Kuhampiri Mas Haris yang tengah berdiri di depan kasir. Wajahnya terlihat jelas, kalau dia sedang bingung. "Kalau enggak bawa uang, kenapa ngajakin makan di luar?" sungutku setengah berbisik. Malu juga, kalau sampai orang lain dengar."Namanya juga, lupa.""Alasan klasik.""Jangan ribut di sini, Rin, malu!" Mas Haris mengedarkan pandangan ke sekeliling.Aku menghela nafas, mengontrol emosi, "Mas tunggu di sini, aku ambilkan dulu ke rumah, aku enggak mau jadi jaminan." "Lho, kamu ninggalin, Mas?" Wajahnya kebingungan."Katanya enggak bawa dompet, jadi aku ambil dulu. Mas di sini sebagai jaminan!""Mbak, saya mau ambil dompet dulu, biar suami saya di sini, sebagai jaminan," ucapku pada kasir."Oh iya, silakan , Mbak!" ucapnya ramah. Aku melangkah keluar, dengan hati dongkol. Tak habis pikir dengan suamiku.Bisa-bisanya dia tidak membawa dompet. Apa dia sengaja? Kuhampiri motorku yang terparkir di bawah pohon mangga. Tiba-tiba, aku menangkap sosok yang begitu kukenal. Suci. Dia seda
Tak kuhiraukan Suci yang sedang marah. Puas sekali rasanya bisa mengerjai ipar satu itu. Kini, kami melajukan motor dengan kecepatan sedang, membelah jalanan malam. Tiba-tiba aku teringat, kalau bahan bakar motorku hampir habis. Mumpung ada kembalian bakso tadi, kumanfaatkan saja. Benar-benar rejeki nomplok hari ini. Dapat bakso dan bensin gratis. "Mas, mampir ngisi bahan bakar, dulu!" Terlihat ada POM di depan sana."Itu kamu bawa uang, Rin.""Ini uang kembalian bakso tadi, aku enggak ada bawa uang." Aku jujur karena memang tak bawa uang dari rumah. Sengaja."Harusnya kamu juga bawa uang, buat jaga-jaga kalau aku lupa bawa dompet," sungutnya."Kalau aku bawa uang, yang ada, aku yang bayarin makan, bukan Mas.""Kamu tetap sama, perhitungan.""Kamu juga tetap sama, Mas, pelit." Aku tak mau kalah.Kami menghentikan perdebatan ini, karena sudah sampai di POM. Biar bagaimanapun, aku juga masih tahu etika. Aku tak mau mengumbar masalah rumah tangga di depan umum. Cukup aku dan suami yang
Dengan langkah terpaksa, aku mengikuti kemauan Mas Haris, ke rumah Ibunya. Kalau aku tidak ikut, bisa-bisa belanja pakai uangku lagi. Segera kukunci rumah."Pakai motorku, Mas?" Mas Haris sudah nangkring di atas motor."Sudah, enggak usah debat. Lagian motormu kan sudah diisi bensin tadi.""Apa hubungannya?" tanyaku heran."Kalau pakai motorku, nanti cepat habis bensinnya. Aku minta uang bensin juga enggak kamu kasih, tadi pagi.""Mas sadar enggak barusan bilang apa?" tanyaku menahan emosi."Sadarlah, Rin," ujarnya santai.Aku membuang nafas kasar. Berharap emosiku ikut melebur lewat hembusan nafas."Mas, kamu itu enggak ngasih aku uang belanja, dengan tanpa malu, kamu minta aku uang bensin?" tekanku. "Lah, memang aku salah? Kamu 'kan juga kerja, kita sebagai suami istri itu harus saling pengertian, bukan perhitungan kayak gini.""Tau lah, Mas." Aku semakin emosi. "Ayo buruan, keburu malam!"Aku naik ke jok belakang tanpa berkata sepatah pun. Lelaki jengkelin bin nyebelin di depanku
Aku seorang wanita. Hatiku begitu rapuh. Aku berdiri lalu melangkah keluar dari rumah ini. Buat apa berlama-lama di sini, kalau hanya untuk dihina. Aku juga punya harga diri. "Dasar sombong, mentang-mentang udah kerja, gak menghargai suami. Pantesan mandul, durhaka sama suami sama Ibu mertua!" hardiknya.Reflek kuhentikan langkah begitu mendengar kata mandul. Lagi-lagi, aku yang disalahkan. Ya, di mata mereka, aku memang tak pernah benar."Ibuk, sudah!" Mas Haris akhirnya angkat bicara."Atas dasar apa, Ibuk bilang aku mandul?" Kini aku berbalik ke arahnya. Bukannya aku tak tahu etika, namun, aku paling benci jika ada yang mengatakanku mandul."Terus, bela saja istrimu itu. Ibuk itu mencoba menyadarkan kamu, bahwa kamu tak pantas dengan perempuan mandul itu." Telunjuknya mengarah ke wajahku.Kupandang Mas Haris, hanya terdiam. Tak berani menjawab perkataan Ibunya. Sekali lagi, kutatap wajahnya, meminta penjelasan. Namun, dia hanya terdiam, menatap balik tanpa mengatakan sepatah kata
