"Mamah?" tanya Rara memastikan.Wanita yang memakai masker itu melepaskan maskernya. Ia mengulas senyum dan menatap Rara."Kamu sudah pulang dari sekolah?" tanya Iby Windia.Rara memaksakan senyumnya. Ia menatap sopir dan pengawalnya. "Kalian bisa pergi. Aku sama mamah aku," kata Rara."Tapi, Non -""Gak apa, Pak," sela Rara tersenyum.Pengawal dan sopir berkontak mata sebentar, kemudian berlalu dari hadapan Rara dan Ibu Windia."Ibu mau masuk dulu?" tanya Rara.Ibu Windia menatap Rara dari atas ke bawah. "Bu?" panggil Rara ragu."Iya, sayang?" tanya Mamah Windia."Ayo masuk dulu," jawab Rara. Sepasang ibu dan anak itu masuk ke kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica dan Bibi Nia yang menatapnya khawatir."Ibu ingin berbicara berdua denganmu. Apa boleh?" tanya Ibu Windia menatap sekitarnya."Boleh kok, Bu," tanggap Rara."Tanpa pengawal dan pelayan di sekitarmu," sambung Ibu Windia."Kalau itu ...""Ibu tahu kalau ibu memang memperlakukan kamu dengan buruk. Tapi, Ibu harap kamu bisa
Suara ketukan mengalihkan keduanya. Naren melangkah ke pintu, ia membulatkan matanya melihat sosok di depannya "Loh Nona ngapain disini?" tanya Naren bingung. "Hai Naren," sapa Rara ceria. Rara segera masuk ke dalam ruang inap Naren. Ia tersenyum tipis melihat Fajar yang tampak terkejut dengan kehadirannya. "Halo Fajar," sapa Rara. "Halo Nona Rara," balas Fajar sopan. "Kamu disini yang jagain Naren?" tanya Rara seraya melangkah ke sofa untuk duduk. "Iya Nona," jawab Farjar. Naren duduk di sofa single. Ia menatap Rara yang datang tanpa memberitahu dirinya. "Kenapa gak bilang ke saya kalau Nona akan datang? Saya bisa meminta bawahan saya untuk menjemput Nona," tanya Naren. "Gue pingin cerita sama lo," balas Rara tak mengindahkan pertanyaan Naren. "Saya akan membeli minum terlebih dahulu," kata Fajar yang sadar diri kalau Naren butuh waktu untuk mengobrol dengan Rara. Setelah Fajar pergi, Naren menatap Rara dengan tanya. "Cerita apa, Non?" tanya Naren. "Nyokap gue ngaja
Rara duduk di bangkunya seorang diri. Ia hari ini akan dijemput oleh suruhan sang ibu dan ia akan mengambil beberapa buku dan perlengkapannya terakhir mereka datang ke rumah sang ibu. Sandra dan Jevan sudah pulang terlebih dahulu karena mereka akan mengikuti rapat ayah masing - masing."Orang suruhan Ibu ternyata lama ya," gumam Rara menguap lebar. Rara membaringkan kepalanya di atas meja. Ia memang diminta untuk menunggu di kelas, padahal ia bisa saja menunggu di pos satpam. Sayangnya, sang ibu memintanya untuk menuruti perintah wanita itu."Gue bisa ketiduran nih entar," monolog Rara."Nona Rara?" tanya seorang pria yang menggunakan jas hitam."Iya saya Rara. Apa anda adalah orang yang dikirim Bu Windia?" tanya Rara buru - buru bangkit dari duduknya kemudian mendekati pria itu."Maaf karena saya terlambat," sesal pria itu."Tidak apa, Pak," sahut Rara tak enak."Mohon jangan beritahu Nyonya Besar ya, Non. Tadi ban mobil bocor sehingga saya harus ke bengkel terlebih dahulu," jelas p
"Loh Ibu Sri," ucap Ayah Haris terkejut melihat wanita setengah abad itu. "Pak, saya minta maaf karena Ibu ini langsung menerobos. Padahal saya sudah meminta beliau untuk membuat janji terlebih dahulu," sesal Yuni membungkuk sopan. "Tidak apa, Yuni. Kamu bisa kembali ke mejamu," perintah Ayah Haris. Jevan menatap Bu Sri yang terlihat angkuh dan sombong. Lelaki tampan itu paling membenci sifat seperti itu. "Bu Sri, silakan duduk dulu," ucap Ayah Haris ramah. "Dari tadi seharusnya, saya sudah lelah berdiri," tanggap Bu Sri judes. Jevan melirik Bu Sri sekilas, "Yah, aku mau pulang dulu ya," pamit Jevan ingin segera keluar dari ruangan sang ayah yang terasa sesak. "Kenapa, Nak?" tanya Ayah Haris yang tak peka. "Kamu mau menghindari saya Jevan?" tanya Bu Sri. "Saya gak menghindari Tante," balas Jevan. "Kalau begitu duduk. Saya mau membahas sesuatu, rasanya percuma kalau orang yang akan dibahas pergi seenaknya begitu. Seolah tak punya sopan santun," papar Bu Sri. Jevan menatap
