Masalah seperti ini, terlalu rumit untuk Ammar pecahkan. Nyali untuk memperjuangkan Elif semakin menciut. Laki-laki itu merasa sangat rendah, tidak pantas untuk membawa istrinya kembali.Tapi, untuk melepas, berat sekali. Ammar menggeleng-geleng kepala tidak rela. Apalagi, ketika bayang-bayang laki-laki beruntung yang bersama Elif malam itu, kerap muncul dalam kepala. "Aku harus apa? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau kehilangan dia?" tanya Ammar pada diri sendiri sembari memukul dada yang terasa nyeri."Seharusnya, aku memperlakukannya dengan baik. Seharusnya, aku menjaganya dengan tulus, bukan malah menyuruhnya untuk pergi. Sekarang, aku harus mencarinya ke mana? Bagaimana caraku membawa pulang? Apa yang harus kujelaskan?" Ammar terus meracau, jika kemarin-kemarin ia menyesali perbuatan dengan setengah hati. Hari ini Ammar sadar sepenuhnya. Tentang perlakuan buruk dan perkataan yang kerap kali membuat hati Elif merasa pesakitan. "Tuhan, bolehkah aku yang tidak tahu diri ini
"Tidak Hilya. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan masa lalu. Aku hanya ingin merasakan hidup seperti orang-orang biasa di luar sana. Ayolah, aku hanya ingin merasakan mencari pekerjaan seperti orang-orang normal. Anggap saja sahabatmu ini sedang magang. Bagaimana?"Elif sengaja bertingkah menggelikan dengan mengedipkan matanya menggoda Hilya. "Issh! Tolong jangan bercanda, Elif! Aku sedang serius. Jadi, kau tidak menganggapku sebagai temanmu lagi?" Hilya mendelik tajam pada Elif yang sedang menyengir ke arahnya."Haha. Tentu saja kau dan yang lainnya tetap temanku. Karena itu, kau harus mendukung dengan keputusan yang akan kuambil. Atau jangan-jangan, kalian malu punya teman yang hanya pelayan kafe sepertiku?" Tembakan Elif tepat sasaran dan menjadi bumerang bagi Hilya. Meski Elif tengah menjebaknya, tapi kalau sudah begini Hilya bisa apa. "Eh, kau menuduhku sekejam itu? Aku hanya ingin membantumu, tahu! Baiklah- baiklah, terserah kau saja mau bekerja di mana. Yang jelas a
"Kak Alzam mau pesan apa?" Elif kembali membuka suara setelah beberapa saat keduanya terjebak dalam hening. Mencoba bersikap santai seperti biasa, meski terasa sulit. Tak terkecuali Alzam, yang intens menatap Elif dari ujung rambut sampai ujung kaki.Hati kecil wanita itu sibuk bertanya, apakah Alzam punya maksud tertentu atau hanya kebetulan saja. "Red Velvet Latte dan ...." "Ada lagi?" Elif memotong ucapan laki-laki yang terlihat sedang kebingungan itu."Dan kamu. Ya, aku ingin bicara ....""Tapi, aku tidak bisa. Aku sedang bekerja ....""Tidak lebih dari sepuluh menit. Atau biarkan aku yang meminta izin pada managermu," tawar Alzam serius. Elif tidak punya alasan lagi untuk menghindar. "Baiklah. Biar kusiapkan pesanannya dulu," jawab wanita itu lesu, kemudian berlalu dengan gelisah. Sementara, Alzam menatap kepergiannya dengan tatapan yang sukar dijabarkan. 'Gara-gara laki-laki itu, hidupmu jadi sesulit ini.'"Apa yang ingin Kak Alzam bicarakan?" tanya Elif setelah meletakkan
"Percayalah, Kak! Sungguh, aku baik-baik saja." Ya. Alzam tidak lagi menemukan celah untuk mendebat. Elif tidak memberinya kesempatan sama sekali. 'Ya Tuhan sampai kapan aku harus memendamnya. Melakukan sandiwara untuk menutupi semuanya.' Alzam mendesah. Ingin sekali ia berteriak agar dunia tahu dengan jelas dihatinya. Terlebih wanita yang menurutnya tidak peka sama sekali. Tapi, lagi-lagi akal sehatnya menentang. 'Walau bagaimanapun, Elif istri orang, istri saudaraku. Sungguh, aku akan sangat rendah, jika sampai bertindak sejauh itu.' "Baiklah. Aku akan mencoba mengerti. Tapi, bolehkah jika sesekali aku mengunjungimu? Tante juga sangat merindukanmu." Hati Elif mencolos, saat mama mertuanya di sebut. Wanita baik itu, Elif juga sangat rindu terhadapnya. Tapi ...."Kak Alzam bisa mampir ke sini jika ingin bertemu denganku. Soal mama ...." wajah Elif seketika sendu. "Katakan padanya aku baik-baik saja. Tolong yakinkan mama agar tidak perlu mengkhawatirkan aku.""Kau tidak ingin b
