Entah berapa lama mereka saling menyerang. Keduanya terkapar di lantai dalam keadaan sama-sama memprihatinkan. "Lepaskan dia! Kau tidak pantas untuk Elif," ujar Alzam pelan sambil meringis dengan wajah yang sudah babak belur. "Heh. Siapa kau berani memerintahku?" sanggah Ammar dengan kondisi tak kalah mengenaskan. Wajah keduanya penuh lebam bahkan di beberapa bagian sampai berdarah. Seluruh bagian tubuh terasa nyeri, tapi mulut mereka belum berhenti untuk menghina satu sama lain. "Aku ... salah satu orang yang menginginkannya dari sekian banyak pria." Telinga Ammar seketika panas. Ia melirik seseorang yang terkapar tidak jauh darinya dengan ekor mata. Dalam hati, laki-laki itu bersumpah, jika saja tenaganya masih ada, ia akan menghabisi Alzam saat ini juga. "Kenapa diam? Kau tidak mencintainya melainkan kebencian yang sudah lama kau tanam untuk menyiksanya. Dia terlalu baik untuk manusia setengah iblis sepertimu," sambung Alzam yang berhasil membuat dada Ammar berdenyut. "Ck.
Darius yang sedang bersandar di pintu mobil terpaku, ketika Elif melangkah menghampirinya. Dari balkon, tampak Hilya mengangkat tangan sebagai tanda penyemangat untuk Darius yang sempat menatap ke atas sana. 'Dia benar-benar sempurna dalam balutan gaun pilihanku,' batin Darius puas saat Elif sudah semakin dekat.Apapun yang melekat di tubuh Elif sekarang, adalah pilihan Darius. Sesuai selera laki-laki itu. Sementara hatinya, sibuk bermain-main, ketar ketir, selalu seperti itu ketika berpapasan dengan Elif, dari dulu. Ah, Elif tidak sadar sama sekali, tengah terjebak dalam permainan dua sahabatnya. Malam ini, mereka berlima akan menghadiri undangan pesta ulang tahun sepupu laki-laki Bima. Tapi, menurut penuturan Hilya pada Elif, mereka tidak bisa pergi bersama. Karena Elena akan mengajak gebetan baru, Bima dengan tunangannya dan Hilya sendiri bersama kekasihnya. Hanya Darius dan Elif yang tersisa. Mereka sama-sama tidak punya pasangan. Padahal, ini rencana licik Hilya untuk memba
Tapi, saat Elif keluar dari toilet ceritanya mulai berbeda lagi. Tubuhnya membeku menyadari siapa yang kini berdiri sambil menyilangkan tangan di dada di depan sana. Beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sebelum akhirnya sosok itu memangkas jarak dengan menghampiri. "Terima kasih ... karena tetap baik-baik saja, wanita keras kepala." Elif mencoba melepas kedua tangan Ammar dari bahunya. "Lepaskan! Kau menyakitiku."Tanpa disadari, cengkraman Ammar terlalu kuat hingga Elif meringis. Bukan, ini bukan seperti kejadian tempo hari, ketika Ammar mencengkram bahu Elif saat wanita itu berkeukeuh untuk pergi.Malam ini, Ammar euforia. Karena terlalu rindu juga tidak percaya, jika orang yang dicari-cari kini tampak nyata di depan mata. Meski, harus membayar mahal untuk rasa cemburu karena pemandangan menyesakkan beberapa waktu yang lalu.Ya, Ammar cemburu, meski cinta masih dilapisi dendam tak jelas masa lalu. Tapi, setidaknya laki-laki itu mulai sadar, kurang lebih begitulah perasaan Elif
Tubuh Ammar lunglai, setelah mendengar percakapan mamanya dengan Alzam. Tidak sanggup berada di sana lebih lama, juga belum sanggup bertemu ny. Risma untuk memastikan bahwa apa yang ia dengar barusan adalah tidak benar. Bagaimana mungkin?'Itu tidak benar.' Laki-laki gagah yang hampir setengah jam bersembunyi di balik pintu, memutuskan untuk pergi dari sana dengan air mata ysng yang sudah menganak sungai.Saat di mobil, pikirannya menerawang jauh pada masa lalu, hari di mana seorang gadis asing masuk ke rumah bersama orangtuanya, yang Ammar tatap dengan penuh kebencian di pertemuan pertama. First impression yang sangat tidak menyenangkan.Selama ini Ammar mengira, Elif adalah perebut kehidupannya yang sangat nyaman. Elif benalu, Elif tidak tahu diri. Elif memanfaatkan kebaikan keluargaku. Benar begitu, Ammar? Tentu saja. Itulah sebutan yang paling cocok yang kau lontarkan untuk istrimu.Dalam keadaan setengah sadar, Ammar menginjak pedal gas dan melajukan mobil dengan kecepatan tingg
