"Gak papa, Sayang. Gak masalah. Mami bener-bener salut sama kamu. Kamu itu berasal keluarga berada, tapi sifatmu rendah hati. Didikan mama sama papamu emang the best." Mami mengacungkan jempol ke arah Mama.Mama pun tertawa. "Ada-ada aja, Jeng. Saya itu selalu didik anak-anak buat hidup sederhana karena kehidupan ini selalu berputar. Saat ini emang kita ada, tapi gak tau ke depannya nanti. Ya, biar mereka gak kaget kalau sewaktu-waktu kita ada di bawah."Aku hanya mematung menyaksikan dua wanita bak malaikat itu berbincang. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada Diva. Sejak aku berada di sini tak tampak batang hidung adik semata wayangku itu."Diva mana, Ma? Kok, gak keliatan?" tanyaku seraya menyela obrolan Mama dan Mami.Mama sejenak menghentikan obrolannya, lalu menatap ke arahku. "Oh, adekmu ada kegiatan di kampus. Gak bisa ikut ke sini, tadi dia cuma nitip salam. Apa dia gak kasih tau kamu?""Oh, gitu ya. Gak tau juga, Ma. Soalnya dari tadi aku belum lihat HP."Kemudian, Mama dan Mami
"Kamu siap-siap duluan sana. Cewek itu kalo dandan, kan lama. Aku belakangan aja," tutur Dewa dari tempatnya berada."Iya," jawabku mengambang. Pikiranku masih tertuju pada SMS dari Winda. Tak kusangka ada wanita sepertinya. Setelah Nindi, sekarang dihadapkan dengannya lagi.Perlahan aku melangkah gontai melewati Dewa. Dalam hatiku masih bergejolak. Memang suamiku bisa menolak, tapi jika digoda terus menerus aku tak menjamin dia tidak akan goyah. Baru beberapa langkah hendak menuju kamar mandi, suara Dewa menghentikanku.Sejenak aku menoleh. "Kenapa?""Sini dulu," jawabnya sambil menepuk-nepuk tempat tidur pertanda meminta diriku duduk di sampingnya.Aku kembali. "Ada apa?" Bibir ini berusaha kutarik lebar. "Kamu kenapa? Gak kayak biasanya." Dewa menarikku hingga kuhempaskan bokong dan duduk di sebelahnya.Aku terdiam sejenak. Tak ingin Dewa tahu apa yang menjadi keganjalan hatiku. Namun, dia terus mendesak dan begitu penasaran."Suer, aku gak papa." Masih kupasang wajah datar.Seket
Ketika suamiku itu hendak mendekatkan kepalanya di dekatku, tiba-tiba ponselnya berdering. Namun, dia tak menghiraukan dan melanjutkan aksinya. Sayangnya, benda pribadinya itu tak berhenti berdering. Sepertinya memang benar-benar penting. Gegas Dewa beringsut dan menuju meja samping tempat tidur. Kulihat dia mengambil ponselnya. Ketika dia pegang benda tersebut, sepertinya panggilannya telah berakhir.Dewa pun seketika berdecak kesal sambil memandangi layar ponselnya. "Sialan!" Kemudian, dia cepat-cepat menuju lemari dan mengeluarkan seragam lorengnya."Ada apa?" tanyaku penasaran.Belum sempat dia jawab, ponselnya kembali berdering. Gegas suamiku itu menerima panggilan."Siap, siap. Saya sekarang menuju ke sana." Dewa langsung mengenakan seragam lorengnya dengan sangat cepat. Kemudian, dia mencari kaus kaki serta sepatunya. Aku masih penasaran. Sebenarnya dia mau ke mana malam-malam begini?Segera kudekati suamiku itu dan menuntaskan rasa penasaranku. "Kamu mau ke mana?"Dewa sejena
"Ya udah, aku berangkat dulu," lanjutnya lagi sambil melirik ke arah pergelangan tangannya.Ketika Dewa berjalan keluar, aku mengikutinya dari belakang. Saat tiba di ruang tengah, tampak keluargaku dan keluarga Dewa masih asyik mengobrol. Begitu mengetahui kami datang, pandangan mereka sontak beralih."Lho, lho. Pengantinnya mau mana ini? Kok, pake baju loreng?" Mami kaget ketika melihat Dewa berpamitan."Aku ada apel dadakan, Mi. Tadi ditelepon sama Danki," timpal Dewa sembari menyalami semua anggota keluarga."Aku jalan dulu, ya. Assalamu'alaikum." Dewa langsung melenggang keluar."Eh, kamu naik apa?" teriak Mami.Sontak langkah Dewa terhenti. "Motor, Mi. Biar cepat nyampe." Kemudian, dia kembali melangkahkan kaki keluar.Setelah itu, pandangan Mami mengarah padaku. "Terus rencana pengajian di asrama kapan?""Lho, emangnya udah dapat rumah dinas? Kok, Mama gak tau?" timpal Mama dengan raut wajah terkejut."Inilah Furi dan Dewa, Jeng. Saya aja gak dikasih tau coba. Tau-taunya mereka
"Sayang!" Tiba-tiba kudengar suara teriakan Dewa.Ketika baru saja kubalikkan badan, suamiku itu telah berada di depanku. Matanya seketika tertuju pada halaman belakang."Kenapa itu?"Aku menggeleng. "Gak tau. Pas aku ke belakang udah kayak gini. Liat, tuh pagarnya juga ada beberapa kayu yang lepas."Dewa langsung berjalan ke belakang seraya mengecek. "Tapi, gemboknya gak rusak. Apa kena angin?"Aku terdiam sejenak, memikirkan ucapan Dewa barusan. Jika memang terkena angin, sangat tidak masuk akal. Pagar kayu di belakang menurutku termasuk berat. Masa iya, bisa terlepas hanya terkena angin? Sekencang apa anginnya? Kalau sampah masih bisa masuk akal. Apa ada orang yang berusaha masuk rumah ini? Ah, kenapa dari tadi pikiranku selalu begini?"Ya udah, biarin aja. Mending kita bersihin," titahku seraya mengambil sapu lidi yang terletak di ujung pintu dapur."Biar aku aja yang bersihin." Dewa mengambil alih sapu dari tanganku.Namun, kutahan. "Aku yang sapu, kamu aja yang buang sampahnya."
