"Tau lah. Kan ada mata-mataku. Emangnya kamu apa? Mata-matain Nindi malah ketahuan. Gak profesional," jawab Dewa seraya mengejekku.Aku hanya diam sambil mencebik. Dalam situasi seperti ini masih sempat-sempatnya mencelaku. Bukan Dewa namanya jika tidak membuatku kesal."Aku gak nyangka aja Papi bisa ngelakuin ini." Dewa kembali melanjutkan ucapannya seraya menghela napas panjang."Namanya manusia itu tempatnya khilaf. Kayak kamu gak kayak gitu aja. Udah nikah masih berhubungan sama Nindi," sengitku yang membuat pandangan Dewa seketika mengarah padaku.Di waktu yang bersamaan, suara deringan ponsel Dewa mengalihkan perhatian kami. Lelaki berwajah tegas itu langsung menerima panggilan tersebut."Apa? Mau ambil mobil?" Dewa sangat terkejut ketika menerima telepon barusan. Entah telepon dari siapa. Aku hanya menguping sambil berusaha menebak-nebak si penelepon. Kemungkinan teman bisnisnya."Gak, gak bisa. Itu bukan urusanku. Minta aja sama Nindi," lanjut Dewa lagi masih menempelkan pons
"Sampe waktunya tiba. Pokoknya aku tetap gak mau lanjutin pernikahan ini." Dewa mengacungkan jari telunjuknya ke hadapanku.Aku tak bisa berkata-kata. Lelehan bening yang sempat mengucur segera kuhapus. Percuma menangisi semua ini, tak akan bisa mengubah keadaan. Lebih baik aku pasrah seraya berdoa. Apa pun yang terjadi yakin dan percaya pasti yang terbaik dari Tuhan. Aku juga tak ingin terkesan seperti mengemis cinta."Oke kalau begitu. Aku ikuti maumu, tapi sebelum kita berpisah izinkan aku memperlakukanmu selayaknya seorang suami.""Terserah, tapi jangan harap aku mau nyentuh kamu dan bisa mencintaimu. Gak akan!"***Beberapa jam setelah kejadian tadi, Dewa tak banyak bicara. Bahkan, ketika bertemu Mami dan Papi pun dia hanya diam. Ya, mungkin dia belum bisa menerima kenyataan hidupnya. Namun, untuk masalahnya dengan Nindi sepertinya kedua orang tua Dewa tak mengetahui."Kamu kenapa diam aja?" Mami yang membuka obrolan ketika kami berempat duduk di ruang makan."Apa Papi udah gak d
"Kok, kamu ngomongnya kayak gitu?" Gantian Mami yang seolah terkejut dengan ucapan Dewa barusan.Dewa pun seketika salah tingkah. Dia sedikit canggung dan berusaha menutupi rasa keterkejutannya tadi. Sepertinya dia baru sadar."Harusnya kamu bersyukur bisa nikah sama Furi," lanjut Mami lagi."I-iya, Mi. Aku sangat bersyukur, kok. Tapi, kan kita perlu waspada apalagi zaman sekarang banyak yang berpura-pura baik." Dewa masih berusaha mempengaruhi maminya.Spontan aku nyeletuk, "Iya, kayak yang ngurus bisnismu. Diam-diam kabur."Dewa langsung melirikku sinis. "Namanya juga musibah, gak ada yang tau. Emangnya aku mau?""Eh, ngomong-ngomong siapa sih orang yang udah kamu percaya buat ngurus showroom-mu itu?" Mami kembali melontarkan pertanyaan.Dewa seketika mengalihkan pembicaraan, lalu bangkit dan pamitan pergi. Aku tahu, dia seperti itu agar maminya tidak bertanya lebih jauh tentang bisnisnya itu. Sepertinya Mami benar-benar tidak tahu bahwa Dewa masih berhubungan dengan Nindi.Setelah
"Mau ke mana, Non? Kenapa gak nyuruh Mamang yang anter aja? Papi juga gak ke kantor."Seketika aku menoleh. "Gak papa, Mang. Aku cuma mau ke rumah Mama aja, kok.""Ya udah, Non. Hati-hati."Aku kembali berjalan keluar dan langsung masuk kendaraan. Setelah itu, mobil sedan berwarna biru itu membawaku melesat menuju tempat tujuan.Setibanya di kantor Papa, aku langsung menuju ruangan beliau. Namun, lelaki yang telah membesarkanku itu tidak berada di ruangan. Setelah menunggu cukup lama, beliau akhirnya datang."Wah, datang kok gak bilang-bilang dulu. Ada apa, Nak?" ucap beliau begitu mengetahui kedatanganku."Pa, aku mau nanya sesuatu."Papa seketika memasang wajah penasaran. "Mau nanya apa?""Apa benar Papa yang punya saham terbesar di kantor ini?"Wajah Papa mendadak berubah. "Kamu tau dari mana?""Mami sama Papi. Kenapa Papa ngelakuin itu semua, Pa? Aku kira selama ini Papa karyawan biasa di sini yang dipercaya sama Papi. Kenapa juga Papa gak pernah cerita sama kami tentang bisnis Pa
