Share

Minta Uang

Mas Haris muncul di balik pintu. Jadi, dia mendobrak pintu rumahnya sendiri. Miskin akhlak memang.

"Dek, ngomong apa kamu sama ibu?" Baru saja sepiring nasi goreng gila ekstra pedas kuhabiskan, Mas Haris datang dengan wajah geramnya. Bahkan, piring bekasnya pun belum aku cuci. Niat hati mau nambah lagi, kuurungkan. Mendadak nafsu makan ini lenyap. Padahal, aku berencana menghabiskannya. Sayang 'kan, kalau sampai terbuang sia-sia.

"Jangan marah-marah, Mas," ucapku sambil berlalu meletakan piring kotor ke wastafel.

"Kamu ngomong apa tadi, sama ibu?" Dia semakin geram.

Aku mencuci tangan lalu mengelapnya.

"Rin...." Mas Haris geram karena aku tak kunjung menjawab. Toh, aku jawab juga pasti disalahkan, lebih baik diam saja.

"Kamu dengar aku enggak, sih?" bentaknya lebih keras lagi.

"Kamu bentak aku, Mas?" Aku tersenyum miring.

Lelaki bergelar suamiku kini mulai bisa membentakku. Aku mencoba menguatkan hati, meski ada yang tersayat sembilu.

"Dek, tadi kamu ngomong apa sama ibu dan Suci. Mas cuma mau tau aja." Kini nadanya mulai lembut. Entahlah dia tulus atau terpaksa, tapi, jauh di dalam matanya ada penyesalan.

"Enggak ngomong apa-apa kok, Mas. Emang ibumu bilang apa?" tanyaku setenang mungkin. Aku sudah bosan menghadapinya dengan emosi, karena membuang tenaga saja.

"Tadi Ibuk sama Suci nangis begitu sampai rumah, pastilah kamu bilang yang gak-gak sampai nyakitin hati mereka."

Deg!

Ada yang menghujam hatiku.

"Oh, jadi mereka mengadu?"

"Berarti benar 'kan, apa yang mereka bilang?" Nada bicaranya mulai meninggi lagi.

"Kamu mau percaya ucapanku atau mereka?"

"Jelas aku percaya sama Ibuku. Ibu tidak akan pernah berbohong. Ibu itu selalu benar."

Selalu benar dia bilang? Apa telingaku sudah konslet?

"Justru, di sini aku yang merasa tersakiti, Mas." Aku membela diri. Nyatanya di sini aku yang terdholimi. Ibu dan Suci yang memutar balikan fakta bahwa aku menyakiti mereka.

"Tersakiti dari mana? Jangan sok polos kamu!" Telunjuknya mengarah ke wajahku.

Kutepis tangannya. Ada yang nyeri di dalam sini.Baru kali ini ada yang menunjuk-nunjuk wajahku. Dia, lelaki yang bergelar suamiku.

"Kenapa sekarang kamu tega sama aku, Mas. Aku ini istrimu. Apa aku salah kalau mengingatkan kewajibanmu menafkahiku?" Makan hati memang jika menghadapi suami macam dia.

"Apa kamu pikir selama ini aku tidak memberimu nafkah, hah?" Dia tak kalah emosi.

"Kamu memang selalu memberi nafkah, Mas. Tapi kamu tidak bisa mencukupi kebutuhanku Mas. Sementara uang gajimu kamu berikan ke ibumu lebih banyak daripada untukku. Kamu tidak adil, Mas." Aku tak kalah emosi.

Siapapun akan emosi jika mempunyai suami seperti Mas Haris. Uang gaji seharusnya istri yang mengatur, bukan ibu mertua.

"Bahkan, sekarang kamu meminta semua uangku untuk kepentinganmu sendiri." Dadaku naik turun menahan emosi.

"Kamu memang pintar berkilah, Rin."

"Berkilah, kamu bilang, Mas?" Aku tersenyum mengejek. "kalau aku cerita yang sesungguhnya, apa Mas juga akan percaya?"