Masalah seperti ini, terlalu rumit untuk Ammar pecahkan. Nyali untuk memperjuangkan Elif semakin menciut. Laki-laki itu merasa sangat rendah, tidak pantas untuk membawa istrinya kembali.Tapi, untuk melepas, berat sekali. Ammar menggeleng-geleng kepala tidak rela. Apalagi, ketika bayang-bayang laki-laki beruntung yang bersama Elif malam itu, kerap muncul dalam kepala. "Aku harus apa? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau kehilangan dia?" tanya Ammar pada diri sendiri sembari memukul dada yang terasa nyeri."Seharusnya, aku memperlakukannya dengan baik. Seharusnya, aku menjaganya dengan tulus, bukan malah menyuruhnya untuk pergi. Sekarang, aku harus mencarinya ke mana? Bagaimana caraku membawa pulang? Apa yang harus kujelaskan?" Ammar terus meracau, jika kemarin-kemarin ia menyesali perbuatan dengan setengah hati. Hari ini Ammar sadar sepenuhnya. Tentang perlakuan buruk dan perkataan yang kerap kali membuat hati Elif merasa pesakitan. "Tuhan, bolehkah aku yang tidak tahu diri ini
"Tidak Hilya. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan masa lalu. Aku hanya ingin merasakan hidup seperti orang-orang biasa di luar sana. Ayolah, aku hanya ingin merasakan mencari pekerjaan seperti orang-orang normal. Anggap saja sahabatmu ini sedang magang. Bagaimana?"Elif sengaja bertingkah menggelikan dengan mengedipkan matanya menggoda Hilya. "Issh! Tolong jangan bercanda, Elif! Aku sedang serius. Jadi, kau tidak menganggapku sebagai temanmu lagi?" Hilya mendelik tajam pada Elif yang sedang menyengir ke arahnya."Haha. Tentu saja kau dan yang lainnya tetap temanku. Karena itu, kau harus mendukung dengan keputusan yang akan kuambil. Atau jangan-jangan, kalian malu punya teman yang hanya pelayan kafe sepertiku?" Tembakan Elif tepat sasaran dan menjadi bumerang bagi Hilya. Meski Elif tengah menjebaknya, tapi kalau sudah begini Hilya bisa apa. "Eh, kau menuduhku sekejam itu? Aku hanya ingin membantumu, tahu! Baiklah- baiklah, terserah kau saja mau bekerja di mana. Yang jelas a
"Kak Alzam mau pesan apa?" Elif kembali membuka suara setelah beberapa saat keduanya terjebak dalam hening. Mencoba bersikap santai seperti biasa, meski terasa sulit. Tak terkecuali Alzam, yang intens menatap Elif dari ujung rambut sampai ujung kaki.Hati kecil wanita itu sibuk bertanya, apakah Alzam punya maksud tertentu atau hanya kebetulan saja. "Red Velvet Latte dan ...." "Ada lagi?" Elif memotong ucapan laki-laki yang terlihat sedang kebingungan itu."Dan kamu. Ya, aku ingin bicara ....""Tapi, aku tidak bisa. Aku sedang bekerja ....""Tidak lebih dari sepuluh menit. Atau biarkan aku yang meminta izin pada managermu," tawar Alzam serius. Elif tidak punya alasan lagi untuk menghindar. "Baiklah. Biar kusiapkan pesanannya dulu," jawab wanita itu lesu, kemudian berlalu dengan gelisah. Sementara, Alzam menatap kepergiannya dengan tatapan yang sukar dijabarkan. 'Gara-gara laki-laki itu, hidupmu jadi sesulit ini.'"Apa yang ingin Kak Alzam bicarakan?" tanya Elif setelah meletakkan
"Percayalah, Kak! Sungguh, aku baik-baik saja." Ya. Alzam tidak lagi menemukan celah untuk mendebat. Elif tidak memberinya kesempatan sama sekali. 'Ya Tuhan sampai kapan aku harus memendamnya. Melakukan sandiwara untuk menutupi semuanya.' Alzam mendesah. Ingin sekali ia berteriak agar dunia tahu dengan jelas dihatinya. Terlebih wanita yang menurutnya tidak peka sama sekali. Tapi, lagi-lagi akal sehatnya menentang. 'Walau bagaimanapun, Elif istri orang, istri saudaraku. Sungguh, aku akan sangat rendah, jika sampai bertindak sejauh itu.' "Baiklah. Aku akan mencoba mengerti. Tapi, bolehkah jika sesekali aku mengunjungimu? Tante juga sangat merindukanmu." Hati Elif mencolos, saat mama mertuanya di sebut. Wanita baik itu, Elif juga sangat rindu terhadapnya. Tapi ...."Kak Alzam bisa mampir ke sini jika ingin bertemu denganku. Soal mama ...." wajah Elif seketika sendu. "Katakan padanya aku baik-baik saja. Tolong yakinkan mama agar tidak perlu mengkhawatirkan aku.""Kau tidak ingin b