Kalau suka karya ini mohon dukungannya lewat vote ya
Aroma Yua membuat Jexeon tenang dan bisa memejamkan mata, kehadiran gadis itu perlahan mencuri perhatiannya. Tingkahnya yang malu-malu tapi kepo terasa menggemaskan. Jexeon terbangun ketika tidak mendapati Yua di kamar, ia mencari ke kamar mandi. Tidak ada juga. Jexeon memakai kaos dan turun ke lantai bawah. Terlihat di pintu, Yua sedang mengantar Roan pergi. Ada yang mengusik hatinya, sesuatu yang tidak disukai. Jexeon tidak tahu apa itu. Dia turun ke bawah, menangkap basah Yua yang sedang melihat mobil Roan meninggalkan rumah. "Astaghfirullah, Mas ngagetin." "Ngapain Roan ke sini?" tanya Jexeon, nadanya biasa saja. Tapi tidak bisa menyembunyikan kekepoan. "Cuma ngasih obat, kok." Yua menunjukkan salep di tangan, bibirnya tersenyum cerah. Seperti tidak merasa bersalah. Terkadang Yua seperti anak kecil yang polos, terkadang dia juga seperti gadis rapuh, tapi juga bisa marah.Anehnya Yua tidak punya rasa takut, selalu mendekatinya padahal sudah diperingatkan. Normalnya, Yua harus
Pada akhirnya Jexeon tidak tahan, ia tidak bisa membiarkan Yua mengambil alih pikirannya. Jexeon mengambil payung, dia mencari Mushalla Darul Iman. Pernah tidak sengaja melewati, tidak jauh dari sini. Yua saja jalan kaki. Berarti dekat. Terlihat dari kejauhan beberapa orang berada di mushola Darul Iman. Ada Yua yang menjaga jarak dengan pria. Gadis itu hanya menunduk. Menunggu hujan reda."Ukhti Yua, mau saya antar pulang?" tanya seorang pemuda. Langkah Jexeon terhenti, padahal sudah berada di samping mushalla. Ingin mendengar jawaban Yua terhadap ajakan pria lain.Gadis itu menunduk sembari menggeleng ringan. "Tidak perlu Ustad, saya menunggu hujan reda saja.""Kalau sampai malam tidak reda bagaimana?" Ustad itu terlihat khawatir. "Tidak apa-apa, saya bisa sekalian salat magrib di sini. Silakan Ustad pulang duluan." Yua mempersilakan, tidak sekalipun membalas pandangannya. Terlihat sangat menjaga jarak.Ustad itu terlihat tampan, berpendidikan dan sopan. Berbanding terbalik darin
Yua mengangguk, bibirnya terus tersenyum. Sangat bersemangat. Mereka mulai berjalan tanpa menoleh lagi ke rombongan jamaah yang heran melihat hubungan Yua dan suaminya."Tadi kajiannya seru banget, Mas. Temanya rumah tangga sebagai ladang ibadah. Aku seneng banget karena bisa praktek langsung. Aku kan sekarang udah nikah. Jadi bisa praktek sama Mas Iyon." Yua berkata seolah mereka suami istri normal. Memberikan cinta dan kasih sayang dalam rumah tangga. Hal yang sejak awal Jexeon peringatkan, ia tidak bisa seperti itu. Pernikahan mereka hanya sebatas saling menguntungkan. Tidak akan ada cinta. "Sudah berkali-kali kubilang, jangan minta cinta. Sepertinya kau sangat mengabaikan peringatanku."Yua mendongak ke atas, masih dengan jalan tertatih di antara genangan air di jalan. Lucin dan tongkatnya harus berhati-hati. "Aku nggak minta cinta. Tapi kalau ngasih cinta boleh, 'kan?" tanya Yua sembari tersenyum. Sejenak jantung Jexeon seakan berhenti berdetak, seperkian detik dia kehilangan
Roan menutup kepalanya dengan bantal, tidak mau mendengar ocehan Mama yang menyuruhnya berangkat kerja. Sudah dua hari dia tidak mau ke kantor. Merasa bahwa sukses pun percuma, Yua sudah jadi milik pria lain. Semua ini gara-gara Mama, andai dia menikahi Yua lebih cepat. Pasti tidak akan ditikung kakak tirinya. Masih ingat betul kejadian beberapa hari lalu di pesta, Yua lebih memilih digendong Jexeon. Malam itu dia dengar bahwa Yua akan datang sendiri. Roan menjadi sangat bersemangat bertemu dengan Yua. Hal yang tidak dia sangka adalah ternyata selama ini Yua di-bully. "Aku jarang ke pesta, tolong kamu jagain Yua di sana." Dua tahun lalu Roan mempercayakan Yua kepada Tasya, teman sekaligus rekan kerja. Mereka bersahabat cukup lama. "Kamu tenang aja," jawab Tasya waktu itu. Setelahnya, Roan menjadi sangat sibuk. Ketika Tasya bercerita tentang Yua. Ia abai. Tidak menanggapi seolah tidak peduli. "Apa Yua cerita sama kamu soal pesta?" tanya Tasya suatu waktu. Tepatnya kapan Roan lu
