Mas Essa beranjak dari sisiku, berjalan memutar untuk mengambil ponselnya. Kemudian memberikannya kepadaku. Jangan tanya bagaimana reaksiku, tentu aku kaget bukan main, bagaimana bisa ada fotoku dengan Mas Damar sedang berpegangan tangan di sana. Padahal jelas – jelas tadi aku menghindarinya, bahkan aku mengibas tangannya yang hendak memegangku. Lalu, siapa yang tega melakukan ini? Siapa yang memotret kami dan mengirimkannya kepada Mas Essa?========================== Semua ini pasti ulahnya mas Damar, ya, aku ingat ancaman yang dia sampaikan kepadaku saat di Café tadi. Tidak, aku tidak akan membiarkan Mas Essa termakan, oleh permainan kotor mas Damar. Aku tidak rela, jika hidupku dan Mas Essa di hancurkan oleh orang seperti mas Damar.“Mas, aku tadi memang bertemu dengan dia, tapi itupun tidak sengaja, kamu bisa tanyakan kepada Tiara. Dia sendiri yang mengiinkan mas Damar, untuk satu meja sama kami, dengan alasan kasihan dengan kondisinya sekarang. Aku bahkan menolak bicara dengann
Sambil menunggu Zahra bersiap – siap, aku menceritakan perihal ancaman Damar untuk Zahra, kepada Dhanis, Tiara, Riza dan Gianira. Sesuai dugaanku, mereka semua terkejut dengan yang kuceritakan, terutama Tiara.Dirinya merasa bersalah, karena kemarin membiarkan Damar, duduk satu meja bersama mereka. Kami juga membahas, mengenai kemungkinan - kemungkinan yang akan Damar lakukan lagi, untuk memisahkan ku dan Zahra, serta membicarakan bagaimana mengantisipasinya.Aku berharap, dengan pembicaraan ini, aku mendapat banyak masukan dan bantuan, untuk melindungi hubunganku dan Zahra, dari gangguan jahat manusia gila seperti Damar.==================== POV SafeeaPukul satu siang, kami berangkat menuju Nusa Penida. Kelingking Beach berlokasi di Dusun Karang Dawa, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida, Bali. Karena daratan Pulau Bali dan Pulau Nusa Penida dipisahkan oleh laut, maka untuk menuju ke sana, kami harus menyeberang terlebih dahulu.Kali ini aku dan rombongan memilih menggunakan f
“Serius? Ku fikir dia lajang,” kataku, mengutarakan rasa penasaranku.“Entahlah, Verrel terlalu tertutup masalah pribadinya. Dia pernah cerita, kalau telah menikah dengan seorang perempuan, tapi kemudian berpisah dan tidak pernah bertemu lagi. Tapi akupun baru tau, jika dia memiliki anak dengan istrinya,”“Hhmm . . . Baiklah, kamu bisa tanyakan dia nanti! Sekarang aku lapar dan sangat haus, ayo cari makan!” ajak ku, menarik tangan Mas Essa, untuk memasuki sala satu Café, yang ada di sekitar tebing Pantai Kelingking.=============== POV DamarMalam itu, setelah Bagus menjemputku di Café, sepeninggalnya Safeea, aku langsung kembali ke hotel, beristirahat karena aku merasakan sakit yang teramat, pada lambungku. Entah apa penyebabnya, mungkin karena aku tidak sarapan maupun makan siang hari ini, sehingga asam lambungku naik dan menyebabkan perutku sakit. Dulu, Safeea selalu merawatku ketika asam lambungku naik, dengan telaten dia akan membuatkan bubur kaldu dan menyuapiku, hingga seles
Aku masuk ke dalam kamar setelah para tamu – tamu kami bersamaan pamit, untuk masuk ke dalam villa mereka masing – masing. Masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, karena jujur saja, aroma tubuhku sudah bercampur dengan aroma asap bekas bakar – bakaran tadi.“Zah, kamu belum capek, kan? Kita bisa nana nina dulu dong sebelum tidur?” ucap Mas Essa dengan suara serak, tanpa aba – aba memeluk tubuh polosku dari belakang. Duh, bakal begadang sampai pagi lagi ini.=============== Rinai hujan yang turun berarak menjadi musik yang begitu merdu didengar, mengalun syahdu menenangkan hati. Kurapatkan selimut tebal agar menempel ketat pada tubuhku yang semakin masuk dalam dekapan kasur kapur yang telah usang. Sempat kudengar kokokan ayam milik ayah, berteriak begitu nyaring membangunkan manusia yang masih terlelap dalam mimpinya. Namun, mata dan tubuhku seakan kelu untuk sekedar meresponnya. Memilih kembali menengkur pada tidur nyaman yang memabukan.Suara denting dari sutil yang bertemu d
