Terima kasih sudah membaca~ Jangan lupa tinggalkan jejak~
Rara melambaikan tangannya pada Sonia. Ia berpisah dengan sahabatnya karena berbeda arah. Sonia sudah menawari Rara untuk diantar. Sayangnya, gadis itu menolak. Rara melangkahkan kakinya ke halte bus. Rara menyalakan ponselnya yang sejak tadi ia matikan. Ia mengerutkan keningnya ketika layar ponselnya tidak menyala. “Jangan bilang habis,” gumam Rara sembari menekan tombol hidup di ponselnya. Rara meneguk ludahnya kasar karena ponselnya tak kunjung menyala. Ia memperhatikan sekelilingnya jalanan terlihat sepi. Ia menatap jam tangannya, sudah jam 9 malam. Rara duduk di kursi yang ada di halte bus. Ia menghela napas, perasaannya tak tenang. “Gue harus kemana?” tanya Rara bingung. “Gue gak tahu rumah Sonia.” Ia tidak membawa uang sedikitpun. Rara tadi membayar ojol dengan isi dana yang masih tersisa. “Apa gue ke rumah lama aja?” monolog Rara. Akhirnya, Rara memilih untuk ke rumah kecilnya. Tidak sampai 15 menit, Rara sudah sampai di rumah lamanya. Beruntung, kediaman lamanya dekat.
“Mereka ngapain?” tanya Rara menatap dari teras rumah para pria yang kemarin sempat membuatnya takut. Bibi Nia dengan takut menjawab, “Bibi bingung jelasinnya.” Rara menoleh pada Bibi Nia, “Aku harus nanya ke Naren?” tanya Rara. Ia mencari sosok Naren yang tidak dapat ia temukan. “Naren sedang berlari selama lima puluh keliling,” sahut Bibi Ica yang sejak pagi memperhatikan kegiatan kelima pengawal itu dan Naren. “Lima puluh? Terus mereka berapa?” tanya Rara menoleh pada Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanannya. “Bibi tidak tahu, Non. Naren selalu lebih banyak dibanding bawahannya, itu sebagai bentuk hukuman untuknya sendiri,” jawab Bibi Ica. “Tapi, dia bisa pingsan,” gumam Rara khawatir. “Apa Nona akan tetap melihat kegiatan mereka?” tanya Bibi Nia. Rara memandang mereka semua dari jauh. Ia menatap pohon rindang yang kira – kira bisa membuatnya berteduh. “Aku bisa lihat dari situ gak?” tanya Rara sembari menunjuk pohon rindang itu. “Aku akan ambil kursi dulu.” “Nona yakin?”
Rara tertawa meremehkan, “Sok tahu lo,” tanggap Rara. “Saya perlu menjelaskan semuanya tentang mereka sekarang ya,” kata Naren menatap kedua pelayan yang berdiri di belakang Rara. Lelaki itu mengkode kedua pelayan itu untuk memberi jarak untuk keduanya. “Kita permisi dulu ya, Non,” izin Bibi Ica. Bibi Ica dan Bibi Nia berlalu dari samping Rara. Rara menatap kelima pria itu. “Kalian boleh istirahat dulu,” kata Rara menyinggungkan senyumnya. Terdengar helaan napas lega dari kelima pengawal itu. Naren menatap datar kelima pengawalnya, “Tidak. Berdiri di depan pohon rindang itu,” perintah Naren. “Naren!” sentak Rara kesal. Naren menoleh pada Rara sebentar, kemudian matanya kembali fokus menatap bawahannya. “Kalian ngapain disini?” tanya Naren dingin. Kelima pengawal itu berlari kecil ke bawah pohon rindang. Kemudian berdiri di depannya, menatap pohon rindang itu. “Jadi, kita mulai darimana?” tanya Naren. Ia menatap ekspresi Rara yang kesal. Rara menghela napas panjang, “Lo gak kas
Jevan menyamankan posisi duduk di mobilnya. Ia membuka kotak itu perlahan. ‘Ini barang masa kecil gue ya.’ Batin Jevan menatap mainan mobil – mobillan yang dibelikan sang Ibu saat ia menginjak usia lima tahun. Jevan mengeluarkan berbagai mainan masa kecilnya. Dimulai dari mobil mainan, action figure favoritnya, dan robot yang bisa berubah menjadi mobil. Jevan tersenyum sendu melihat mainan masa kecilnya. Jevan mengambil surat yang terletak di paling dasar kotak itu. Jevan menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan. ia berusaha mengatur detak jantungnya. Sret Halo Jevan, anak kebanggaan Ibu Kalau surat ini ada di kamu dan dibuka olehmu, artinya kamu sudah berhasil menemukan tempat terpencil ini. Jalanannya rusak ya. Kamu pasti kesulitan menghadapi rintangan. Mobilmu tidak apa, kan? Jevan menutup surat dari Ibunya. Ia terkekeh kecil membacanya. “Mobil aku gak apa, Bu,” tanggap Jevan sembari kembali membuka surat dari Ibunya. Sayang… Ibu minta maaf ya sudah meni
