"Prenagen di rumah masih ada nggak Ma?" Sebuah suara membuatku menoleh. Tepat di sebelah kiri. Satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu yang sedang mengandung dan satu anak laki-laki lucu berusia sekitar lima tahun.
Aku dan Kevan sedang belanja bulanan saat ini di Carrefour. Dan keluarga manis ini berhasil mencuri perhatian ketika aku sedang mengantri di kasir. Kevan sedang mencari sesuatu yang tertinggal di deretan rak.
"Masih kok Pa, masih cukup. Nanti aja beli lagi," jawab si ibu yang sedang hamil tua ini. Dapat terlihat aura bahagia dari wajahnya. Dia tak berhenti tersenyum. Betapa manis keluarga ini. Aku menyukainya.
"Folamil kamu masih ada, Ma?" tanya si suami lagi sembari mengelus-elus perut istrinya. Aku masih sibuk memperhatikan. Keluarga ini begitu hangat, membuat siapapun yang berada di sekitar mereka pasti akan menoleh dan menyunggingkan senyuman.
"Oh iya. Vitaminku
Tak lama setelah kami berbelanja, Kevan pergi lagi. Entah kemana. Dia bilang ada yang harus diurus dan baru pulang setelah malam sudah sangat larut. Mungkin karena kelelahan, dia langsung merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Sudah satu minggu ini Kevan seperti ini, menyibukkan diri dengan segala pekerjaan. Aku tahu ada sesuatu yang mengusik hatinya namun aku tak tahu pasti masalah apa yang sedang ia hadapi. Karena dia selalu menghindar jika aku mulai menyinggung tentang hal itu. "Kev, kalo ngantuk jangan tidur disitu. Langsung masuk kamar gih." Dia bergeming dan tak mengikuti ucapanku. "Kev.""Bentar, Ay. Sebentar aja."Kevan mengucapkan itu sembari menutup matanya. Tak biasanya Kevan begini. Dia kenapa ya?Merasa khawatir, maka aku pun
Aku membuka mata ketika merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kening cukup lama. Rasanya aneh ketika menyadari Kevan yang melakukan itu. Lalu yang terjadi sekarang dia sedang membelai pipiku dan tersenyum dengan manis ketika menyadari aku sedang menatapnya panik."Panas kamu udah turun belum?" tanyaku menyentuh keningnya, menyadari dia sakit semalam, tak bisa tidur dengan tenang karena panas tinggi.Bertahun-tahun aku bersahabat dengannya tapi baru semalam merasakan kekhawatiran yang berlebihan seperti itu. Mungkin karena kami tinggal serumah bahkan satu tempat tidur dan melihatnya sakit secara langsung membuat kepanikan ikut melanda atau karena sebagian hatiku sudah diisi olehnya? Entahlah, aku tak tahu pasti. Tapi yang kutahu merawat suami termasuk tugas istri kan?"Aku udah nggak panas lagi. Maaf ya Ay, kamu jadi nggak tidur semaleman." Dia mengambil anak rambut yang menutup sebagian wajahku dan menyematkannya di bali
"Ante, Aya!" teriakan seorang bocah lucu yang sudah akrab di telinga ini membuatku menoleh. Aku tersenyum menyambut anak itu yang sedang berlari menghampiri sembari memegang boneka kesayangan."Eh, Ayu." Aku menciumi anak itu ketika dia sudah berada dalam pelukanku.Rambutnya yang wangi khas shampoo anak-anak membuatku semakin gemas untuk memberikan ciuman kecil pada puncak kepalanya. "Kok main sendirian?" tanyaku kemudian."Ndak cendilian ante. Ada Adek (Nggak sendirian Tante. Ada adek)." Dia menunjuk boneka perempuan yang tempo hari selalu dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu."Oh iya main sama adek ya? Masih nangis nggak adeknya?""Ndak Ante. Udah iem. Udah mimik cucu adi (Nggak Tante. Udah diem. Udah minum susu tadi).""Eh ada mbak Aya. Ayu pasti lagi gangguin Tante Aya ya? Ngajak main terus." Mas Agung, Papa Ayu sudah berada di hadapan kami sekarang. Dia tersenyum
Anak-anak dan dunianya. Sudah satu bulan ini aku terbiasa dengan hal itu. Dekat dengan Ayu membuatku lebih mengenal lagi dunia mereka. Aku menjadi tahu apa saja kesukaan anak empat tahun itu dan apa ketakutan terbesarnya.Dia suka frozen, suka kinderjoy, suka yupi, dia phobia jarum suntik dan dia juga sangat takut dengan darah. Pernah satu kali ia terjatuh dan menangis histeris setelah melihat ada darah pada kakinya. Aku berusaha menenangkan dan memeluk dengan sayang. Dia berhenti menangis dan tersenyum dengan sangat manis setelah itu. Aku tahu ada bagian dalam diri Ayu yang hilang, sesuatu yang sulit ia pahami. Dia merindukan satu sosok dalam hidupnya... kehadiran seorang ibu.Lewat suster yang menjaga Ayu, aku menjadi tahu penyakit yang diderita istri Mas Agung. Hipokalemia, penyakit yang disebabkan karena kurangnya kalium dalam tubuh. Ketika sedang mengandung calon adik Ayu, dia terjatuh dan menjadi berbahaya karena ternyata ib
