Share

Sebagai Jaminan

Kuhampiri Mas Haris yang tengah berdiri di depan kasir. Wajahnya terlihat jelas, kalau dia sedang bingung.

"Kalau enggak bawa uang, kenapa ngajakin makan di luar?" sungutku setengah berbisik. Malu juga, kalau sampai orang lain dengar.

"Namanya juga, lupa."

"Alasan klasik."

"Jangan ribut di sini, Rin, malu!" Mas Haris mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Aku menghela nafas, mengontrol emosi, "Mas tunggu di sini, aku ambilkan dulu ke rumah, aku enggak mau jadi jaminan."

"Lho, kamu ninggalin, Mas?" Wajahnya kebingungan.

"Katanya enggak bawa dompet, jadi aku ambil dulu. Mas di sini sebagai jaminan!"

"Mbak, saya mau ambil dompet dulu, biar suami saya di sini, sebagai jaminan," ucapku pada kasir.

"Oh iya, silakan , Mbak!" ucapnya ramah.

Aku melangkah keluar, dengan hati dongkol. Tak habis pikir dengan suamiku.

Bisa-bisanya dia tidak membawa dompet. Apa dia sengaja?

Kuhampiri motorku yang terparkir di bawah pohon mangga. Tiba-tiba, aku menangkap sosok yang begitu kukenal. Suci. Dia sedang berjalan, menuju kemari. Dia tidak sendiri, melainkan dengan seorang pemuda seusianya.

"Lho, ada Mbak Rini, juga," ucapnya basa-basi.

"Sama siapa, Ci?"

"Itu, sama cowokku, ganteng enggak?" tunjuknya pada laki-laki yang baru saja keluar dari mobil.

"Wah cowokmu ganteng juga, ya. Pasti banyak duitnya, juga," pujiku. Suci tersenyum puas.

"Kenalkan, Beb, ini Mbak Rini!" Suci begitu jumawa.

"Hai Mbak, aku Alvin." Kami berjabatan tangan.

"Naik motor, ya, Mbak?" tanyanya dengan nada mengejek.

"Enggak, naik kuda tadi."

"Lihat Mbak, aku sama Bebeb Alvin, naik mobil, lho," ucapnya bangga.

"Wah, kalian emang pasangan yang cocok, yang satu ganteng, satunya cantik."

"Iya dong, Mbak," jawab Suci pongah.

"Bisa aja, Mbak," sementara Alvin menanggapi malu-malu.

"Kamu kaya juga, ya, Vin?"

"Iya, dong Mbak. Kalau cari calon tuh yang kaya Alvin gini, udah ganteng, kaya lagi." Suci menyahut cepat.

"Kalau begitu, Mbak pinjem duit dong, tadi Masmu lupa gak bawa dompet!" todongku tanpa malu.

Wajah mereka gelagapan. Terutama Alvin, wajahnya sampai pias.

"Kamu 'kan punya pacar kaya, pasti uangmu juga banyak dong, Ci?"

"Eh ... anu." Suci menggaruk kepala yang sepertinya tak gatal.

"Ada 'kan, pasti ada, dong, masa horang kaya enggak punya duit."

"Beb, tolong dong, kasih pinjam Mbak Rini, ya, kasihan dia. Kamu 'kan banyak duitnya. Kasihan dia," ucapnya mencemooh.

"Eh, iya, Beb." Alvin membuka dompetnya agak menjauh. Lalu menyerahkan lembaran merah padaku.

"Terima kasih, ya, calon adik ipar. Kapan-kapan, traktir Mbak, ya. Kan kalian horang kaya."

Aku tersenyum puas, jarang-jarang bisa ngerjain Suci. Pas juga tadi ketemu sama pacarnya, yang katanya kaya itu. Tanpa menunggu lama, segera kuhampiri kasir.

"Maaf ya, Mbak, lama." Kusodorkan uang hasil memalak Alvin. Dengan cekatan, kasir memberi kembaliannya. Kulihat, masih lumayan, buat beli bahan bakar, besok.

"Terima kasih!" ucap kasir sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Aku tersenyum puas. Mas Haris menghampiriku, lalu kami beriringan keluar. Kulihat, Alvin dan Suci masih berada di luar.

"Mana Mbak, kembaliannya?" tanya Suci tanpa malu.

"Kamu minta kembaliannya, enggak punya malu."

"Kembalian apa?" Mas Haris bingung, karena memang dia tidak tahu menahu masalah uang tadi.

"Tadi, Mbak Rini minta duit Beb Alvin, eh kembaliannya enggak dikasih." Mulut Suci mengerucut.

"Udah, biar saja, Beb!" seru Alvin.

"Tuh, Bebebmu saja gak keberatan!"

"Tapi, itu kan ...."

"Udah, jangan perhitungan jadi orang, nanti seret rejekimu." Kuulang kata-katanya malam itu.

Wajah Suci nampak merah padam. Kemarahan jelas terlihat dari sorot matanya, tapi tak berani melawan karena ada Bebebnya.

"Ayo, Mas!"

Mas Haris mengeluarkan motor. Setelah membayar parkir, kami berlalu pulang.

"Dadah, Mbak pulang dulu, ya. Semoga langgeng." Kulambaikan tangan pada keduanya.

"Awas, ya, Mbak." Suci mengepalkan tangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status