Share

Maafkan Aku!

Aku tak paham maksud Mas Haris. Apa jangan-jangan, seluruh uang gajinya diberikan pada Ibunya? Lalu, aku harus mengemis, begitu?

"Mulai sekarang, ibu yang mengatur uangku. Jadi, biar ibu yang ngasih uang belanjanya," ucapnya tanpa merasa bersalah.

"Apa aku enggak salah dengar, Mas?" Tentu diri ini begitu kaget dan tak percaya begitu saja.

Aku tak habis pikir, kemarin dia meminta semua gajiku. Sekarang, uangnya diberikan semua ke ibunya. Lalu, apa fungsinya aku sebagai istrinya?

Aku merasa sudah tak dihargai lagi sebagai seorang istri. Bisa-bisanya dia mempercayakan keuangan rumah tangga pada orang lain. Meskipun itu ibunya, tetap aku tidak rela.

"Ibu lebih pintar mengatur keuangan. Buktinya, setiap bulan selalu bisa menabung. Nanti aku antar ambil uangnya ke ibu."

"Enggak perlu." Hatiku begitu dongkol.

"Kenapa?"

"Aku enggak butuh uangmu." Bibirku bahkan sampai bergetar, menahan tangis.

"Oh, kamu sudah merasa hebat, enggak butuh uangku, sekarang?" Mas Haris menekan kalimatnya.

"Aku enggak mau mengemis ke Ibumu," ucapku seraya memalingkan wajah. Bahkan, sekedar melihat wajahnya, aku malas. Aku benar-benar muak.

Dulu, wajah itu yang memberiku ketenangan. Senyumnya selalu terukir menentramkan. Namun kini, wajah itu memberikanku banyak luka.

"Enggak usah lebay deh, Rin."

"Aku juga punya harga diri, Mas. Buat apa, istrimu ini, kalau kamu enggak percaya lagi padaku?"

Mas Haris mengembuskan nafas kasar.

"Kamu itu boros, uang belanja enggak pernah sisa, bahkan gajimu saja, aku pegang enggak boleh, padahal niatku baik, buat ditabung," ucapnya menggores hati.

"Boros yang mana, yang kamu maksud? Kamu kasih aku cuma sejuta, kamu bilang aku boros?" ucapku sambil tersengal, menahan amarah.

"Satu juta itu banyak, Rin. Kamu saja yang enggak pandai mengatur keuangan."

Aku tersenyum mengejek. Banyak dia bilang, sehari tiga puluh ribu, dia bilang banyak. Masih waraskah dia?

"Satu juta buat sebulan, kamu bilang banyak?" Aku mengatur nafas. "uangmu, cuma cukup buat makan, Mas. Bayangkan, tiga puluh ribu sehari, dapat apa? Sedangkan kamu mintanya selalu makan enak," protesku tak mau kalah.

"Gara-gara daging, kamu bilang aku selalu minta makan enak?"

"Kenyataannya begitu,"

"Jangan salahkan aku, kalau sering minta makan enak. Salahkan dirimu sendiri, karena tiap hari masaknya cuma tahu sama tempe terus, bosan aku," ucapnya tanpa mikir.

"Kamu kalau ngomong, dipikir dulu enggak sih, Mas? Aku masak kayak gitu, juga karena uang belanjamu pas-pasan." Kenyataannya memang begitu.

"Kamu 'kan ada uang juga, kamu itu kerja, seharusnya kamu bantu buat kebutuhan belanja!" ucapnya asal ceplos.

Sungguh, hati ini begitu dongkol. Darahku sudah mendidih sampai ke ubun-ubun. Ingin ku kuncir saja mulutnya itu. Enak sekali bicaranya.

Aku terdiam, tak ada gunanya juga berdebat dengannya. Dia selalu merasa benar. Aku sudah bosan menjelaskan padanya.

"Ayo, sekarang ke rumah ibu, ambil uangnya!" Mas Haris bangkit dari duduknya.

"Ogah, aku bukan pengemis," tolakku. Aku meninggalkannya sendiri, berlalu ke kamar.

Persetan dengan uang belanja. Jika dia suami yang bertanggung jawab, dia tak akan melakukan itu.

Hatiku begitu sakit. Segitu tidak percayanya dia pada istrinya, sampai uang belanja pun harus meminta pada ibu. Tak tahan, akhirnya aku menangis sesenggukan, hatiku telah tergores. Selamanya tak akan bisa disembuhkan.

"Bapak, maafkan aku. Dulu, aku tidak mendengar kata-kata Bapak," ucapku dalam tangis.

Menyesal?

Entahlah. Hatiku masih ragu, membedakan penyesalan atau kemarahan yang melanda hatiku. Andai dulu aku mendengar nasihat Bapak, mungkin aku tak akan sesakit hati seperti sekarang.

"Bapak, maafkan aku," lirihku lagi. Saat ini, hatiku begitu sesak.

"Rin, cepat buka pintunya!" ucap Mas Haris seraya menggedor pintu.

Tak kuhiraukan dia. Hatiku terlanjur sakit atas ucapannya.

"Rin, cepat!" bentaknya.

Rin ...." Suara gedoran pintu makin keras.

"Gak usah ribut, malu sama tetangga!" ucapku di ambang pintu.

"Maafkan aku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status