Ting – tong ….Terdengar bel villa-ku berdering, bergegas aku keluar kamar menuju pintu depan, melihat siapa yang datang bertamu pagi-pagi seperti ini.“Siap-a?” aku terkejut bukan main, demi melihat siapa gerangan orang yang datang ke villa-ku untuk bertamu.“Maaf mengganggu, bisakah saya bertemu Safeea?” ucapnya lancar, sungguh tidka tau malu.================= Kuarahkan tatapan tajam sebagai reaksi ketidaksukaanku kepadanya, pria brengsek yang berkali-kali membuat wanitaku mengeluarkan air mata karena ulahnya. Andai tidak melihat kondisinya yang duduk di kursi roda, sudah pasti ku arahkan bogem mentahku ke wajahnya yang menyebalkan itu.“Ada perlu apa mencari istriku? Dia masih tidur, kelelahan,” ucapku ambigu, sengaja agar hatinya panas, terlebih saat ini aku hanya menggunakan handuk yang menutupi pinggang hingga lututku. Sudah pasti dia paham maksud dari yang kutakan barusan.Kulihat wajahnya mengeras, aku yakin dia terpengaruh dengan ucapanku. Rasakan, kuingin dia sadar, jika t
“Maaf, Pak. Cinta itu tidak mengenal alasan, dia tulus dari dasar hati yang paling dalam. Tidak bisa direkayasa apalagi dipaksakan,”“Maksud kamu?”“Tadi bapak bilang jika dulu menyia-nyiakan bu Dokter karena tidak tau kebenaran akan dirinya, kan? Nah, sekarang tiba-tiba bapak mencintai dia karena sudah tau fakta sebenarnya. Bukankah itu karena suatu alasan bapak sekarang mencitainya?” ujar Bagus lagi, mencoba memberikan penjelasan tentang perasaan yang sedang dirasakan Damar saat ini.============= Damar terkesiap mendengar penuturan Bagus. Bukan tanpa alasan Bagus akhirnya berani mengemukakan pendapatnya, pasalnya Bagus sudah muak melihat tingkah laku Damar yang terlalu memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan Safeea lagi.Selama ini Bagus mengenal Safeea sebagai wanita yang baik dan sangat menjaga kehormatannya sebagai wanita. Tidak pernah sekalipun Bagus melihat Safeea membuat kekacauan ataupun skandal selama di rumah sakit. Dirinya bahkan tidak menyangka jika Safeea sudah menika
“Iya sih, Bro. Selama ini dia memang jarang pakai pakaian terbuka kecuali kalau lagi liburan gini. Cuma ya lumayan hati gue pegel lihatin banyak cowok ngelirik dia,” sahutku, seraya berdiri untuk menghampiri Zahra.“Mau ke mana, Bro?” tahan Riza.“Mau ngawal bini gue, biar pada tau kalau cewek yang mereka lihatin sudah punya pawang,” sahutku sekenanya, mengabaikan tawa Riza yang meledak.=============== Setelah berjemur dan membersihkan diri, kami memutuskan untuk minum kopi di Bali Pulina , yang terletak di daerah Tegallalang, Ubud Bali. Tempat ini merupakan agro wisata yang tak hanya memungkinkan kami menyesap kopi luwak segar, namun kami juga diajak untuk tur keliling kebun, melihat luwak, memetik kopi dan menggorengnya.Aku memang sengaja mengajak ke tempat ini karena pemandanganny yanga indah, suasana di sini juga segar walaupun hari sudah cukup siang. Selain itu Riza dan Dhanis seorang penikmat kopi, jadi pilihan yang tepat memang mengajak mereka ke sini sebelum aku dan Zahra
Feelingku memang selalu tepat, setiap kali Dokter Fadly bersikap sedikit lunak kepadaku, pasti akan ada banyak tugas menantiku di hari itu. Dan kini terbukti, segunung tugas dirinya limpahkan kepada pundakku yang cungkring ini.“Baik, Dok, sejauh ini jelas. Tapi mungkin nanti jika ada yang perlu saya tanyakan, saya akan langsung menghubungi Dokter Fadly,”“Sip, yuk kita visite dulu, saya sudah hampir telat,” tutupnya, kemudian mengenakan jas putih kebanggaannya. Sementara aku mengekor dari belakang, lesu melihat setumpuk modul di atas meja yang melambai-lambai menertawakanku. ============== Sudah hampir pukul satu siang dan aku masih berkutat dengan pasien di poli bedah yang mesti kutangani, beberapa memerlukan tindakan sederhana yang bisa kuhandle sendiri, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sementara sisanya hanya sebatas konsultasi dan membaca hasil rontgen sebelum mendiagnosis penyakit yang pasien derita. Suster bantuku menginfokan jika masih ada dua orang pasien lagi yang