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Bu Windia. "Maksud Ibu apa?" tanya Rara seraya mengerutkan keningnya. "Bukankah yang meneloponmu tadi adalah pacarmu?" tanya Bu Windia balik. "Ah itu, Ibu salah sangka. Tadi itu cuman teman satu kelas aku," jawab Rara. "Siapa? Apa Ibu tahu orangnya?" tanya Bu Windia, penasaran. Rara terdiam beberapa saat, ia tampak berpikir lebih jauh untuk ke depannya. Meskipun, ia yakin sang Ibu akan mencari tahu sendiri, jikalau ia tak memberi tahu. "Jevan, Bu," terang Rara. "Ah anak itu, anaknya Pak Haris ya," tanggap Bu Windia. "Baguslah, kamu tak bergaul dengan pengawalmu itu lagi." Rara menghentikkan suapannya, ia menatap Bu Windia bingung. "Maksud Ibu pengawal aku yang mana?" tanya Rara. "Itu yang selalu bersamamu. Kamu kan sering bersamanya," jawab Bu Windia. "Namanya Naren, Bu. Ibu kan tahu kalau dia lagi dalam masa pemulihan," ucap Rara. "Iya Ibu tahu," balas Bu Windia. "Lagian kalau dia sudah sembuh, aku akan bersama dia lagi. Dia itu adala
"Makasih Bu, sudah mengantar aku ke sekolah," kata Rara menatap wanita di sebelahnya.Bu Windia menatap Rara, kemudian ia mengulas senyum. Wanita itu mengelus surai hitam Rara."Sama - sama, Rara," balas Bu Windia.Rara menyalami sang Ibu, ia kemudian turun dari mobil sedan itu."Rara, hari ini Ibu tak bisa menjemput kamu. Pulanglah dengan Jevan ya," ucap Bu Windia.Rara menjawab, "Aku akan bilang nanti ya, Bu.""Baiklah, kamu belajar yang benar ya," pesan Bu Windia.Rara mengangguk, ia kemudian membungkuk sopan seraya melambaikan tangannya. Rara menatap kepergian mobil sedan itu. "Wih, lo diantar siapa tuh?" tanya Sandra yang baru turun dari mobilnya."Itu Nyokap gue," jawab Rara.Sandra membulatkan matanya, terlihat jelas di wajah cantiknya kalau gadis itu terkejut akan ucapan Rara. "Nyokap? Lo uda baikan sama beliau?" tanya Sandra."Iya, sekarang lagi proses," tanggap Rara.Sandra tersenyum tipis melihat wajah Rara, ia mengalungkan tangannya di tangan Rara. "Lo kelihatan bahagia
Rara memberikan helm pada Jevan. "Makasih udah ngantar gue balik ya," kata Rara mengulas senyum. Jevan mengangguk, "Lo kelihatan senang. Hari ini ada hal baik?" tanyanya.. Rara terdiam beberapa saat, ia kemudian menggeleng kecil. Gadis itu memilih untuk tak memberitahu Jevan perihal pulangnya Naren. "Gue hari ini bakalan balik ke rumah utama yang dikasih bokap," terang Rara. Jevan tersenyum kecil, "Perlu gue antar kesana?" "Gak usah. Gue emang mau pulang malam entar kok," jawab Rara. "Kabarin gue ya," pinta Jevan. "Kabarin apa?" tanya Rara bingung. "Lo pulang dari sini. Gue mau antar lo," jawab Jevan. "Gue kan udah bilang gak usah," kata Rara. "Lo sama siapa entar kesananya?" tanya Jevan menatap Rara penasaran. "Gue balik sama taksi kayanya," sahut Rara tak yakin. "Atau bisa minta tolong nyokap antar gue, kalau gak lembur." "Tuh kan. Sama gue aja ya," bujuk Jevan tak menyerah. "Kenapa mau antar gue? Lagian gue -" "Karena gue peduli sama lo dan gue gak mau lo dalam baha
Jevan mengikuti langkah Rara dari belakang. Lelaki itu tersenyum kecil, melihat Rara yang tampak sibuk dengan memilih barang yang ada di depannya. "Lo ngasih kado buat siapa?" tanya Jevan menyamakan langkahnya dengan Rara. Rara menoleh pada Jevan, ia tersenyum manis. "Cuman untuk orang yang gue kenal," tanggap Rara. Jevan terdiam beberapa saat, ia kemudian mengangguk kecil. "Apa gue kenal sama orangnya?" tanya Jevan, penasaran. "Kenapa lo penasaran?" tanya Rara. "Gue enggak penasaran," sanggah Jevan. Rara mengambil sepatu putih di depannya. Ia menunjukkan sepatunya pada Jevan, "Apa ini cocok untuk orang yang mau gue kasih?" tanya Rara. "Iya itu bagus. Sepatu olah raga banyak fungsinya," jawab Jevan. Rara membawa sepatu putih itu ke kasir. Gadis itu meletakkan sepatu putih itu ke kasir. "Tolong bungkus ini," ujar Rara. Pelayan kasir itu mengangguk. Tangannya mulai sibuk d