Kepalang tanggung, ini suapan terakhirku, sayang kalau tidak dihabiskan. Kuabaikan sejenak Ibuk, menikmati suapan terakhir yang begitu nikmat. Kata guru mengajiku waktu kecil, berkah suatu makanan, terletak di suapan terakhir. Jadi, aku tak mau membuangnya sia-sia. Setelah semua tertelan, segera kuraih air putih, lalu menghabiskannya hingga tetes terakhir."Alhamdulillah," ucapku. Kuusap perutku yang agak membuncit karena kekenyangan. Kulihat, Ibuk mencebik kesal."Dasar mantu enggak peka!" sindirnya."Apa lagi, sih, Buk?""Kamu makan enak, enggak nawarin Ibuk. Enggak punya perasaan," gerutunya. Kutinggalkan Ibuk yang masih mengomel tak jelas. Setelah mencuci tangan dan mengelapnya, kuhampiri Ibuk kembali."Jadi, dari tadi Ibuk lihatin aku, karena pengen makan juga?""Hem," jawabnya sambil melengos. Ibu berlalu menuju dapur, layaknya majikan, beliau memeriksa keadaan dapurku."Kamu enggak masak apa-apa?" dibukanya tudung saji yang kosong melompong."Tidak, Buk.""Dasar boros, mauny
Mataku kian memanas. Hatiku semakin sesak, bagai dihimpit bongkahan batu raksasa. Tak pernah terbayangkan olehku, akan mengalami permasalahan rumah tangga seperti ini. Akankah semuanya berakhir saat ini? Mengingat Mas Haris tetap kekeh mempertahankan egonya."Mas harus ambil keputusan. Kalau kamu lebih memilih Ibumu, lebih baik lepaskan aku." Air mata bergulir di pipi."Rin, kita bisa memperbaiki semuanya." Kutatap matanya, ada kesungguhan di sana. "Jangan cuma bicara, aku butuh bukti!"Mas Haris menghela nafas."Bukti apa lagi, aku masih menyayangimu, Rin." Digesernya kursi mendekatiku.Aku berdecih. Sayang, dia bilang. Apa selama ini yang dilakukan padaku, bukti kasih sayangnya?"Sayang yang bagaimana, Mas? Selama ini aku tertekan oleh sikapmu dan Ibuk. Kamu lebih sayang Ibuk dan adikmu daripada aku. Bahkan, keuangan yang seharusnya kuatur, malah kamu limpahkan pada Ibuk. Kamu tak mempercayaiku sebagai istri. Rumah tangga kita sudah tidak sehat," ucapku tak tahan lagi. Selama ini,
Ibu dan Bulik memandangku bergantian, menanti jawaban dari mulut, yang terus terbungkam. Tak sanggup diriku, walaupun hanya mengangkat wajah. Mata kian memanas, seakan ingin kutumpahkan semuanya sekarang. Namun, aku tahu, ini bukan saat yang tepat. Aku tak mau gegabah."Suaminya Rini pasti masih di kantor. Iya, kan, Nduk?" Bulik tersenyum kearahku. Namun, serasa sebuah sindiran di telinga ini.Kuanggukan kepala agar mereka tak semakin curiga. Aku harus menunggu waktu yang tepat, untuk menceritakan semuanya."Nanti, kalau suamimu datang, bangunkan Ibuk ya. Ibuk mau bicara," ucapnya pelan, namun berhasil membuat jantungku berdetak tak karuan.Lagi-lagi, aku hanya menganggukan kepala. Sementara Bulik, memandangku dengan tatapan tak biasa, seolah tahu kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu. "Ibuk mau makan?" tanyaku mengalihkan perhatian."Perut Ibuk sakit, buat makan," ucapnya menggores hati."Kenapa Ibuk gak telfon Rini, kalau sakit. Kan Rini bisa rawat Ibuk."Ibuk hanya diam, sesekal
Aku mengusap bahu Ibuk pelan, mencoba menyalurkan kekuatan, tapi sepertinya mustahil, karena Ibuk masih tetap terisak.Bulik dan Paklik pun, tak kalah khawatir. "Apa ada yang dirasa, aku panggilkan dokter, ya," ujar Paklik panik."Cepat, Pak, panggil dokter." Bulik tak kalah panik."Gak usah, Yanto," cegah Ibuk. Paklik Yanto yang sudah sampai ambang pintu, mendadak berhenti. Bingung, antara mau kembali, atau tetap memanggil dokter."Sakitku tak akan bisa disembuhkan oleh dokter manapun.""Buk."Kucoba menenangkannya."Nduk, apa kamu bahagia, selama ini?" "Kenapa Ibuk tanya seperti itu?" "Jawab Nduk!" "Buk, pasti Rini mengadu, kan, sama kalian semua?" Tiba-tiba Mas Haris bak orang kepanasan. Mungkin, takut boroknya terbongkar."Apa maksudmu?" tanya Ibu sinis.Mas Haris semakin gelapan. Dia termakan omongannya sendiri. "Anak saya tidak seperti itu. Saya sudah tahu, semua kebohongan kamu selama ini," ujar Ibuk."Maksudnya apa tho, Mbakyu?" Paklik Yanto sudah tak tahan untuk tahu lebi