"Sudahlah, Rin. Kamu jangan berkelit lagi." Mas Haris meninggalkanku begitu saja. Dia berlalu menuju kamar.

Brak!

Aku tersentak. Aku memegang dada dengan jantung berdegup tak karuan. Serasa jantung ini mau lompat dari tempatnya. Mas Haris membanting pintu kamar. Begitulah dia, ketika marah akan membanting barang untuk meluapkan emosinya. Seakan barang-barang di depan matanya, ikut membuat kesalahan.

Aku sudah bosan menangis. Buat apa menangisi orang sepertinya. Hatiku sudah beku dengan kelakuannya. Entah apa yang mengubahnya jadi seperti ini.

Dulu, dia tidak terlalu perhitungan masalah uang. Meskipun, uang yang diberikannya hanya sekedar cukup untuk belanja, namun sikapnya tak pernah kasar terhadapku. Bahkan, aku juga dengan suka rela mengeluarkan hasil keringatku untuk menutupi kebutuhan rumah tangga. Namun, akhir-akhir ini dia jadi sering uring-uringan masalah keuangan.

Aku berlalu ke ruang televisi. Biasanya, aku selalu membujuknya kala ia marah. Namun kali ini aku sudah bosan. Aku bosan dengan sikap kekanak-kanakannya. Semua masalah selalu dihadapi dengan emosi.

*****

"Sarapan dulu, sudah aku buatkan nasi goreng," ucapku sewot. Biar bagaimanapun, aku juga masih punya perasaan. Aku masih menghormatinya sebagai suami. Padahal, kalau dipikir, hatiku masih kesal dengan sikapnya semalam.

"Nasi goreng lagi?" Refleks kuhentikan suapanku.

"Lagi?" Sengaja kutekankan ucapanku.

"Bosan aku makan nasi goreng tiap pagi," ucapnya berlalu meninggalkanku.

Kuhentikan aktivitas mengunyahku. Kuletakkan sendok, padahal masih ada setengah piring lagi. Selera makanku mendadak hilang.

"Bahan masakan di kulkas banyak yang habis." Aku menanggapinya datar.

"Ya kamu belanjalah, bosan aku sarapan nasi goreng terus. Sekali-kali masak daging!"

"Daging, Mas?" Mulutku sampai menganga tak percaya. Untung saja enggak ada lalat masuk.

Masak daging dia bilang. Tak bisa berpikir kah orang satu ini, harga daging itu mahal. Sedangkan, uang belanja yang dia kasih saja, hanya cukup untuk makan tahu dan tempe.

"Beri aku uang, biar bisa masak daging." Aku tak mau kalah. "Kamu hari ini gajian juga 'kan, Mas. Nanti antar aku beli daging, ya!" Aku tersenyum mengejek.

Aku sekarang harus bisa tega. Bukan berniat mau melawan suami, namun, aku juga mempunyai harga diri.

"Hem." Mas Haris menjawab malas.

Akhirnya dia menyantap juga masakanku, karena memang hanya masak nasi goreng yang tersaji pagi ini. Sebenarnya, bisa saja memasak daging, namun sekarang, aku malas untuk mengeluarkan uangku untuk urusan dapur.

Setelah semua selesai, aku bersiap pergi mengajar. Sekolah tempatku mengajar tidaklah terlalu jauh, sekitar lima belas menit perjalanan.

Kukeluarkan motor kesayanganku. Hadiah dari bapak waktu aku wisuda dulu. Sementara memanaskan mesin, aku berlalu ke dalam mengambil tas lalu memakai sepatu.

"Tunggu, Rin. Aku minta duit dulu, buat beli bensin!" Mas Haris setengah berteriak.

Aku mendadak berhenti. Memastikan apa aku tidak salah dengar.

"Apa, Mas, bensin?"

"Iya, aku sudah gak ada uang. Tadi malam sudah kuberikan sama Ibu," ucapnya tanpa rasa malu.

"Minta saja sana, sama ibumu!"

Kulajukan motorku meninggalkan Mas Haris yang melongo.

"Syukurin." Aku bersorak dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status