Setelah melewati berbagai macam perdebatan dan Bobby puas melampiaskan kekesalan sepanjang perjalanan. Akhirnya dia dan yang lainnya pasrah saat kami sampai di hamparan sawah milik keluarga yang terbentang seluas satu hektare. Jaket yang semula dikenakan kini sudah mereka tanggalkan hingga hanya menyisakan kaus dalam.Tubuh mereka yang rata-rata sekekar Mas Fariz dan juga bertato, jelas menjadi pusat perhatian seisi kampung. Banyak yang dengan sengaja mengikuti hanya karena penasaran apa yang akan dilakukan para lelaki berwajah sangar ini. Mereka mungkin tak percaya kalau setelahnya kelima orang yang diketuai suamiku itu langsung terjun ke sawah."Seumur-umur gue idup di dunia, baru kali ini ngerasain nginjek sawah," cetus Bobby."Daripada nginjek taik!" celetuk Mas Fariz yang membuat Bobby refleks menoyor kepalanya.Dia yang seolah tak peduli, melanjutkan lagi. "Dahlah, terima aja, itung-itung rekreasi," tambahnya sembari merangkul bahu Bobby."Rekreasi gundul, lo!" sentak Bobby emos
Saat kembali untuk mengantar makan, aku sudah mendapati Bobby dan Mas Fariz akhirnya akur kembali setelah keduanya sepakat menggunakan mesin secara bergantian. Aku cukup takjub melihat kinerja mereka, karena sampai dua jam ini setengah bagian dari keseluruhan luas lahan, sudah selesai digarap.Dibantu beberapa santriwati yang kukenal, kami menata makanan beralaskan tikar, di dalam rumah gubuk beratapkan jerami."Heh, kok lo nggak bilang kalau di sini banyak ukhty, mana bening-bening lagi," gumam Bobby pada Mas Fariz, saat aku dan dua santriwati lain menyajikan bakul nasi dan lauk-lauknya di hadapan mereka."Emang lu nggak liat gapura gede di depan yang tulisannya Pesantren Al-Huda?!" Mas Fariz balik bertanya dengan sedikit nada yang ditekan. Mungkin geram."Ya, maaf. Kita sampe tengah malem. Boro-boro merhatiin plang, muka Si Tebe aja keliatan burem.""Maaf?" Bang Tebe menginterupsi."Nggak usah tersinggung. Semalem gue emang rada puyeng."Bang Tebe hanya memutar bola mata, dan memili
"Dah, masuk, yuk!" Mas Fariz merangkul bahuku saat mobil yang dikendarai ke empat temannya itu benar-benar pergi."Bobby nggak bakal kenapa-napa, kan?" tanyaku yang khawatir dengan apa yang sudah Mas Fariz lakukan tadi."Nggak bakal, udah biasa kita becanda main tampol-tampolan, yang belum itu emang cuma bunuh-bunuhan.""Mas!" Aku mencubit perutnya yang keras. Dia malah tertawa, lalu mengigit bahuku dengan gemas."Hari ini nggak usah ke mana-mana, ya! Kita di rumah aja. Bapak sama Ibu juga baru pulang lusa, kan? Mumpung masih ada waktu dua hari buat berduaan," katanya dengan senyum misterius yang membuatku merinding tanpa alasan."Hari ini oke, tapi besok kita keluar." Wajah Mas Fariz langsung ditekuk."Ngapainlah? Mending juga di rumah.""Kita jalan, cari udara segar. Kunjungin sekitaran Surabaya sama Lumajang. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."Mas Fariz terdiam sejenak. Lekat dia menatap, sebelum akhirnya menjawab singkat."Oke."***"Ci, anduk!" Aku menghela napas panjang saat m
Setelah seharian berputar-putar dan singgah di beberapa tempat makan di Surabaya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk membawa Mas Fariz ke sini. Ke pusat pemakaman umum yang ada di daerah Surabaya.Dia yang sepertinya sudah tahu akan dibawa ke mana, tak mengeluarkan sepatah pun kata dan hanya bisa menggenggam tanganku sampai tiba di dua pusara dengan ukuran berbeda.Ferry Septian dan satu pusara mungil tanpa nama di mana bakal calon anak kami yang gugur sebelum lahir, dimakamkan."Hai, Fer. Gimana kabar di sana? Anak kita baik-baik aja, kan?" Kuletakkan sebuket bunga Lily di atas tanah merah yang dilapisi marmer hitam. "Kamu nggak perlu khawatir lagi, aku udah baik-baik aja. Ada Mas Fariz sekarang." Aku menoleh menatap lelaki yang sejak tadi membisu. Biasanya kalau datang ke sini air mataku pasti tak terbendung, tapi sekarang rasanya beda. Aku sudah lebih kuat dengan kehadiran Mas Fariz."Hai, Bro." Aku tertegun saat Mas Fariz tiba-tiba meletakkan tangan di atas nisan Ferry, lalu mul
"Mbak Uci!"Dia adalah Nisa, salah satu santriwati yang cukup dekat denganku."Ya, Nis?" Kami menghentikkan langkah tepat di akses jalan masuk menuju pelataran Masjid, tempat acara Tablig Akbar diadakan."Bisa minta waktunya bentar? Ada Akhi yang shodaqoh konsumsi dari Jakarta, tapi Ukhti Sarah koorditornya lagi berhalangan. Mbak Uci diminta kiyai Aziz buat wakilin? Soalnya beliau lagi ada tamu." Aku menoleh pada Mas Fariz. Meminta persetujuan."Lah, kenapa mesti tanya. Ya, bolehlah. Udah, sana! Gue bisa tunggu di sini," tukasnya sembari menepuk pundakku pelan.Kualihkan pandangan pada Nisa, lalu mengangguk pelan."Ya, udah, Mas tunggu di sini, ya. Nanti aku balik. Kalau ada apa-apa telepon aja.""Siap." Dia mengacungkan dua jempol, lalu mulai bergabung dengan yang lain. Mendengarkan ceramah Kiyai Natsir yang terkenal tersohor di antara para pemuka agama.Setelah memastikan Mas Fariz mengambil tempat di samping seorang bocah berumur tujuh tahunan yang menatapnya penuh rasa penasaran.
