa berjalan sendiri ke mobil?” tanya Naren peduli. Rara menatap Naren bingung, “Lo mau apa?” tanya Rara berusaha tak menangis. “Nanti saya jelaskan. Nona, perlu saya antar?” tanya Naren. “Gue sendiri aja. Kunci mobilnya mana?” tanya Rara mengulurkan tangannya. Naren memberikan kunci mobiln
“Ren, gue emang jahat ya?” tanya Rara sendu. “Gue bahkan bikin orang tua gue bertengkar. Kadang gue mikir, sebaiknya gue gak perlu tahu tentang mereka.” Naren hanya berdiri tegap. Bingung untuk membalas ucapan gadis di depannya. “Atau sebaiknya gue bunuh di-“ Naren menarik tubuh Anes ke dalam dekapannya. “Jangan, Non…” ucap Naren pelan. “G-gue gak tahu harus gimana, Ren. Hidup gue makin kacau,” balas Rara menahan tangisnya. Naren menggeleng sebagai tanggapan. “Tidak, Non. Hidup Nona tidak kacau,” ucap Naren berusaha menenangkan gadis yang berada di dalam pelukannya. “Pertama, nyokap bokap yang bertengkar. Kedua, Jevan kecewa sama gue. Entah kesialan apa lagi yang terjadi sama gue…” ucap Rara parau. “Lo juga sering banget celaka kalau di dekat gue,” kata Rara pelan. Naren hanya dapat mengelus punggung Rara, berusaha menenangkannya. Ia tak mau salah berbicara. “Saya buatkan sarapan ya, Non,” kata Naren sembari melepaskan pelukannya. Kedua mata Rara sudah berkaca – kaca. Ia meng
Sandra meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, meminta Naren untuk tidak mengeluarkan suaranya. Sandra berbisik pelan, “Gue mau main sama Rara.” Naren menatap Sandra, kemudian ia menarik tangan gadis itu agar bisa leluasa berbicara. “Lo tahu darimana alamat Rara?” tanya Naren menatap gadis di hadapannya curiga. Sandra terkekeh kecil, “Santai dong. Gue suruh orang buat cari tahu,” kata Sandra. “Oh terus ketemu alamat ini ya,” ujar Naren. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya di dinding. Sandra menoleh pada Naren, “Lo kok pakai baju begitu?” tanya Sandra penasaran. Sandra menatap Naren dari atas ke bawah, laki – laki itu hanya memekai kemeja formal dan celana formal. “Kaya orang abis pulang kerja,” komentar Sandra jujur. Naren menatap dirinya sendiri, ia menggaruk tengkuknya. “Terserah gue,” balas Naren singkat. “Lo ada masalah sama Rara?” celetuk Sandra. Naren menggeleng. Matanya sesekali melirik belakang Sandra, khawatir Rara selesai di taman belakang. “Terus ngapain nginti