"Kalian nggak polosan, kan? Pake baju, kan? Mama tutup mata Hafiz nih. Buruan!" Suara Mama masih terdengar."Aaargh!" Mas Fariz mengerang frustrasi. Dia bangkit meski enggan, lalu berjalan menuju pintu.Sementara aku hanya bisa duduk membeku, sembari mengaitkan kembali satu kancing piama yang sempat terbuka."Apa, sih, Ma?!" sentaknya sembari membuka pintu."Kan, kan, uring-uringan. Ya, maaf kalau kita ganggu. Habis nih bocah ngerengek mulu pengen ketemu kamu.""Om Faiiiz." Suara Hafiz terdengar. Lirih dan dalam, seperti menahan tangis.Mas Fariz menghela napas panjang. Dia menyisir rambutnya sejenak."Ya udah. Sini masuk!" Diulurkannya tangan yang langsung Hafiz genggam. Melihat wajah polos bocah berumur tiga setengah tahun itu Mas Fariz langsung melunak. Dia membawa Hafiz menghampiriku."Maaf ganggu, ya, Ci. Cuma hari ini aja, kok. Besok dia pulang." Mama melongokkan kepala di antara celah pintu. Tersenyum sungkan."Iya, nggak apa-apa, kok, Ma!" Aku membalas senyumnya. Perlahan Mama
Kami tiba di Tangerang Selatan, tepatnya salah satu perumahan yang sudah ditinggali Mas Ali dan Farah sejak lima tahun lalu. Mobil yang Mas Fariz kendarai berhenti di depan halaman rumah tingkat dua dengan gerbang setinggi tiga meter.Seorang asisten rumah tangga membantu menbukakan gerbang. Sementara Farah muncul dari balik pintu, tampak kepayahan dengan perutnya yang sudah membesar."Umiii ...!" Hafiz yang baru saja turun langsung berlari menerjang tubuh Farah. Aku mengekor di belakang, sementara Mas Fariz membantu asisten rumah tangga Farah menurunkan barang bawaan. "Maaf ngerepotin, ya, Mbak. Nggak tahu ada angin apa dia tiba-tiba pengen nginep sama Omnya. Mas Ali bahkan sampe kewalahan nanganinnya." Farah menggenggam tanganku, kentara sekali dia sungkan dan tak enak, karena Hafiz."Nggak apa-apa, santai aja, Far. Kayak ke siapa aja." Aku tersenyum lebar, meski terkesan dipaksakan. Entah kenapa masih ada yang berontak dalam diri saat mengetahui fakta bahwa lima tahun kulewati den
"Ada apa, nih ribut-ribut?" Mas Fariz tiba-tiba datang.Entah kenapa aku bersyukur kehadirannya seketika meleyapkan atmosfir suram yang sempat tercipta di antara kita bertiga."Nggak ada," ucap Mas Ali sembari menatapnya datar. "Ngomong-ngomong makasih udah anterin Hafiz dan bantu bawa barang-barangnya. Kalau dirasa sibuk, kalian bisa pergi lagi!" tambahnya kemudian."Lu ngusir kita?" Mas Faris mulai ngegas."Saya nggak bermaksud kayak gitu. Mungkin Mas Fariznya aja yang ngerasa," balas Mas Ali masih dengan nada yang sama datarnya. Hal itu jelas membuat Mas Fariz semakin terpancing."Kelakuan lu makin lama, makin menggemaskan kepalan tangan aja, ya, Li." Dia mulai meradang. "Mau yang sebelah mana? Kanan atau kiri?" Mas Fariz mulai mengepalkan tangannya."Nggak dua-duanya.""Anj--""Mas!""Fariz!"Suara kami serempak memanggil orang yang sama. Namun, semuanya kalah dengan suara Papa yang jauh lebih lantang dan menggema.Pria patuh baya yang terlihat sangat berwibawa dengan tubuh tinggi
Mas Fariz melengos, menghampiri sekumpulan orang yang sejak tadi hening memerhatikan. Dia salami orangtua Mas Ali, lalu adik laki-lakinya yang kuketahui dulu baru masuk SMP, sepertinya sekarang Thoriq--adik laki-lakinya Mas Ali itu sudah menginjak akhir sekolah menengah. Waktu memang berlalu begitu cepat. Memang banyak yang terjadi lima tahun terakhir ini. Bahkan yang sebelumnya dekat, bisa tersekat. Sebelumnya akrab, bisa jadi pura-pura tak saling kenal. Kadang hidup memang selucu itu.Aku mengikuti di belakang. Sembari membatin mengagumi attitude Mas Fariz yang tak perlu diragukan. Bagaimana pun hubungannya dan Mas Ali, dia masih bisa begitu sopan pada orangtuanya."Bu!" Aku mencium tangan Hj. Risma. Wanita paruh baya berjilbab lebar yang hampir menjadi mentuaku itu hanya tersenyum tipis, nyaris meringis."Ci!" Hanya itu kata yang keluar. Mungkin bingung harus menyapaku bagaimana. Mengingat apa yang pernah terjadi di antara aku dan anaknya.Mereka bertingkah persis seperti Mas Ali,