"Itu Ayu kenapa ya? Tumben rewel kayak gini?" tanyaku ketika mendengar suara tangisan Ayu. Kulirik jam dinding, pukul sepuluh malam. Dia tak biasanya begini. Aku menoleh pada Kevan yang baru keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai bercukur. Dia terlihat lebih ganteng dan segar dengan tampilan barunya. Tapi aku tak mempedulikan itu, karena perhatianku sedang teralih oleh suara tangisan Ayu kini."Ngantuk kali mau tidur," sahut Kevan santai bersiap-siap naik ke atas tempat tidur."Tapi biasanya nggak gini, Kev? Udah setengah jam Ayu nangis. Aku nggak tega."Dia mengembuskan napas pelan. "Ya terus kamu mau ngapain? Udah ada bapaknya, Ay."Aku diam walaupun dalam hati rasanya tak tenang. Mendengar seorang balita menangis dengan keras di malam yang sudah larut ini membuat naluriku ikut terketuk. Jika tak ada Kevan, mungkin aku sudah berlari ke rumah sebelah. Memeluk Ayu dan memastikan ia baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, Ayu segera mendapatkan perawatan. Menurut hasil pemeriksaan bocah itu positif gejala typus. Dan dia harus dirawat. Pantas saja suhu tubuhnya tinggi dan dia tak kunjung berhenti menangis semalaman.Aku saja yang setua ini merasa menderita sewaktu typusku kembali menyerang. Apalagi anak sekecil itu yang masih belum mengerti tentang sakit yang ia rasakan. Dari tempatku berada aku dapat melihat Ayu yang terlihat pucat dengan jarum infus yang menempel pada pergelangan tangannya. Jangan ditanya bagaimana usaha kami mendiamkannya ketika para suster berusaha memasang jarum infus itu pada nadinya. Butuh usaha ekstra dan kesabaran."Terima kasih Mbak, sudah mau mengantar Ayu. Maaf sudah merepotkan," ujar Mas Agung ketika Ayu sudah tertidur. Dia duduk di sisi pembaringan sedangkan aku dan Kevan duduk di sofa."Sama-sama, Mas. Saya nggak merasa direpotkan. Yang penting Ayu sembuh. Susternya Ayu kemana ya, M
"Ay!!!! Sumpah gue kangen banget sama lo!" teriak Lintang begitu sampai rumahku. Dia memelukku sangat lama untuk melepas kerinduan kami berdua. Sudah berapa bulan aku tak bertemu dengannya karena kesibukan masing-masing."Aaaahhhh... gue juga Tang. Kangen banget! Sok sibuk sih lo." Kami berpelukan macam teletubbies. Biasanya Kevan akan ikut-ikutan mengganggu. Tapi untuk kali ini jangan harap. Dia juga sepertinya tahu diri untuk tidak ikut dalam aktivitas kami ini.Sebetulnya sih permasalahan pangsit bakso tadi pagi, Kevan sudah menyiapkannya untukku dan dia simpan di dapur. Pangsit bakso yang dia makan itu memang miliknya tapi sengaja dia melakukan itu untuk menjahiliku. Walaupun pangsit bakso itu aman tetap saja aku masih kesal dengannya. Dia rese dan menyebalkan. Jadi sejak pagi aku sengaja mendiamkannya."Tumben laki lo nggak ikutan meluk-meluk. Kalian berantem?" tanyanya tiba-tiba, menyadari sesuatu yang tak bias
"Ay, Kev ... thanks ya! Gue balik dulu," pamit Lintang melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya.Setelah mobil mereka menghilang, aku diam dan menyilangkan tangan menatap Kevan yang berdiri di depanku namun posisi lelaki itu membelakangi. Kevan yang berniat masuk ke dalam rumah lalu membalikkan badan dan langsung terkejut ketika menyadari aku sedang menatapnya."Lintang udah cerita semua tadi. Kamu keterlaluan ya, Kev, lebih milih cerita semua masalah ke Lintang daripada aku, istri kamu sendiri."Bukannya aku iri pada Lintang. Namun, siapa yang tak sakit, ketika suami sendiri lebih memilih membagi bebannya pada sahabatnya daripada istrinya?Aku lelah harus menduga-duga apa yang terjadi pada Kevan selama ini. Selalu berpikiran apa salahku hingga dia tiba-tiba berubah, seringkali diam dan terkadang marah.Dia mengambil napas dan mengembuskan perlahan. "Ay, aku minta maaf udah ke