Sampai siang kami di sana, Om- eh Ayah, sekarang Om Rasyid sudah jadi mertua, aku harus membiasakan diri memanggil Ayah seperti Jexeon. Mengajak kami makan siang bersama. Setelah salat dhuhur kami turun, suasana di lantai bawah sudah jauh lebih tenang. Duduk saling berhadapan dengan Roan di meja makan, sungguh ini canggung sekali. "Kenapa kau menikah dengan Jexeon?" tanya Roan. Sekarang sepertinya dia sudah yakin bahwa aku benar menikahi kakaknya. Aku melihat sekilas sorot mata Roan yang penuh kekecewaan. Matanya merah, seperti menahan amarah. Dia adalah orang yang selalu tenang dan bisa menjaga cara bicara, tetapi kenapa sekarang dia bertanya hal itu di depan semua orang? "Karena dia mau menikahiku," jawabku sembari membalik piring. Bersiap untuk makan. "Apa kau sangat murahan sampai menikah dengan sembarang orang?" Pertanyaan sangat menusuk, aku mengepalkan tangan. Dia sendiri yang tidak mau menikahiku, sekarang malah mempermalukan aku di depan keluarganya. "Iya, benar. Aku
Hati sulit ditebak, beberapa hari lalu aku sangat berharap bersama Roan. Sekarang aku ingin Roan menjauh dari hidupku. Melupakan segala rasa hingga tak tersisa. Meskipun tidak mendapat cinta dari Jexeon, aku memilih mengamankan hati supaya tidak tersakiti. Langit cerah tak berawan, jalanan ramai seperti biasa. Ada rasa lega dari hati yang paling dalam. Bisa mengungkapkan semua kekecewaan. Perkataan Roan memang membingungkan, seolah dia sangat mencintaiku dan tidak kehilangan. Tetapi, kenapa selama ini dia tidak peduli padaku?"Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku."StarTV."Jexeon selalu menjawab singkat. "Ngapain ke sana?" "Wawancara."Aku tidak tahu sama sekali kalau hari ini ada wawancara, kebiasaan Jexeon adalah irit bicara, membuat komunikasi kami berjalan sulit. Bagaimana bisa wawancara tidak ada persiapan sama sekali?"Wawancara gimana, Mas? Kok nggak bilang dulu, ntar kalau aku buat kesalahan gimana?""Cukup bersikap seperti pasangan kekasih." Kita bukan sepasang kekasih, baru
Cukup lama kami berada di posisi ini, tidak memedulikan orang-orang yang melihat kami. Hingga pintu lift 24 terbuka. Rombongan itu keluar, menyisakan kami yang menuju lantai 25. Jexeon melepaskan kedua tangannya, berdehem dan berdiri agak menjauh. Jantungku berdebar kencang, tanganku dingin. Belum pernah sedekat ini dengan pria."Nanti kalau aku gugup gimana?" tanya memecah kecanggungan. "Jangan gugup."Dia menjawab singkat seperti biasa. Tidak ada basa-basinya sama sekali. "Aku nggak perlu ngomong kalau nggak ditanya 'kan?"Sangat sulit membuat obrolan dengan Jexeon. Dia kaku seperti kanebo kering. "Iya.""Kalau ditanya kenapa kita nikah gimana?""Saling mencintai."Aku langsung diam hampir tersedak ludahku sendiri, bagaimana bisa menjawab bahwa kita saling mencintai? Itu terlalu berbohong. Semua orang tahu bahwa aku bertunangan dengan Roan, adiknya. Bahkan pembatalan pertunangan dengan Roan belum diumumkan secara resmi, hanya aku yang mengembalikan cincin. Tidak melalui musyawa
Aku segera menoleh ke sumber suara, ada Mia di sana. Memakai baju sexy. Bagaimana bisa dia memakai baju transparan sore hari begini? Dia mirip wanita pinggir jalan yang mencari mangsa, firasatku mengatakan dia sengaja menggoda Jexeon."Dia bilang ada urusan, bukan cari perempuan lain." "Yua, kamu itu bosenin. Makanya suamimu pergi terus setiap malam. Tapi, karena aku adalah sepupu baik hati. Nanti malam akan aku coba menyenangkan suamimu supaya betah di rumah." Mia mengatakan itu dengan senyum lebar, hatiku terasa terbakar mendengarnya. Kenapa suamiku harus disenangkan olehnya? Aku bisa mengurus suamiku sendiri."Tidak perlu repot-repot, suamiku itu urusanku, bukan urusanmu." "Aku bantu dengan senang hati kok, apalagi tubuh kekar suamimu itu uh kayaknya sangat kuat di ranjang," ucapnya pergi meninggalkanku. Aku lihat semakin lama pakaian Mia semakin keterlaluan, terlihat jelas dia sedang berusaha menggoda Jexeon. Walaupun aku percaya dengan Jexeon, tetap saja rasa kesal itu ada.