"Apa? Penjelasan apa lagi? Saya nggak butuh penjelasan apa pun. Pergi sekarang, Mas! Saya mohon, sebelum Mas Fariz kembali dan salah paham."Bukannya berangsur pergi, Mas Ali justru mengambil langkah mendekati."Ini tentang perjodohanmu dan Fariz!"Seketika aku terbungkam."Mungkin kamu nggak tahu kalau sebenarnya sayalah yang menyarankan Papa untuk mengajukan lamaran Mas Fariz untukmu beberapa bulan lalu."Deg!"Kamu juga nggak akan tahu gimana tersiksanya saya hidup dengan wanita yang nggak pernah saya cintai bahkan sampai detik ini. Tolong mengerti, Suci. Berhenti membenci saya seperti ini, karena nyatanya bukan hanya kamu yang korban di sini, tapi juga saya. Kita sama-sama tak berdaya dalam belenggu dunia, kita sama-sama anak yang tak ingin mengecewakan orangtuanya. Apakah saya salah saat mengambil jalan tengah dengan mengajukan poligami, daripada menghabiskan sisa hidup terus hanyut dengan dosa zina hati? Saat semua raga saya beri pada istri, tapi jiwa saya masih terus tertuju pa
Kupikir, perasaan bisa dengan mudah datang dan pergi, secepat angin membawa terbang daun kering dari tangkainya hingga tak terlihat di sekitarnya lagi. Kupikir, waktu bisa membiaskan rindu ketika temu yang berujung jemu berakhir pilu. Nyatanya perasaan memang tak mudah berubah, dan waktu tak selalu berhasil mengatur kapan dia bisa membolak-balikan hati setiap manusia dari kecewa menjadi bahagia, maupun benci yang berubah menjadi cinta.Aku hanya satu dari sekian wanita yang mencoba keluar dari belenggu masa lalu. Aku hanya seorang istri yang berusaha menjalankan kewajiban sesuai kemampuan diri meski belum sepenuhnya jiwa dan raga kuberikan pada sosok yang disebut suami.Dua setengah bulan ini aku bukannya tak pernah mencoba. Selalu, setiap waktu, sepanjang tujuh puluh lima hari ini aku tak pernah berhenti mencoba membuka hati, memberi sepenuhnya apa yang bisa dilakukan sebagai seorang istri, walau nyatanya di hati ini masih terpahat nama lelaki tak tahu diri bernama Ali.Tak bisa dip
"Yakin kita perlu ketemu beliau dulu?" Mas Fariz tampak ragu saat aku membawanya ke depan ruangan Kiyai Pondok.Aku mengangguk kecil."Mending nggak usahlah." Dia memutar tubuh hendak berlalu.Lekas kutarik lengannya, dan bersamaan dengan itu langsung mengetuk pintu. "Suci!" Setengah terpekik Mas Fariz memelotiku.Aku yang tak peduli langsung menyeretnya masuk."Assalamua'alaikum, Ki--"Kini aku yang tertegun saat menyadari sosok berpenampilan rapi mengenakan thawb atau gamis yang biasa dikenakan lelaki dari Negara Timur Tengah, sudah berdiri di samping Kiyai Aziz."Maaf, Kiyai. Saya nggak tahu kalau di sini ternyata ada Gus Hanan," lanjutku sembari menunduk sungkan."Nggak apa-apa, Ci. Kebetulan Hanan udah mau pergi," sahut Kiyai Aziz seolah mengusir ketidaknyamananku. "Mari, silakan, duduk!" Beliau langsung mempersilakan kami."Saya belum sempat menyampaikan, selamat untuk pernikahan kalian." Gus Hanan tiba-tiba memulai percakapan yang membuatku kembali merasa tak enak. "Udah lama,