"Ada apa, Sayang?" Dewa menoleh dan menatapku intens."Aku mau nanya, tapi jawab jujur."Dahi Dewa seketika terlihat mengkerut. "Nanya apa?""Semalam kamu beneran apel malam, kan?"Spontan Dewa memelukku dari belakang dan menciumi rambutku. "Kamu masih curiga sama aku?"Melihat perlakuan Dewa kali ini kemungkinan dia tidak berbohong. Tapi, entah mengapa aku sulit untuk percaya begitu saja.Sejenak kutoleh ke belakang. Pandangan kami seketika saling bertautan. "Kamu gak bohongi aku, kan?"Dewa makin mengeratkan pelukan dan makin menikmati aroma rambutku. "Terserah kamu percaya apa enggak, aku gak peduli. Intinya akan kubuktikan kalau aku beneran udah berubah."Sontak, kulerai pelukannya dan membalikkan badan. Kutatap matanya dalam-dalam. "Soalnya tadi Bu Soni bilang gak tau kalau ada apel dadakan. Masa dia tinggal di sini, tapi gak tau?"Dewa justru terkekeh mendengar penuturanku barusan. "Bu Soni suaminya itu nakal." Dia berbicara sangat pelan sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.A
"Ini, lho Bu Dar. Kata Tante Dewa nanti Bu Dar disuruh bantu habisin makanan," sahut Bu Soni berusaha mengajak bercanda dan bersikap biasa. Mungkin tetanggaku itu tak mau bermasalah dengan Bu Dar sehingga dia memilih mengalah."Halah! Makanan kalau katering itu kebanyakan gak enak. Masih enakan kalo kita yang masak," teriak Bu Dar dari teras rumahnya.Seketika kualihkan perdebatan dua tetanggaku itu. Kebetulan kulihat rumah di antara Bu Soni dan Bu Dar tampak sepi dan seperti tak ada penghuninya."Eh, tetangga yang di tengah itu ke mana ya? Perasaan sejak saya ke sini gak pernah keluar.""Udah kabur!" timpal Bu Dar blak-blakan.Aku seketika mengernyit, tak mengerti dengan ucapan Bu Dar barusan. Akhirnya, kutanyakan langsung pada Bu Soni."Tante yang di sebelah saya itu udah gak tinggal di sini lagi," jawab Bu Soni berhati-hati."Oh, omnya udah pindah tugas, ya?" tebakku.Bu Soni seketika mendorongku ke dalam rumah. "Maaf, Tante, gak enak kalo ngomong di luar. Tetangga sebelah saya itu
Setelah membersihkan halaman belakang, Dewa kembali masuk rumah. Aku langsung mengikutinya. Kemudian, kami segera membeli air mineral kemasan gelas."Kita pake mobil?" Dewa spontan menatapku. "Terus, mau pake apa?""Pinjem motornya Bu Soni aja, deh. Ntar kita dibilang sok kaya lagi sama Bu Dar. Telingaku lama-lama panas juga," timpalku setengah jengkel."Ngapain kamu jengkel? Orang kayak Bu Dar kok diambil hati. Kalau kita jengkel itu tandanya dia berhasil, dia malah senang. Mending kita sengaja aja biar tambah naik darahnya." Dewa pun langsung tertawa.Aku sejenak terdiam, ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Masa mau kalah dengan orang seperti Bu Dar."Ya udah, kita beli aja, yuk. Nanti keburu kesorean malah mepet waktunya."Dewa pun segera mengambil kunci mobil dan berjalan keluar. Ketika hendak menutup pintu, Bu Soni keluar dari dalam rumahnya."Mau ke mana, Tante?""Mau beli air minum,nih ,Bu," jawabku sambil mengunci pintu."Oh, iya. Beli di tempat Bude Wito aja, Om. Lengka