Sorot matahari yang sebentar lagi tenggelam menimbulkan warna jingga di langit Jakarta, kicauan burung terbang di atas barisan gedung pencakar langit. Angin berembus ringan, menerbangkan debu halus hingga menerpa wajah Roan hingga dia kelilipan.Sorot matanya tajam sedikit merah, melihat lalu lalang kendaraan dari atap gedung Nathanael Grup. Kemarahan menguasai dadanya sejak siang. Wanita yang sangat dia cintai memilih pria lain, apalagi sorot mata kecewadari Yua membuat goresan luka di hatinya. Tangannya mengepal, menyalahkan diri sendiri kenapa tidak mencegah Yua memutuskan pertunangan. Kalau saja waktu itu dia berlari mengejar Yua, pasti tidak akan menjadi seperti ini. Sekarang, Yua sudah menjadi istri orang lain. Roan tidak menyangka hal itu sama sekali. Lalu, kenapa orang yang menjadi pelampiasan Yua adalah kakak tirinya, Jexeon. Dia bukan orang baik-baik. Jexeon memiliki dendam terhadap keluarganya, terutama padanya. Pasti Yua hanya dimanfaatkan untuk balas dendam."Kenapa mem
Teman-temannya menganggap Jexeon memalukan karena tidak kuat minum sebotol miras, padahal yang lainnya bisa mabuk semalaman. Tapi saat itu setengah botol saja sudah tidak kuat.Meskipun menghindari alkohol, ada beberapa orang yang tidak bisa ditolak, salah satunya adalah Pram. Anak Tuan Besar, karena menghormati Pram sama saja menghormati Tuan besar. "Mecet," jawab Jexeon singkat. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah tiga tahun berlalu, memang Jexeon menduga bahwa kemunculannya di publik akan mengundang Pram. Selama ini hanya Tuan besar yang mengetahui identitas aslinya sebagai putra pertama dari Keluarga Nathanael. Kebanyakan tukang pukul Siluet adalah anak jalanan, gengster atau preman. Tidak ada dari kalangan atas sepertinya. "Minum," perintah Pram. Menyodorkan segelas wine berwarna merah. Padahal Pram tahu bahwa dia lemah terhadap alkohol, tetapi malah disuruh minum. Jexeon tidak bisa menolak, dia minum setengah gelas. Mencoba mempertahankan kesadarannya. "Ada apa mem
Jexeon masih asik menjelajahi leher Yua, tiba-tiba air matanya menetes, rasa manis ini seperti lolipop yang dibelikan ibu. Aroma ini juga mirip saat ibu mendekapnya, dia tidak bisa lagi mengendalikan kesadaran dan juga rasa rindu. Tangannya mendekap erat tubuh Yua, turun ke bawah mencari aroma yang dia rindukan. Memeluk Yua layaknya tubuh ibunya. Air matanya terus menetes. Membayangkan ia kembali ke lima belas tahun lalu, saat ibunya masih hidup. Andai waktu itu dia datang tepat waktu, mungkin ibunya akan selamat. Setiap hari penyesalan itu menggerogoti hatinya. Menyalahkan diri sendiri atas kematian ibu."Ibu, Iyon rindu." Dalam dekapan Yua, ia mengeluarkan rasa rindu yang selama ini ditahan. Menganggap sedang memeluk ibu yang sangat dia rindukan. Dulu, dia tidak ingin balas dendam. Percuma ibunya tidak akan hidup lagi. Selama lima tahun tinggal bersama ayah, Jexeon menjalankan amanah untuk menjadi anak penurut. Namun, orang-orang yang disebut keluarga itu tidak memperlakukan dia
Aroma Yua membuat rasa kantuk menyerang lagi, dia mencoba tetap sadar dan mencari celah keluar dari situasi. Hanya saja, matanya tidak bisa berbohong. Dia kembali tertidur nyenyak dalam dekapan Yua. Di antara benda kenyal dan lembut itu. Tanpa sadar dia kembali ke alam mimpi, tangannya kembali memeluk rasa manis dan hangat ini. Dia menyukainya. Bahkan sangat menyukainya hingga tidak berpikir untuk lepas. "Mas, bangun. Udah jam sepuluh." Tiba-tiba suara Yua diiringi sinar matahari membuat kesadaran ditarik, matanya mengerjab. Ia bangun kesiangan. Yua sudah ganti baju, wajahnya tersenyum cerah. Sejak kapan wanita itu terlihat secantik ini? Jexeon baru sadar bahwa Yua manis dan memiliki bibir ranum. Kesadaran Jexeon sudah kembali, dia ingat kejadian memalukan semalam. Pura-pura tidak tahu adalah jalan terbaik untuk menghindari rasa malu, ia berharap Yua tidak bertanya apapun. Jexeon beranjak duduk, memasang wajah dingin seperti biasa."Ambilkan sarapan," pinta Jexeon. "Mau sarap