Naren membungkuk sopan pada pria di depannya. “Maaf, saya datang terlambat,” kata Naren sopan. “Apa saja yang kamu lakukan dari kemarin?” tanya pria itu dingin. Naren mengangkat kepalanya. “Saya sibuk akan tugas –“ Prang Naren menahan napasnya melihat atasannya melemparkan vas bunga ke lantai hingga pecah. “Kamu! Akhir – akhir ini kerjamu berantakan!” sentak pria itu kesal. Naren menundukkan kepalanya mendengar emosi yang meledak dari atasannya. “Saya memang salah. Tapi, saya sudah mendapatkan rekomendasi tempat untuk makan malam,” kata Naren pelan. “Ambil itu, Na,” perintah Tuan Zarhan pada sekertarisnya yang bernama Naziah. “Baik, Bos,” sahut sekertaris itu sembari mendekati Naren. Naziah memberikan map pada Tuan Zarhan. Sekertaris itu mengambil posisi berdiri di samping atasannya. Tuan Zarhan membaca dengan tenang isi map itu. Pria setengah abad itu tak mau melewati detail yang ada dari masing – masing tempat. “Saya akan kesini dengan keluarga inti,” terang Tuan Zarhan me
Rara meneguk jus tomatnya pelan. Ia dan Jevan sudah selesai makan. Rara melirik Jevan yang mengeluarkan ponselnya. Jevan menunjukkan layar ponselnya pada Rara. “Gue kemarin kesini. Ini tuh tempat loker yang ada maknanya,” cerita Jevan memulai pembicaraan. Rara manggut – manggut mengerti. Ia menatap Jevan yang kembali menarik ponselnya. “Di kertas yang lo kasih ada alamat yang harus gue datengin. Pas gue kesana, gue dikasih tahu sama pemiliknya kalau Nyokap kesana…” Jevan menjeda ucapannya. Rara dengan hati berdebar menunggu kelanjutan cerita Jevan. “Nyokap gue kasih gue kotak. Isinya kaya surat perpisahan…” lanjut Jevan setelah menghela napas. “Nyokap gue juga bilang kalau lo emang gak bisa kasih tahu tentang penyakitnya.” Rara menatap Jevan yang tampak berkaca – kaca. Rara mengeluarkan tisu dari tasnya dan memberikan pada lelaki di depannya. “Gue minta maaf, Ra. Udah emosi dan nyalahin lo atas segalanya,” sesal Jevan menunduk. “Lo gak usah minta maaf, Jev. Gue pun sadar kalau
Jevan membeku mendengar ucapan sang ayah. Ia mengerutkan keningnya. “Ayah tahu kalau Ibu punya penyakit?” tanya Jevan selidik. Ayah Haris tersenyum hangat menatap putranya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. “Kenapa…kenapa Ayah gak bilang ke aku?” tanya Jevan lemah. Ayah Haris menghela napas panjang. Ia menatap bingkai foto yang terletak di atas meja kerjanya. “Awalnya, ayah pun gak tahu, Nak. Ibumu tiba – tiba meminta berpisah rumah…” sahut Ayah Haris menggantungkan ucapannya. “Terus gimana lagi?” tanya Jevan tak sabar. “Ayah menyelidiki ke rumah Ibumu, meski semua pelayan membungkam mulut,” terang Ayah Haris. “Lalu, Ayah bertemu dengan dokter yang menangani Ibumu. Akhirnya, mereka ngaku setelah Ayah paksa.” “Terus Ayah gak berusaha bujuk Ibu?” tanya Jevan berharap. “Ayah berusaha, Jev. Tapi, Ibumu tak mendengar dan selalu menolak,” ungkap Ayah Haris. “Ibu gak benci aku kan?” tanya Jevan. “Tidak, Nak. Dia sangat menyayangi kamu, Ibumu takut kalau kamu tahu tentang penyakitny
Naren masuk dengan perlahan. Di belakangnya, Rara mengikuti dengan menggenggam erat parfum yang berisi bubuk cabai. Rara menutup mulutnya melihat kondisi ruang tamu Panti Asuhan Bahagia. Buku berserakan, vas bunga yang pecah, dan bingkai foto yang retak. “Apa yang terjadi disini?” tanya Rara kaget. Rara memunguti bingkai foto yang retak, ia menatap sendu wajah orang yang ada di foto. “Nona, saya rasa di dalam ada suara yang menangis,” kata Naren menatap langit – langit ruang tamu. Lelaki itu mencari CCTV. “Lo ikut masuk ke dalam?” tanya Rara. Naren mengangguk. Lelaki itu berjalan terlebih dahulu, Rara di belakangnya berlindung. “Saya rasa aman, Non,” kata Naren memperhatikan sekelilingnya. Rara berlari ke taman belakang. Ia mendapati Bu Unike dan Jessica yang menyapu pecahan piring. Resti menenangkan Darel yang menangis keras. “Ibu!” Rara berlari kecil mendekati Bu Unike. Bu Unike menoleh pada Rara, wanita cantik itu tampak terkejut. “Rara..” gumam Bu Unike. “Apa yang terjadi