"Oh, kebetulan Mami yang kasih tau aku. Katanya Papi sempat diteror. Terus aku kasih tau Dewa. Dewa langsung nyelidiki, Pa," kilahku berusaha menyembunyikan prahara rumah tanggaku."Terus Papa tau Jems juga dari mana?" tanyaku balik."Pak Himawan yang kasih tau karena pernah ada pemuda yang datang ke sini. Katanya mau nuntut haknya. Tapi, Pak Himawan gak mau percaya begit aja. Beliau minta bukti, tapi pemuda itu gak bisa buktikan. Pak Himawan juga sempat berniat kasih beberapa bisnisnya, tapi dia gak mau. Gak lama dari itu, bisnis papimu bangkrut. Hanya perusahaan ini yang selamat, itu pun karena Papa yang bantu. Papa kasian sama Pak Himawan. Masalahnya terlalu berat," jelas Papa panjang lebar.Aku seketika terdiam. Suasana pun menjadi hening. Hanya terdengar suara pergerakan jarum jam yang bertengger di dinding ruangan minimalis ini."Setelah diselidikinsama Dewa, makanya dia tau siapa Jems itu. Papi pun akhirnya buka suara," lanjutku lagi memecah keheningan.Papa masih diam seraya m
"Ibu ini siapanya Pak Himawan?" Aku memberanikan diri bertanya seperti itu untuk menuntaskan rasa penasaran.Belum sempat pertanyaanku dijawab, suara klakson mobil dari seberang jalan memekakkan telinga. Spontan aku menoleh ke sumber suara, tampak kaca mobil perlahan turun, lalu kepala Dewa melongok keluar."We, cepat!" teriaknya dari dalam mobil.TIN! TIN! Dewa terus saja membunyikan klakson. Karena tak ingin diteriaki, akhirnya aku langsung pamitan dan meninggalkan wanita lusuh itu. Kemudian, menyeberang menuju mobil Dewa. "Lama banget, sih. Kamu lagi ngobrol sama siapa?" tanya Dewa sambil mengatur volume musik, sesekali pandangannya mengarah pada wanita yang mengobrol denganku barusan.Aku bergeming, tak menjawab pertanyaannya karena khawatir lelaki di sampingku itu turut penasaran. Namun, otakku terus berputar memikirkan wanita tadi. Sejenak kusempatkan melihat wanita lusuh di seberang jalan. Dia masih berdiri di tepi jalan sambil memandangi amplop yang berada di tangannya. Siap
"Oh, ini anak saudara Mama. Ini waktu masih umur satu bulan, Mama juga lagi hamil Furi," jawab Mama dengan raut wajah seperti kaget."Ya udah, kalian tunggu dulu. Mama mau bikinin minuman," lanjut beliau dan berjalan gontai menuju dapur sambil membawa album foto tersebut.Aku seketika tercenung. Kenapa Mama bersikap tak seperti biasa ketika melihat Dewa melihat foto tadi? Pikiranku langsung tertuju pada obrolan bersama Papa. Apa jangan-jangan itu fotonya Dewa ketika bayi?"Iya, itu tadi fotonya sepupuku," jawabku berusaha mencairkan suasana agar Dewa tak curiga dengan sikap Mama barusan.Dewa hanya manggut-manggut dan membulatkan bibir. "Aku kira kamu punya kakak cowok."Aku cepat-cepat menggeleng. "Bukan."Kemudian, aku beranjak ke kamar. Ketika di dalam, kupandangi seluruh ruangan. Mataku langsung tertuju pada boneka Panda berukuran jumbo. Seketika aku teringat ketika awal perjodohan dengan Dewa. Kuajak boneka tersebut berbicara sambil menangis tersedu-sedu. Jika mengingat kejadian
Diri ini masih mematung memandangi Dewa penuh iba. Aku sangat prihatin dengan masalah yang menimpanya. Kakiku perlahan melangkah mendekati. Kutatap wajahnya yang masih dipenuhi kobaran emosi. Setelah kurasa amarah Dewa agak mereda, kumulai membuka obrolan."Total utangmu berapa? Boleh aku bantu?" ucapku lirih, sedikit berhati-hati karena kutahu situasi seperti ini sangatlah sensitif.Kepala Dewa menoleh ke arahku. "Aku gak mau ngerepotin orang lain. Aku juga gak mau nantinya jadi berutang budi. Kamu pasti mau manfaatin keadaan, kan?"Aku sejenak terdiam. Seketika hening merajai suasana. Entah harus dengan cara apa lagi agar hati Dewa sedikit terbuka."Kenapa kamu masih mau bertahan dengan pernikahan ini?" Lelaki di hadapanku itu kembali berbicara."Pernikahan itu bukan permainan. Saat kamu ijab qabul di depan penghulu itu adalah sakral. Urusannya sama Allah. Udahlah, lupakan sebentar soal masalah kita. Sekarang kita selesaikan dulu masalahmu," lanjutku memberi saran.Dewa hanya menata