Setelah lumayan lama mengantri, akhirnya Darius berhasil mendapatkan dua cup es krim dengan rasa yang berbeda."Ini, kamu masih suka vanila 'kan?" Darius menyodorkan milik Elif sembari bertanya untuk memastikan. Sudah hukum alam, setelah lumayan lama tidak bertemu, mungkin ada beberapa bahkan banyak hal telah berubah bagi seseorang. Meski untuk hal-hal kecil, seperti makanan kesukaan. "Tidak jauh di depan ada taman. Mampir dulu atau bagaimana?" tanya Darius meminta jawaban. "Eum boleh." Di sinilah kini dua anak manusia itu menikmati senja. Dengan ea krim yang kadang membuat mulut salah satunya tampak belepotan. Dan itu sukses membuat salah satunya lagi mengambil kesempatan. Ah, hal-hal kecil seperti itu membuat Darius candu. Berharap bisa melakukannya berulang-ulang. Besok atau selamanya. Tiap kali sisa es krim tertinggal di sudut bibir Elif. Darius akan menyapunya dengan jempol. Dan tentu saja, Elif tidak punya kesempatan untuk menolak. Sebab, Darius suka bertindak tiba-tiba ta
"Ishh!"Darius meringis saat kapas di tangan Elif bersentuhan dengan lukanya. "Apakah ini perih?""Sedikit." "Maaf! Gara-gara aku kamu jadi seperti ini." Elif mengambil kapas yang baru dan memberinya sedikit betadin. "Tidak masalah asal kau tetap baik-baik saja."Seketika pandangan mereka bertemu."Apa maksudmu, Darius?" Pertanyaan sederhana yang keluar dari bibir mungil itu seketika membuat Darius salah tingkah. Dalam hati Darius mengutuk dirinya yang terlalu terburu-buru. "A—aku tidak bisa diam saja melihat sahabatku kesulitan," jawab Darius menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Elif hanya ber 'oh' riya. Kemudian, melanjutkan aktivitasnya mengobati wajah Darius. Dalam hati, Elif merasa lega setelah mendengar kalimat terakhir laki-laki itu. Berarti, apa yang Hilya katakan selama ini tidaklah benar. Darius belum mengakhiri masa lajang, bukan karena dirinya, pikir Elif.'Tentu saja apa yang aku khawatirkan selama ini tidak benar.'Elif geleng-geleng kepala, dalam hati
Sepasang netra milik wanita berlesung pipi itu mulai berkabut menyaksikan apa yang terjadi dalam ruangan CEO yang hanya berdinding kaca transparan. Sama seperti miliknya.Ruang kerja mereka saling berhadapan, hanya dipisahkan oleh koridor, selebihnya kedua pemilik ruangan itu saling mengetahui apa yang terjadi di dalam ruang kerja satu sama lain, di balik dinding kaca jika tak tertutup tirai. Tak ada yang aneh memang, tapi di dalam sana, seorang pria tampan tengah suap-suapan dengan mesra dengan seorang wanita layaknya sepasang kekasih di saat semua orang tengah bekerja.Tentu saja, sekarang belum waktunya makan siang. Tapi, siapa yang berani menegur seorang CEO yang tengah dimabuk asmara di dalam sana. Lumayan lama wanita berambut panjang itu menetralisir dada yang sejak tadi berdenyut. Jika ribuan karyawan di perusahaan ini tidak punya hak dan alasan memberi peringatan pada atasan mereka karena kelakuannya yang kurang mendidik, wanita pemilik nama lengkap Elif Sabrina itu memiliki
HAPPY READING 😍Dalam sebuah kamar mewah, seorang laki-laki yang sedang terbaring di atas ranjang King Size itu sibuk menatap cincin berlian di tangannya. Padahal, waktu hampir menjelang pagi."Heh, mari kita lihat berapa hari kau akan bertahan di luar sana. Kau tidak bisa hidup selain di bawah ketiak mamaku. Dasar menyusahkan!" monolog Ammar kemudian mencengkram erat cincin itu.Ingin mengakhiri ikatan suci, tapi hati kecilnya melarang. Ingin berhenti menyakiti tapi hatinya juga telah dibutakan oleh dendam. Setitik penyesalan yang hinggap, tak mampu melenyapkan rasa bencinya pada wanita bernama Elif Sabrina. Ammar membenci Elif, ya laki-laki itu mencintainya..Hari ini Elif tampak bersemangat untuk berkerja, baginya ini adalah awal yang baru dan berharap lebih baik dari sebelumnya. Mulai sekarang Elif tidak perlu lagi berada di toilet kantor dalam durasi waktu yang lama hanya demi menumpahkan segala rasa sakit melalui air mata saat bekerja.Bagi wanita bersurai panjang itu, kemar