Setelah menginap sehari semalam, bersama dengan anggota keluarga yang lain. Tepatnya pagi ini acara syukuran tujuh bulanan Farah akan segera dilaksanakan. Masih di dalam kamar yang sama, aku dan Mas Fariz tengah bersiap-siap. Berdandan seadanya agar terlihat lebih rapi dan enak dipandang. Sementara di luar sudah terdengar suara seseorang tengah mengecek sound melalui microfoon, mengingat beberapa tamu undangan satu per satu mulai berdatangan."Kemarin malem Bobby nganterin apa, Mas? Kayaknya dia ngomel-ngomel sepanjang obrolan kalian." Aku bertanya saat Mas Faris tengah berdiri di depan cermin yang menempel di lemari hanya dengan handuk yang melingkar di pinggang, hingga menutup bagian bawah tubuhnya. Dia terlihat tengah menata rambut gondrongnya agar terlihat rapi diikat menggunakan gel. "Dia nganterin baju kita, Ci. Noh, udah gue simpen di lemari ini. Ambil, gih, terus langsung pake!" jawabnya masih dengan pandangan yang belum beralih dari cermin di hadapan. Dia hanya menatap pantu
Berbagai kecamuk perasaan benar-benar kurasakan selama dua bulan terakhir, sejak pernikahan pertama kali dilakukan dalam keadaan hati yang benar-benar berantakan. Selama menjadi istri Seorang Fariz Darmawan aku merasakan bagaimana diperlakukan spesial, dituruti segala kemauan, bahkan dimanjakan kapan pun ada kesempatan.Tak pernah lelah dia bertanya, apa aku nyaman? Apa Mama dan Papa memperlakukanku dengan baik? Atau ada sesuatu yang membuatku tertekan?Sepanjang dua bulan, tiap pulang kerja dia selalu menanyakan hal yang sama. Bahkan dengan limpahan perhatiannya aku lupa bagaimana rasanya kekurangan.Dia sangat sabar, pengertian, dan tak henti menyemangati saat aku merasa kecewa bahwa usaha yang sudah kami lakukan selama dua bulan terakhir masih belum juga berbuah manis, saat test pack yang beberapa kali kugunakan masih menunjukkan hasil yang sama. Negatif. Ternyata Allah masih menguji kesabaran kita dalam penantian menunggu sang buah hati datang."Packingnya udah selesai, Ci?" Kepa
Kami tiba di Bandara Juanda Surabaya setelah menempuh kurang lebih satu jam dua puluh menit melalui perjalanan udara. Di lokasi jemputan, sudah terdapat taksi yang akan mengantar kami langsung ke Lumajang. Rupanya tanpa sepengetahuanku Mas Faris sudah lebih dulu menyiapkan kendaraan jemputan yang dia pesan melalui aplikasi online.Karena acara pulang kampung mendadak ini sama sekali tak kami persiapkan. Walhasil, aku dan Mas Fariz hanya membawa satu koper ukuran sedang yang isinya barang kami berdua.Sepanjang perjalanan genggaman tanganku tak pernah Mas Fariz lepas. Sampai tangan kami berkeringat dan memerah pun dia seolah tak peduli selama memastikan hal itu cukup mampu untuk membuatku tenang.Perjalanan dua setengah jam pun kami lalui, melewati jalan Probolinggo-Wonorejo, hingga kami sampai di lokasi Rumah Sakit di mana Bapak dirawat."Minum dulu!" Mas Fariz menyodorkan botol air mineral yang sudah dia buka ke hadapanku, saat kami sampai di dalam lift menuju lantai lima.Tanpa kat
"Jadi, sekarang di mana mesinnya? Biar gue liat." Mas Fariz bertanya selepas kami menunaikan sholat Ashar di rumah. Setelah tahu tujuan baik menantunya untuk membantu, Ibu langsung meminta kami pulang lebih dulu agar bisa istirahat, sebelum besoknya disibukkan dengan segala kegiatan panen."Ada di gudang belakang. Mesinnya udah dua tahun nggak dipake, nggak tahu rusak apanya. Mau dibawa ke bengkel juga bingung. Soalnya nggak ada yang ngerti mesin kayak gitu di daerah sini. Padahal kalau pake Combine harvester (mesin panen multifungsi) mungkin bisa lebih cepet," tuturku sembari melipat mukena, lalu mengenakan jilbab instan yang tersedia."Bisa minta tolong tunjukkin?" pinta Mas Fariz.Aku mengangguk, lalu bangkit lebih dulu. Setelah mengganti sarung dengan celana panjang dia berjalan mengekori, hingga kami sampai di gudang belakang rumah. Tempat peralatan pertanian dan barang-barang Bapak biasa disimpan."Ini!" Kusibak terpal besar yang semula menutupi mesin seukuran mobil pikap terse