Jexeon tidak suka dipermainkan seperti itu. Dia memilih memecahkan kaca dan menghajar temen-temennya yang sudah keterlaluan. Hingga tidak ada lagi yang berani berbuat seperti itu lagi. "Tapi aku nggak nyangka, kirain kamu nggak suka cewek. Ternyata tipemu cewek model Yua. Pantes kau bilang cewek pakaian sexy menjijikkan. Ternyata sukanya yang tertutup. "Gimana rasanya enak, 'kan? Pasti itumu ketagihan." Jalan raya sudah terlihat, mobilnya ada di pinggir jalan sana. "Aku belum pernah menyentuh Yua," kata Jexeon jujur. Maksudnya selain leher.Tangannya langsung ditarik Lazio, membuat Jexeon menoleh bingung. Mata Lazio melebar seakan tidak percaya perkataan Jexeon. "Kau gila? Sudah dua minggu tinggal bareng tapi nggak ngapa-ngapain?" tanyanya, seolah itu hal yang sangat penting hingga membuatnya terkejut. "Apa itu salah?" Jexeon menghempas tangan Lazio dari lengannya. Merasa tidak ada yang salah. Hubungannya dengan Yua tidak ke arah sana. Hanya pernikahan yang saling menguntungkan
"Tunggu, Mas. Aku lagi datang bulan," kataku. Mencoba menghentikan tindakannya yang seperti drakula. Jexeon melepaskan gigitannya, terasa nyeri dan pasti berbekas seperti waktu itu. Dia menatap mataku, wajahnya masih es seperti biasa. "Memang kenapa?" tanyanya. Ntah polos asli atau hanya sok polos, aku tidak tahu."Nggak boleh gituan, dosa.""Kalau tidak datang bulan, boleh?" Pertanyaannya itu loh, membuatku salah tingkah. Terang-terangan dia minta jatah. Hal yang aku tunggu selama ini, yakni menjadi istri seutuhnya. Tapi setelah mendengarnya menanyakan langsung terasa memalukan."Boleh," jawabku merona merah. Menahan senyum. Dia tidak pernah minta imbalan apapun ketika menyediakan tempat tinggal dan memberiku pakaian. Bahkan saat sudah menikah, Jexeon tidak minta haknya sebagai suami. Aku merasa seperti tembus pandang, lebih tepatnya tidak dianggap ada. Terkadang aku sedih, ingin sekali saja aku merasa dia membutuhkanku. Menginginkan keberadaanku. "Tapi sekarang aku tidak tahan
Aku menunggu cukup lama, mengisi waktu dengan melihat skripsi yang sebentar lagi selesai. Tinggal bertemu dosen pembimbing jam 10 nanti. Semoga lancar dan bisa cepat wisuda.Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, menampakkan Jexeon dengan handuk melilit pinggang. Dia keramas. Apakah mandi suci seperti permintaanku?Tubuhnya yang basah mengingatkanku pada kejadian semalam, apalagi ada bekas gigitanku di sana. Pipiku terasa panas lagi. Buru-buru berpaling. "Kau ingin imbalan apa?" tanyanya sembari memakai baju. Wajahnya dingin tanpa ekspresi."Imbalan gimana?" tanyaku bingung."Aku tidak ingin berutang budi," jawabnya. Maksudnya apa, aku tidak mengerti. Kenapa dia berhutang budi? Memang apa yang sudah aku lakukan?"Utang budi apa? Aku nggak maksud." "Semalam," jawabnya singkat, tanpa melihat ke arahku. Apa maksudnya pelayananku? Apa dia pikir aku pelacur yang minta imbalan setelah membuat pelanggan puas? Aku sungguh tersinggung. Ternyata serendah itu aku di matanya. Rasanya sa
Aku tidak tahu sejak kapan hati ini terikat, meskipun dia mencekikku dan melukai hatiku, hati ini tetap condong padanya. Padahal sikapnya selalu dingin, tidak pernah mengatakan sesuatu yang manis. Apa hanya karena dia penyelamatku maka aku merasa balas budi? Awalnya aku pikir begitu, sebatas balas budi. Namun, tadi malam aku sadar menginginkan dia mencintaiku, membutuhkanku dan menyayangiku. Hal yang seharusnya tidak boleh, sejak awal dia memperingatkan bahwa jangan minta cinta. Bola matanya menatap jernih melewati jeruji besi yang memisahkan kami. Aku ingin memeluknya dan berkata bahwa percaya apapun yang dia katakan. Jantungku berdebar kencang, berharap tuduhan yang dilayangkan padanya adalah salah. Supaya aku bisa membelanya sampai mati, apapun akan aku lakukan untuk mengeluarkan dia dari sini. Sepertinya aku rela menunggu Jexeon seuumur hidup, hanya dia, orang yang mengikat hatiku dengan sesuatu yang disebut cinta. Benar, aku jatuh cinta pada Jexeon, bahkan apapun yang dia laku